“Mengkhawatirkan, 214 warga Bandarlampung terinfeksi HIV/AIDS.” Ini pernyataan di berita “214 Warga Bandarlampung Terinfeksi HIV/AIDS” (Pos Kota, 27/5-2011). Ini opini karena tidak ada penjabaran seperti apa kekhawatiran terkait dengan 214 penduduk Bandarlampung yang terdeteksi HIV/AIDS.
Ketika epidemi HIV sudah terdeteksi di seluruh permukaan Bumi yang diperlukan adalah memberikan informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV. Tapi, celakanya informasi, termasuk berita di media massa, tentang HIV/AIDS di Indonesia justru tidak akurat karena dibumbui dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.
Seperti yang di Bandarlampung, kota dengan julukan ‘Tapis Berseri’ ini. Wartawan mementingkan angka (dalam jurnalistik disebut magnitude sebagai salah satu dari enam unsur layak berita) tapi tidak membumi. Artinya, angka itu tidak bicara banyak di tataran realitas sosial terkait penyebaran HIV.
Kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan, dalam hal ini 214, tidak menggambarkan kasus riil di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi (214) hanya puncak dari gunung es yang menyembul ke atas permukaan air laut. Sedangkan kasus yang sebenarnya di masyarakat adalah bongkahan es yang ada di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
[caption id="attachment_110747" align="aligncenter" width="428" caption="Fenomena Gunung Es pada Epidemi HIV"][/caption]
Secara epidemiologis kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan kasus AIDS. Maka, diperlukan mekanisme yang konsisten dan konkret yang bisa mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat.
Dinas Kesehatan Kota Bandarlampung melaporkan sejak 2005 sampai Maret 2011 sudah terdereksi 214 kasus HIV/AIDS. Sayang, dalam berita tidak dirinci kasus HIV dan AIDS serta kematian terkait AIDS.
Dikabarkan pula kasus penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang terdeteksi tahun 2010, yaitu: gonorhoe/GO 76, sifilis 9, dan IMS jenis lain 355. Data ini menunjukan terjadi hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, yang tidak memakai kondom.
Sekretaris KPA Bandarlampung, dr. Wirman, mengatakan: ’ .... peningkatan epidemi HIV yang signifikan telah terjadi di kota Bandarlampung dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Penularan utama terjadi pada kelompok yang melakukan hubungan seksual beresiko dan pengguna narkoba suntik.”
Biar pun faktor risiko (mode of transmission) disebutkan dari hubungan seksual yang tidak aman, tapi tidak ada langkah-langkah konkret yang dilakukan Pemkot Bandarlampung untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.
Disebutkan: ’ .... program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Bandarlampung adalah melalaui pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) untuk masyarakat yang memiliki perilaku berisiko tinggi ....’
Yang perilaku seksualnya berisiko bukan masyarakat, tapi orang per orang. Siapa pula mereka itu? Mereka adalah:
(a). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti.
(b). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai.
Mereka itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Faktanya dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kalangan ibu-ibu rumah tangga.
Celakanya, tidak ada mekanisme yang bisa mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan laki-laki ’hidung belang’ dan perempuan hamil.
Selama penanggulangan HIV/AIDS dilakukan dengan cara-cara yang tidak konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Maka, Pemkot Bandarlampung tinggal menunggu ’panen AIDS’. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H