Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

7.319 Kasus Kumulatif HIV/AIDS di Papua

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* Tanah Papua Bisa Jadi ‘Afrika Kedua’ Jika Penanggulangan Tidak Konkret

Jika hanya melihat angka maka akan banyak yang menggeleng-gelengkan kepala dan menafsirkannya dengan moralitas dirinya sendiri. Tapi, kalau angka itu dilihat dari aspek epidemiologi, maka ada beberapa hal positif yang terkandung di balik angka tersebut. Angka itu laporan sampai Maret 2011.

Pertama, angka itu menunjukkan jumlah mata rantai penyebaran HIV yang sudah diputus. Bandingkan dengan daerah yang kasus HIV/AIDS-nya rendah sehingga kasus-kasus yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat tanpa disadari. Hasilnya kelak adalah ledakan AIDS karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi itu merupakan ‘bom waktu’ yang akan meledak pada masa AIDS (antara 5-15 tahun kemudian).

Kedua, jumlah itu muncul dari hasil tes sukarela dan diagnosis di rumah sakit. Itu menunjukkan penjangkauan yang dilakukan kalangan LSM sudah berhasil menembus masyarakat.

Ketiga, jumlah itu menunjukkan penduduk yang ditangani secara medis, kecuali yang sudah meninggal, sehingga mereka (akan) bisa hidup seperti biasanya karena meminum obat antiretroviral (ARV).

[caption id="attachment_115500" align="aligncenter" width="300" caption="Tabel I. Kasus HIV/AIDS di Papua Berdasarkan Jenis Kelamin"][/caption]

Dari Tabel I dapat dilihat perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang terdeteksi HIV/AIDS. Jumlahnya hampir sama yang menujukkan perempuan-perempuan itu kemungkinan besar tertular dari suaminya. Ini bertolak dari data pada Tabel II yaitu persentase kasus terbesar ada pada rentang usia 20 – 39 tahun yaitu 72,5 persen.

[caption id="attachment_115501" align="aligncenter" width="300" caption="Tabel II. Kasus HIV/AIDS di Papua Berdasarkan Umur"][/caption]

Jika Tabel II disimak maka ada ada 2,95 persen anak-anak pada rentang usia 0 – 14 tahun. Ini menunjukkan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya tidak tepat sasaran. Ini terjadi karena tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil. Bandingkan dengan Malaysia yang menjalankan survailans rutin terhadap perempuan hamil.

Celakanya, Perda AIDS Prov Papua No 8 Tahun 2010 sama sekali tidak menawarkan cara-cara yang konkret dalam menanggulangi penyebaran HIV di wilayah Prov Papua.

Kalau saja perda itu dibuat berdasarkan fakta HIV/AIDS, maka langkah utama adalah melalukan intervensi terhadap (perilaku seksual) laki-laki. Soalnya, di Tabel II dapat dilihat faktor risiko (mode of transmission) HIV di Papua 95,5 persen melalui hubungan seks secara heteroseksual (laki-laki dengan perempuan).

[caption id="attachment_115504" align="aligncenter" width="300" caption="Tabel III. Kasus HIV/AIDS di Papua Berdasakan Faktor Risiko"][/caption]

Intervensi yang dilakukan, sayang tidak ada dalam perda, adalah mewajibkan setiap laki-laki dewasa memakai kondom sebagai langkah pertama, jika:

(a) melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Prov Papua, di luar wilayah Prov Papua atau di luar negeri.

(b) melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai wilayah Prov Papua, di luar wilayah Prov Papua atau di luar negeri.

Kalau langkah pertama tidak berhasil maka intervensi sebagai langkah kedua yaitu mewajibkan laki-laki dewasa yang pernah melakukan perilaku (a) atau (b) atau dua-duanya memakai kondom jika sanggama dengan istri atau pasangan seks lain (Lihat Gambar).

[caption id="attachment_115502" align="aligncenter" width="300" caption="Intervensi untuk Memutus Mata Rantai Penyebaran HIV di Papua"][/caption]

Jika langkah kedua juga gagal, maka langkah ketiga atau terakhir adalah mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Untuk itulah diperlukan aturan main yang konkret untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil. Celakanya, langkah ini pun tidak di atur dalam perda. Dilaporkan 128 kasus HIV/AIDS terjadi melalui proses persalinan (perinatal).

Satu hal yang mencegangkan dan mengherankan dari laporan yang dilansir oleh Dinas Kesehatan Prov Papua ini adalah ada sembilan daerah yang tidak melaporkan kasus HIV/AIDS yaitu:Asmat, Tolikara, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Boven Digul, Sarmi, Mam Raya, Waropen dan Supriori (Lihat Tabel IV).

[caption id="attachment_115503" align="aligncenter" width="300" caption="Tabel IV. Kasus HIV/AIDS di Papua Berdasarkan Kabupaten dan Kota"][/caption]

Tidak ada penjelasan mengapa di sembilan daerah itu tidak ada kasus HIV/AIDS.

Pertanyaannya adalah:

Apakah semua penduduk di sembilan daerahitu sudah menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya TIDAK, maka tidak ada jaminan bahwa di sembilan daerah itu tidak ada kasus HIV/AIDS. Jika pemerintah daerah di sembilan daerah itu lengah maka ledakan kasus AIDS akan terjadi karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’.

Kapan terakhir dilakukan tes HIV terhadap semua penduduk?

Biar pun tes HIV pernah dilakukan terhadap semua penduduk itu tidak jaminan bahwa kelak tidak akan ada penduduk sembilan daerah itu yang terbular HIV.

Sudah saatnya Pemprov Papua menerapkan cara-cara pencegahan yang konkret agar penyebaran HIV tidak terus terjadi.

Jika penanggulangan tidak dilakukan dengan cara-cara yang konkret, maka dikhawatirkan Tanah Papua bisa menjadi ’Afrika Kedua’ yang ditandai dengan kepunahan suku (bangsa) di Papua. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline