Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Penanggulangan HIV/AIDS yang Tidak Konkret di Kota Manado

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Data di Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Sulawesi Utara (Sulut)menunjukkan sekitar 43.000 laki-laki di Sulut menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) di 15 kabupaten dan kota di Sulut. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Sulut tercatat 809 dengan kematian 117 (Pusat Hiburan Malam Wajib Buka Outlet Kondom, www.metrotvnews.com, 29/6-2011).

Melihat angka itu amatlah layak kalau kemudian KPA Nasional menganjurkan agar pemilik pusat hiburan malam di Sulut wajib menyediakan outlet kondom. "Kami tahu di berbagai pusat hiburan malam sering terjadi transaksi seks, sehingga perlu diantisipasi dengan kondom," kata Deputi Program KPA Nasional, Vonny Silvanus.

Program wajib kondom bagi laki-laki ‘hidung belang’ di lokasi, lokalisasi atau tempat-tempat (praktek) pelacuran berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa. Program ini sukses di Thailand.

Keberhasilan program itu didukung dengan regulasi yang konkret yaitu diterapkan di tempat-tempat yang memiliki izin usaha. Pemantauan dilakukan secara rutin yaitu tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, hepatitis B, dll.) terhadap PSK. Jika ada PSK terdeteksi mengidap IMS maka germo akan menerima sanksi mulai dari teguran sempai pencabutan izin usaha.

Maka, yang ditekan adalah germo bukan PSK seperti yang dilakukan di Indonesia. Kalau PSK yang ditekan maka mereka akan kalah karena posisi tawar PSK sangat rendah. Laki-laki ’hidung belang’ memakai tangan germo untuk memaksa PSK meladeni laki-laki tanpa kondom.

Menurut Wakil Sekretaris KPA Sulut, Masry Paturusi, kesadaran masyarakat terhadap pencegahan HIV/AIDS di Sulut memang masih kurang, dan ini banyak ditemui di tempat-tempat hiburan malam. Sayang, Paturusi tidak menyebutkan alasan mengapa hal itu terjadi.

Selama ini kesan yang muncul adalah risiko tertular HIV jika berhubungan seksual dengan PSK di lokalisasi (dikenal sebagai PSK langsung). Celakanya, transaksi seks yang terjadi di beberapa tempat hiburan di Manado tidak melibatkan PSK langsung, tapi PSK tidak langsung yaitu ’cewek bar’, ’mahasiswi’, ’anak sekolah’, ’perempuan pemijat’, dll. Maka, banyak laki-laki yang menganggap mereka tidak berisiko kerena tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung di lokasi atau lokalisasi peluran.

Kesan itu terjadi karena informasi HIV/AIDS selalu dibumbui dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Akibatnya, laki-laki ’hidung belang’ merasa ’aman’. Padahal, di Sulawesi Selatan penyebaran HIV didorong oleh PSK tidak langsung (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/).

Belakangan ini ada statement dari WHO yang disebarluaskan oleh instansi dan institusi di Indonesia yang menyebutkan bahwa sunat pada laki-laki bisa mencegah penularan HIV. Maka, laki-laki pun tidak lagi memakai kondom lateks karena merasa dirinya sudah memakai kondom ’alam’ (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/01/catatan-hari-aids-sedunia-%E2%80%9Ckondom-alam%E2%80%9D-dorong-penyebaran-hivaids/).

Diperkirakan di Kota Manado saja ada sekitar 250 ’PSK’ yang tersebar di 30 pub, cafe dan night club. Kalau seorang PSK meladeni dua laki-laki tiap malam, maka ada 500 laki-laki dewasa di Manado yang berisiko tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

Laki-laki sebagai mata rantai penyebaran HIV di Sulut ditunjukkan dengan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tanggal (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/06/11/aids-di-sulawesi-utara-terdeteksi-pada-330-perempuan/).

Celakanya, Perda AIDS Sulut justru tidak memuat pasal tentang kewajiban laki-laki memakai kondom (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/24/menguji-peran-perda-hivaids-prov-sulawesi-utara/).

Disebutkan: “ .... mereka (maksudnya PSK-pen.) itu harus diawasi atau dikontrol dengan optimal karena masuk pupolasi berisiko.”

Ada fakta yang luput yaitu yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki dewasa penduduk lokal. Dalam kehidupan sehari-hari mereka itu bisa sebagai seorang suami atau pacar. Lalu, ada pula laki-laki lain yang tertular HIV dari PSK. Nah, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, tertutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah.

Sayang, tidak disebutkan bagaimana mekanisme mengontrol PSK itu agar menolak laki-laki yang tidak memakai kondom. Kalau saja KPA Sulut melongok program kondom di Thailand tentulah hasilnya akan efektif.

Tapi, karena penanggulangan HIV/AIDS tetap dibalut dengan moral, maka selama itu pula cara-cara penanggulangan yang konkret akan terbaikan. Akibatnya, penyebaran HIV akan terus terjadi. Semua terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV.

Maka, Pemprov Sulut tinggal menunggu ‘panen’ AIDS karena kelak kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline