Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Hak Bebas HIV Melalui Transfusi Darah

Diperbarui: 2 Maret 2023   12:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: healthline.com)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Risiko tertular HIV melalui darah yang terkontaminasi HIV lebih dari 90 persen. Oleh sebabitu setiap orang yang menerima transfusi darah berhak mendapatkan darah yang bebas dari HIV. Pedoman internasional dan Resolusi IPU (Inter-Parliamentary Union) Tahun 1998 juga menghargai undang-undang tentang kesehatan masyarakat yang mengharuskan darah untuk transfusi bebas dari HIV dan penyakit-penyakit yang dibawa darah. Ditinjau dari aspek hak asasi manusia (HAM) pun hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan hak asasi.

Laporan UNAIDS (1997) menunjukkan lebih dari empat juta darah donor setiap tahun di seluruh dunia tidak dites HIV dan penyakit-penyakit infeksi lain. Dari 34,3 juta kasus HIV/AIDS global 5-10 persen di antaranya tertular melalui transfusi darah yang tidak diskrining HIV. Bahkan di India 7 persen kasus HIV/AIDS tertular melalui transfusi darah (Strategies for Safe Blood Transfusion, WHO, Regional Office for South-East Asia, New Delhi, 1998).

Penularan HIV melalui darah bukan hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Di Eropa, misalnya, tercatat 6.000 kasus, sedangkan di AS antara 1983 dan 1993 tercatat 8.000 kasus penularan HIV melalui transfusi darah.

Kasus penularan HIV melalui transfusi darah baru saja terjadi pada seorang wanita guru mengaji di Malaysia. Ibu rumah tangga berusia 47 tahun itu berobat ke Rumah Sakit Jitra, 28 April 2000, karena perdarahan sehingga memerlukan transfusi darah. Darah yang ditransfusikan kemudian diketahui HIV-positif. Tes darah pada 8 Mei 2000 menunjukkan wanita tadi tertular HIV.

Faktor risiko penularan yang jelas diketahui dari transfusi darah di sebuah rumah sakit, menyebabkan wanita itu pun menuntut ganti rugi kepada pemerintah Malaysia sebesar 100 juta ringgit Malaysia (sekitar Rp 200 miliar). Tuntutan lain adalah pengobatan gratis selama sisa hidupnya yang diperkirakan 2.000 ringgit (sekitar Rp 4 juta) per bulan. 

Tes Sukarela

Bertolak dari fakta di atas, patutlah kita khawatir membaca berita ''Darah PMI Rentan Penyakit'' (Suara Pembaruan, 11/11-2000). Bisa saja kejadian di Malaysia terjadi di sini. Maka, tuntutan yang sama pun bisa pula terjadi di negeri ini. Apalagi sekarang sudah ada UU Perlindungan Konsumen. Pada Januari 2000, misalnya, Ditjen PPM&PL Depkes melaporkan 16 kasus HIV yang terdeteksi pada darah donor.

Probabilitas penularan HIV melalui darah sangat tinggi. Tidak ada pilihan bagi UTD (unit transfusi darah)-Palang Merah Indonesia (PMI) selain menskrining darah (melakukan uji saring darah) yang akan ditransfusikan.

PMI yang sudah ada sejak tahun 1969 berdasarkan Keppres No 246/1969 mulai melakukan uji saring darah donor dalam upaya penanggulangan AIDS sejak 1992 berdasarkan Kepmenkes No 622/VII/1992. Tes sifilis mulai dilakukan pada 1974, hepatitis B sejak 1985, sedangkan tes hepatitis C baru dilakukan di beberapa UTD.

Sampai tahun 1996 tercatat 144 UTD di seluruh Indonesia. Bandingkan dengan jumlah daerah tingkat dua (kabupaten dan kota) yang mencapai 298. Pemerintah AS mewajibkan darah dites HIV sejak Maret 1985. Identifikasi HIV sendiri pada 1983. Jadi, penerima transfusi darah sebelum 1992, perlu juga memikirkan untuk menjalani tes HIV secara sukarela karena kasus HIV/ AIDS di Indonesia sudah ada sejak 1987. Bahkan, pada 1988 seorang warga negara Indonesia meninggal dengan indikasi AIDS. Berarti, kalau jarak antara infeksi sampai mencapai masa AIDS antara 7-10 tahun maka epidemi HIV sudah ada antara tahun 1978 dan 1983.

Hasil tes HIV terhadap darah donor sendiri bergantung pula pada masa jendela (window period). Biarpun seseorang sudah tertular HIV tetapi dalam rentang waktu enam bulan sejak tertular antibodi di dalam darahnya belum bisa dideteksi melalui tes HIV. Dalam kaitan itulah diperlukan kejujuran donor. Salah satu cara untuk mengetahui perilaku donor adalah melalui kuestioner atau daftar pertanyaan.

Biarpun angka kasus infeksi HIV dari transfusi darah kecil tetapi skirining darah donor tetap harus menjadi perhatian karena epidemi HIV dan penyebaran PMS sudah masuk ke masyarakat pada kelompok berisiko rendah tertular HIV, seperti ibu-ibu rumah tangga dan bayi. Pada 1992/1993 dari 533.865 kantong darah terdeteksi delapan kantong darah yang positif HIV, 1997/1998 terdeteksi 28, pada 1998/1999 terdeteksi 56 dan 1999/2000 terdeteksi 66. Jika dihitung rata-rata dari setiap 10.000 kantong darah ada satu yang positif HIV.

Standar ISO

Melihat risiko penularan melalui transfusi yang sangat tinggi, ada baiknya kalau kebutuhan darah dicari dari lingkungan anggota keluarga. Anggota keluarga tentu akan lebih jujur sehingga hasil negatif palsu (hasil tes HIV pada masa jendela) dapat dihindarkan. Di samping itu pemberian transfusi darah pun harus rasional, artinya transfusi diberikan jika pertimbangan secara medis sudah mengharuskannya.

Selama ini UTD-PMI menghadapi kendala biaya untuk uji saring darah (biaya pengganti pengolahan darah/ BPPD) yang terus meningkat. Pengujian satu labu darah memerlukan biaya Rp 106.000, tetapi BPPD yang ditetapkan UTD-PMI justru di bawah biaya uji saring darah (Republika, 13/11-2000). Jika dibandingkan dengan risiko penularan HIV dan penyakit lain dari transfusi darah yang tidak disaring tentulah biaya itu tidak besar. Inilah yang perlu disosialisasikan agar masyarakat memahaminya. Agaknya, itulah yang kurang dilakukan selama ini. Di Malaysia darah untuk transfusi gratis.

Ada baiknya anjuran WHO untuk melakukan pool 2 sampai pool 6 (menggabungkan dua sampai enam contoh darah) pada uji saring darah bagi negara yang kekurangan dana dan prevalensi HIV rendah tidak diterapkan secara membabi-buta. Prevalensi HIV secara nasional yang dinilai rendah itu terjadi karena surveilllance test dilakukan secara sporadis, bahkan sering mengabaikan hak-hak asasi manusia (HAM) ketika dilakukan terhadap pekerja seks. Petugas menyebutkan surveillance sifilis, tetapi yang terjadi kemudian tes HIV. Identitas pekerja seks pun diketahui karena contoh darah dicatat.

Jadi, prevalensi HIV nasional tidak dapat dijadikan patokan karena surveillance test tidak sistematis dan angka kasus kumulatif HIV/AIDS pun tidak semuanya warga negara Indonesia. Tidak sedikit pula dari angka itu yang merupakan hasil surveillance test sehingga tidak akurat karena hasil- nya belum dikonfirmasi dengan tes lain.

Negara-negara lain, seperti Malaysia, sudah melakukan surveillance test berupa skirining rutin terhadap pasien klinik PMS (penyait menular seksual), pengguna narkoba suntikan (injecting drug use/IDU), perempuan hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB, sehingga prevalensi HIVnya lebih akurat. Sampai sekarang sistem ini tidak ada di Indonesia sehingga identifikasi kasus-kasus baru hanya diperoleh dari diagnosis dan darah donor.

Untuk mengantisipasi kemungkinan penularan melalui transfusi darah Malaysia menetapkan pelayanan transfusi darah di negeri jiran itu akan tunduk pada ISO (International Organization for Standardization) melalui standar ISO/ICE 17025:1999 (general requirements for the competence of testing and calibration laboratories). Cara yang ditempuh Malaysia itu dapat menjadi cermin bagi kita. Biarpun biaya untuk mendapatkan sertifikat ISO besar, tetapi akan lebih baik daripada dituntut ratusan miliar rupiah. u

* Syaiful W. Harahap, penulis adalah pemerhati masalah HIV/AIDS.

 [Sumber: Harian ”Suara Pembaruan”, Jakarta, 1 Desember 2000]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline