* 174 PSK Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS
Penyebaran HIV di Prov Riau al. didorong oleh laki-laki pelanggan pekerja seks komersial (PSK, dalam berita ini disebut wanita pekerja seks/WPS). Estimasi (perkiraan) Kemenkes RI ada 115.785 laki-laki ‘hidung belang’ pelanggan PSK. Mereka ini menjadi pelanggan dari 6.182 PSK yang terdata di Prov Riau tahun 2009. Survailans Kemenkes menunjukkan 174 PSK di Riau terdeteksi HIV-positif. “Namun yang lebih mengerikan adalah ke-174 PSK tersebut masih tetap menjajakan dirinya seperti biasa.” (174 WPS di Riau Positif HIV. Ratusan Ribu Pria Hidung Belang Terancam AIDS, Tribun Pekanbaru, 24/5-2011).
Pernyataan: ‘Namun yang lebih mengerikan adalah ke-174 PSK tersebut masih tetap menjajakan dirinya seperti biasa’ menunjukkan wartawan yang menulis berita ini menjadikan PSK sebagai ‘kambing hitam’ karena mereka menjadi ‘sasaran tembak’ yang empuk.
Berpijak pada data 174 PSK terdeteksi HIV-positif ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.
Pertama, ada kemungkinan kasus HIV/AIDS pada 174 PSK langsung (beroperasi di lokasi atau lokalisasi pelacuran) dan PSK tidak langsung ( ‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, wanita pemijat, selingkuhan, WIL, dll.) tsb. justu ditularkan oleh laki-laki dewasa penduduk Riau, asli atau pendatang (termasuk turis). Jika ini yang terjadi maka laki-laki Riau yang menularkan HIV kepada PSK itu menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam atau di luar nikah.
Kedua, ada kemungkinan PSK langsung yang terdeteksi HIV itu sudah mengidap HIV ketika mulai beroperasi di Riau. Jika ini yang terjadi maka laki-laki penduduk Riau yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam atau di luar nikah.
Selama ini hanya kemungkinan kedua yang diungkapkan sehingga menempatkan PSK sebagai ‘biang keladi’ penyebaran HIV. Padahal, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV adalah laki-laki ‘hidung belang’ bukan PSK (Lihat Gambar 1).
[caption id="attachment_110268" align="aligncenter" width="505" caption="Gambar 1. Penyebaran HIV melalui Laki-laki di Prov Riau"][/caption]
Kalau saja wartawan lebih jeli maka yang menjadi persoalan besar adalah 6.008 (6.182 PSK – 174 PSK positif) yang dinyatakan negatif karena ada kemungkinan negatif pada PSK ini adalah negatif palsu. Artinya, dalam darah 6.008 PSK itu ada HIV tapi tidak terdeteksi, al. karena ada kemungkinan ketika dilakukan survailans tes HIV mereka berada pada masa jendela (tertular HIV di bawah tiga bulan). (Lihat Gambar 2).
[caption id="attachment_110269" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 2. Masa Jendala pada Infeksi HIV"][/caption] Tentu saja konsekuensinya adalah jumlah laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Riau yang berisiko tertular HIV kian banyak. Dikabarkan 174 PSK yang terdeteksi HIV-positif itu tersebar di seluruh wilayah Riau. Ini menunjukkan risiko penularan HIV dari PSK ke laki-laki ‘hidung belang’ juga terjadi di semua daerah di wilayah Riau.
Data KPA Prov Riau tentang kasus HIV/AIDS yang terdeteksi menunjukkan risiko penularan HIV pada penduduk. Sejak tahun 1997 sampai 2011 kasus kumulatif HIV/AIDS di Riau, seperti yang dicatat KPA mencapai 1.084 yang terdiri atas557 AIDS dan 527 HIV.Januari sampai Maret 2011 KPA mencatat 66 kasus HIV/AIDS. Dari jumlah ini 14 terdeteksi pada masa AIDS.
Namun, seperti dikatakan oleh Ketua KPA Riau, Dra Woro Surti Andayani, kasus HIV/AIDS tsb. belum bisa dijadikan landasan jumlah riil di lapangan. Memang, epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi (puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut) hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat (bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan laut). (Lihat Gambar 3).
[caption id="attachment_110270" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 3. Fenomena Gunung Es pada Epidemi HIV"][/caption]
Tapi, pernyataan manajer program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Riau, Agus Libert, yang mengatakan ‘ …. Jika ada satu orang terkena, kemungkinan perbandingannya adalah satu banding seratus….’ juga tidak benar karena ‘rumus’ itu tidak bisa dipakai secara ‘telanjang’.
Misalnya, di satu daerah ada seorang bayi berumur di bawah 1 tahun tertular HIV dari ibunya. Apakah bayi itu otomatis akan menularkan HIV kepada 100 orang di sekitarnya? Maka, tumus itu hanya untuk keperluan epidemilogis, misalnya, merancang program, penyediaan obat-obatan, dll. Lagi pula ‘rumus’ tsb. bisa dipakai untuk keperluan epidemiologis al. jika: (a) jumlah PSK besar, (b) jumlah pelanggan PSK banyak, (c) pemakaian kondom rendah, dll.
Dikabarkan juga PSK beroperasi di Riau secara terselubung di lokasi pelacuran dan tempat-tempat lain. Inilah dampak dari penutupan lokalisasi pelacuran. Secara kasat mata memang tidak ada lagi PSK yang beroperasi di lokalisasi, tapi tanpa kita sadari ribuan bahkan puluhan ribu PSK beroperasi secara tertutup di berbagai tempat melalui kurir dan telepon.
Kondisinya kian runyam karena hubungan seksual pada praktek pelacuran yang tidak dilokalisir tidak bisa diintervensi. Artinya, kewajiban memakai kondom pada hubungan seksual antara laki-laki ‘hidung belang’ dengan PSK tidak bisa dipantau. Thailand berhasil menekan insiden penularan HIV pada laki-laki dewasa pelanggan PSK melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Di Sulawesi Selatan penyebaran HIV didorong oleh praktek pelcuran melalui PSK tidak langsung yaitu: ‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, pemijat, selingkuhan, WIL, dll.(Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/).
Karena laki-laki ‘hidung belang’ lolos dari kewajiban memakai kondom, maka, menurutKetua KPA Riau: "Mereka semua rawan tertular HIV.” Ini terjadi karena tidak ada intervensi terhadap laki-laki ‘hidung belang’. Sayang, Perda No 4 Tahun 2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS tidak menjangkau akar persoalan karena hanya mengedepankan moral dan agama sebagai ‘senjata’ menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/30/menyibak-peran-perda-aids-riau-dalam-penanggulangan-aids-riau/)/
Disebutkan dalam berita: “Dalam Perda tersebut sudah ditegaskan dengan sangat jelas bahwa siapa saja yang dengan sengaja menularkan HIV kepada orang lain diancaman hukuman penjara maksimal selama 6 bulan atau denda Rp 50 juta.”
Persoalannya adalah lebih dari 90 persen penularan HIV tanpa disadari. Maka, banyak orang yang menularkan HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV karena tidak ada tanta-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Pada rentang waktu itulah banyak terjadi penyebaran HIV.
Disebutkan pula: ‘ …. Perda tersebut belum bisa berjalan dengan optimal karena belum ada tim yang terjun langsung ke lapangan untuk mengawasi pelaksaannya’. Tidak mungkin mengetahui secara pasti terkait dengan penularan HIV kepada setiap orang karena penularan terjadi tanpa disadari.
Dampak dari penularan HIV dari PSK ke laki-laki ‘hidung belang’ dapat dilihat pada kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di ibu-ibu rumah tangga. Dari data di KPA menunjukan sampai Maret 2011 kasus kumulatif HIV/AIDS pada ibu rumah tangga mencapai 75 dengan rincian 73 AIDS dan 2 HIV.
Yang bisa dilakakuan Pemprov Riau dalam memutus mata rantai penyebaran HIV adalah melakukan intervensi (dalam Gambar 2 ditunjukka dengan garis panah putus-putus), yaitu mewajibkan penggunaan kondom pada hubungan seksual berisiko: (a) kewajiban kepada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK, (b) kewajiban bagi laki-laki ‘hidung belang’ untuk memakai kondom ketika sanggama dengan istrinya, dan (d) menjalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Disebutkan pula: ‘ …. sangat besar kemungkinannya, kaum wanita akan menularkan virus ini kepada janin yang dikandungnya secara otomatis’. Pernyataan ini tidak benar karena risiko penularan HIV dari ibu yang mengidap HIV ke janin yang dikandungnya tidak otomatis terjadi. Risiko pada ibu yang tidak memakai obat antiretroviral (ARV) untuk menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya sekitar 30 persen. Kalau memakai obat ARV risikonya di bawah 8 persen.
Jika Pemprov Riau tidak melakukan langkah yang konkret dalam menanggulangi HIV/AIDS, maka tinggal menunggu ‘panen’ AIDS karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H