Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

AIDS: Dari Pelosok Nusantara dan Manca Negara ke Batam, Lalu Menyebar ke Pelosok Nusantara

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

6.300 Wanita Indramayu Jadi PSK di Pulau Batam.” Itulah judul berita di Harian ”Pikiran Rakyat”, Bandung, Jawa Barat, (11/11-2005). Sedangkan di sebuah koran yang terbit di Bangkok (2001) disebutkan bahwa ada lonjakan tes HIV di Singapura bagi penduduk yang pernah ’piknik’ ke Prov Riau dan Prov Kepulauan Riau serta istri mereka. Sampai Agustus 2009 di Batam dilaporkan 1.366 kasus HIV dan 428 kasus AIDS.

Latar belakangan lonjakan tes HIV anonim di Singapura itu karena mereka melakukan hubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) di Batam dan tempat-tempat ‘wisata’ lain di Prov. Riau dan Prov. Kepulauan Riau. Rupanya, laki-laki penduduk Singapura yang menjalani tes HIV sukarela karena merasa waswas terhadap kemungkinan tertular HIV. Sedangkan perempuan, khususnya ibu-ibu rumah tangga, merasa perlu menjalani tes HIV sukarela karena mereka yakin suaminya pernah melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti di luar pernikahan mereka.

Kedua berita itu penting artinya bagi Batam khususnya dan Indonesia umumnya. Dalam berita itu disebutkan seorang penduduk Singapura yang HIV-positif mengaku pernah melakukan hubungan seks dengan PSK di Batam. Dalam kaitan ini tentu saja bisa terjadi laki-laki Singapura itulah yang menularkan HIV kepada PSK, sebaliknya bisa pula yang menularkan HIV ke laki-laki Singapura itu memang PSK yang ada di Batam.

PSK yang ada di Batam atau kota lain di Indonesia datang dari berbagai tempat di Nusantara. Jika ada di antara PSK yang kerja di Batam tertular HIV tentulah mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV ke seluruh pelosok Nusantara, paling tidak di daerah asalnya.

Bagi yang bersuami maka ketika mereka pulang kampung ada risiko penularan terhadap suaminya. Ketika mereka kembali ke Batam maka suami mereka pun menularkan HIV pula kepada perempuan lain yang menjadi pasangan seks mereka atau kepada PSK.

Namun, ada anggapan yang salah di beberapa daerah di Indonesia. PSK yang terdeteksi HIV-positif melalui survailans tes HIV dipulangkan ke daerah asalnya. Mereka menganggap kalau PSK yang HIV-positif sudah dipulangkan dari Batam, misalnya, maka penduduk (asli) Batam aman. Ini kesalahan besar karena sebelum PSK yang terdeteksi HIV-positif dipulangkan mereka sudah menularkan HIV kepada laki-laki yang menjadi pelanggan mereka yang bisa saja pendatang atau penduduk lokal.

PSK pulang kampung, tapi laki-laki di Batam yang tertular menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antara penduduk. Ini semua terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular).

Tetapi, bisa pula terjadi sebaliknya. Epidemi HIV di Batam justru dipicu dan didorong oleh pendatang, baik dari daerah lain di Nusantara maupun wisatawan mancanegara. Dalam kaitan ini Batam bisa menjadi “pintu masuk” epidemi HIV dan PMS (penyakit-penyakit menular seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.) yang pada gilirannya akan menyebar ke seluruh Nusantara. Karena pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif melalui surveilans tes dipulangkan ke daerahnya. Beberapa pekeja seks yang dipulangkan itu umumnya berasal dari Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dan daerah-daerah lain di Pulau Jawa.

“Kami punya peta daerah pemulangan pekerja seks yang HIV-positif dari Batam dan Riau,” kata dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD, Ketua Umum Yayasan Pelita Ilmu (YPI), Jakarta, ketika berkunjung ke kantor Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan (YMKK) Batam (2002).

Salah seorang pekerja seks yang dipulangkan dari Tanjung Pinang ke sebuah desa di Kabupaten Karawang, misalnya, menjadi dampingan YPI sampai meninggal dunia. Semula perempuan tadi dikucilkan masyarakat tetapi berkat pendekatan YPI dengan mendirikan sanggar kerja di desa itu akhirnya masyarakat bisa menerimanya. Bahkan, sanggar YPI yang didukung Ford Foundation itu menjadi pusat penyebaran informasi seputar HIV/AIDS bagi penduduk di sana.

Pekerja seks yang dipulangkan akhirnya akan menjadi bagian dari mata rantai penyebaran HIV dan PMS. Kalau mereka sudah bersuami maka mereka bisa menulari suaminya. Jika mereka tetap sebagai pekerja seks di kampungnya atau di tempat lain maka mereka pun bisa menulari “pelanggannya”.

Kalau suami mereka mempunyai pasangan seks yang lain, maka akan terjadi pula penularan. Istri mereka yang tertular pun kelak akan menularkannya kepada bayi yang dikandungnya. Begitu seterusnya sehingga terjadi penularan secara horizontal antar penduduk dan vertikal dari-ibu-ke-bayi (mother-to-child-transmission/ MTCT).

Dalam suatu pelatihan yang diselenggarakan YMKK Batam, Kepala Dinas Kesehatan Batam, (waktu itu) dr. Mawardi, mengungkapkan hasil survei terhadap pekerja seks di dua diskotek Batam menunjukkan 50 persen pekerja seks itu memakai narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) sehingga mereka dalam keadaan high ketika melayani tamu. Kondisi itu menjadi pemicu untuk melakukan senggama.

Celakanya, hal itu membuat mereka lupa daratan sehingga lupa menerapkan seks aman (memakai kondom) ketika melakukan senggama dengan tamunya. Hal ini jelas merupakan kegiatan yang berisiko tinggi tertular atau menularkan PMS dan HIV.

Mawardi mengakui sejak tahun 1999, kegiatan Dinas Kesehatan Batam untuk penanganan HIV/AIDS menurun karena dana yang dikucurkan Bank Dunia sudah tidak ada lagi. Maka, Mawardi pun tidak segan-segan mengajak LSM untuk bahu-membahu menanggulangi masalah epidemi HIV/ AIDS dan PMS di Batam.

Sayangnya, sebuah LSM berskala nasional yang membuka konseling dan penjangkauan (outreach) di salah satu lokalisasi di Batam, misalnya, terpaksa hengkang dari sana. Mereka ditolak oleh sebuah LSM lokal yang katanya mendapat mandat dari KPAD (Komisi Penanggulangan AIDS Daerah) sebagai pelaksana Keppres No. 36/1994 tentang Strategi Penanggulangan AIDS Nasional di Batam.

Ketika masih diizinkan beroperasi, setiap hari rata-rata empat pekerja seks mengunjungi sanggar LSM ini. Ada yang konsultasi tentang PMS, meminta kondom, mencari obat, dan ada pula yang mengadukan nasibnya tentang perlakuan mucikari.

Karena masalah PMS erat kaitannya dengan kesehatan reproduksi (reproductive health) maka YMKK melakukan pendekatan kepada buruh-buruh perempuan dengan menyediakan konseling gratis dan pengobatan murah. YMKK sudah membuka poliklinik di Batamindo dengan dukungan Ford Foundation dan manajemen Batamindo. “Pendekatan ini sangat penting karena hampir 80% buruh perempuan di Batam merupakan pekerja migran dan mereka berada pada rentang usia seksual aktif,” kata Lola Wagner, Ketua YMKK.

Survai yang dilakukan terhadap buruh perempuan, misalnya, menunjukkan banyak di antara mereka memiliki keluhan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, seperti keputihan, datang bulan tidak teratur, dan lain-lain. Celakanya, mereka tidak mempunyai akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan yang menjamin kerahasiaan. Pasalnya, ada perusahaan yang mem-PHK buruh perempuan yang mengidap PMS. Untuk itulah YMKK menyediakan voucher berobat bagi buruh-buruh perempuan yang memiliki keluhan kesehatan reproduksi dan tetap menjamin kerahasiaan identitas. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline