Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Membedah Pasal-pasal dalam Ranperda HIV/AIDS Prov Papua (1)

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13023440251580055015

* Penanggulangan di Hilir

Untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Prov Papua yang diperlukan adalah pencegahan (di hulu) agar tidak terjadi lagi insiden infeksi HIV baru. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya penanggulangan hanya di hilir. Ini ada dalam Rancangan Perda Prov Papua (2010) tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS. Di Prov Papua sendiri sudah ada lima perda yaitu Kab Nabire (18/2003), Kab Merauke (5/2003), Kab Jayapura (20/2003), Kab Puncak Jaya (14/2005), dan Kota Jayapura (7/2006).Kalau perda ini disahkan maka ini perda ke-45 di Indonesia dan yang keenam di Papua.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah Pemprov Papua dan DPRP Prov Papua membaca perda-perda AIDS yang sudah ada dan melihat implementasinya di lapangan? Melihat draft ranperda ini perancangan perda tidak melihat fakta empiris terkait dengan perda-perda yang sudah ada. Ranperda ini hanya sebatas copy-paste dari perda yang sudah ada dengan perubahan di sana sini. Tapi, perubahan itu ternyata tidak berarti dan bermakna sebagai program penanggulangan AIDS yang komprehensif.

Penanggulangan AIDS dengan cara-cara yang konkret sangat diperlukan di Papua karena kasus kumulatif HIV/AIDS sudah mendekati angka 6.000. Kasus HIV/AIDS pun terdeteksi di kalangan ibu-ibu rumah tangga yang menunjukkan suami mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain. Celakanya, dalam ranperda itu pun sama sekali tidak ada upaya yang realistis untuk menanggulangi penyebaran AIDS di Papua.

Ranperda ini tidak taktis karena tidak memberikan cara-cara pencegahan yang konkret. Penggunaan istilah yang konotatif dengan ’kata-kata dewa’ yang tidak membumi (Lihat Gambar: Istilah 'Bermoral' dalam Ranperda yang Tidak Faktual).

[caption id="attachment_100742" align="aligncenter" width="418" caption="Istilah 'Bermoral' yang Tidak Faktual "][/caption]

Dalam ranperda ini banyak pasal yang menyebut kondom, tapi tidak satu pun ada cara yang konkret untuk memantau penggunaan kondom. Pemakaian kondom dalam kaitannya dengan mencegah penularan HIV hanya bisa dilakukan di lokalisasi pelacuran dengan sistem yang bisa menjangkau proses pemakaian dengan pemantauan yang sistmatis.

Lihat saja pasal-pasal yang terkait dengan penanggulangan dan pencegahan sama sekali tidak menyentuh akar persoalan. Yang dikedepankan adalah larangan dengan sanksi pidana dan denda.

Di pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa pelanggaran terhadap pasal 4 diancam dengan hukuman kurungan enam bulan atau denda Rp 50 juta.

Biar pun orang-orang yang melawan perda dihukum tapi HIV yang ada pada badannya sudah ditularkan ke orang lain. Orang yang tertular itu pun kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV baru. Begitu seterusnya.

Pada bagian pencegahan dan penanggulangan di pasal 2 disebutkan: HIV menular dari seseorang yang terinfeksi kepada orang lain melalui:

a. transfusi darah dan transplantasi jaringan organ tubuh yang terkontaminasi HIV

b. penggunaan jarum suntik, pisau, atau alat sejenis yang tercemar HIV

c. hubungan seks yang tidak menggunakan kondom

d. seorang ibu yang terinfeksi HIV yang hamil, melahirkan dan menyusui

Entah apa alasan penempatan faktor-faktor risiko (mode of transmission) penularan HIV seperti pada pasal 2 ini. Secara lokal, nasional, regional dan global faktor risiko terbesar adalah melalui hubungan seksual, maka ditempatkan di atas. Tapi, dalam ranperda ini hubungan seks sebagai faktor risiko menjadi urutan ketiga. Ini mengesankan ada upaya menutupi penyebaran HIV di Papua yang didominasi hubungan seksual sebagai fakta di ranah realitas sosial.

Celakanya, dalam ranperda sama sekali tidak ada pasal yang menawarkan cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV seperti yang disebutkan pada pasal 2 (Lihat Gambar: Cara Penularan HIV dalam Ranperda AIDS Papua).

[caption id="attachment_100738" align="aligncenter" width="444" caption="Penularan HIV dalam Ranperda AIDS Papua"]

13023434681508305110

[/caption]

Pasal 4 ayat a berbunyi: ”Setiap orang yang berisiko tinggi tertular dan atau menularkan HIV wajib menggunakan kondom setiap melakukan hubungan seks dengan pasangannya.” Ancaman untuk pasal 4 ayat a ini sangat naif dan jauh dari pola pikir yang rasional.

Tanggapan terhadap pasal 4 ayat a:

a). Bagaimana caranya untuk mengetahui bahwa ada ’orang yang berisiko tinggi tertular dan atau menularkan HIV’ tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan pasangannya?

b). Siapa yang dimaksud dengan ’pasangannya’ dalam konteks pasal ini?

c). Bagaimana menentukan bahwa seseorang ’berisiko tinggi tertular dan atau menularkan HIV’?

d) Apakah seseorang yang hanya sesekali melakukan perilaku berisiko tidak potensial tertular atau menularkan HIV?

Pada pasal 1 ayat 14 disebutkan: ”Perilaku seksual berisiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom.”

Jika pasal 1 ayat 14 ini ditujukan kepada laki-laki ’hidung belang’, maka hal itu tidak realistis karena laki-laki ’hidung belang’ mempunyai ’pasangan tetap’ di kalangan pekerja seks komersial (PSK). Mereka menyebutnya sebagai ’pacar’ atau ’bini’. Maka, ancaman terkait dengan pasal 4 ayat tidak tepat sasaran.

Kalau saja yang merancang perda ini memahami dinamika pelacuran secara empiris di ranah realitas sosial, maka pasal 1 ayat 4 berbunyi: ”Perilaku seksual berisiko adalah melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, di wilayah Provinsi Papua atau di luar Provisi Papua serta di luar negeri dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.).”

Dalam perda PSK disebut sebagai ’penjaja seks komersial’ yaitu orang yang menyediakan dirinya untuk melakukan hubungan seksual dengan mendapatkan imbalan. Dalam KBBI penjaja adalah orang yang menjajakan. Sedangkan PSK tidak menjajakan ’barang dagangannya’. Penggunaan kata ’penjaja’ merendahkan harkat dan martabat PSK sebagai perempuan (Lihat: http://bahasa.kompasiana.com/2010/08/06/pemakaian-kata-dalam-materi-kie-aids-yang-merendahkan-harkat-dan-martabat-manusia/).

Penyebutan PSK ini pun bias gender karena tidak ada istilah untuk laki-laki yang memberikan imbalan kepada PSK setelah melakukan hubungan seksual.

Sedangkan di pasal 5 ayat a disebutkan: ”Setiap orang yang tidak berisiko tertular dan menularkan HIV wajib melakukan hubungan seks dengan satu pasangan tetap dan sah.” Pelanggaran terhadap pasal ini pun diancam dengan pasal 39.

Tanggapan terhadap pasal 5 ayat a:

a). Bagaimana menentukan seseoang tidak berisiko tertular atau menularkan HIV? Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual dengan yang mengidap HIV adalah 1:100, tapi tidak bisa diketahui pada hubungan seksual yang keberapa terjadi penularan. Maka, setiap hubungan seksual yang berisiko selalu ada kemungkinan tertular HIV.

b). Bagaimana mengetahui bahwa semua orang yang tidak berisiko tertular dan menularkan HIV hanya mempunyai satu pasangan tetap dan sah?

c). Apakah orang-orang yang sering kawin-cerai tercakup dalam pasal ini? Soalnya, kawin-cerai pun merupakan perilaku yang berganti-ganti pasangan.

Hal-hal yang naif ada di pasal 6. Antara lain tentang pengaitan risiko tertular HIV dengan lokasi yang kegiatannya bisa mempermudah penularan HIV. Bagaimana proses sebuah lokasi bisamempermudah penularan HIV? Tidak ada kaitan langsung antara tempat atau lokasi dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di sembarang tempat dan setiap waktu.

Pemakaian istilah ‘lokasi yang kegiatannya bisa mempermudah penularan HIV’ juga menunjukkan eufemisme dan mengaburkan makna. Mengapa tidak menyebut lokalisasi pelacuran? Dengan kasat mata di beberapa kota di Papua dapat dilihat lokalisasi pelacuran, sedangkan ‘lokasi yang kegiatannya bisa mempermudah penularan HIV’ tidak jelas maknya. Istilah ini konotatif, sedangkan lokalisasi pelacuran merupakan kata denotatif (fakta empiris).

Pasal 6 ayat 1 huruf a disebutkan: “Pengelola lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap setiap penjaja seks komersial yang untuk pertama kali memasuki dan melakukan hubungan seks di lokasi yang bersangkutan.”

Tanggapan terhadap pasal 6 ayat 1 huruf a:

a). Pemeriksaan kesehatan apa yang dimaksud? Soalnya, tidak ada gejala medis yang khas AIDS pada orang-orang yang sudah tertular HIV.

b). Jika pemeriksaan kesehatan dikaitkan dengan infeksi HIV, maka ada masa jendela yang bisa membuat hasil tes HIV negatif palsu (HIV sudah ada di darah tapi tidak terdeteksi karena tubuh belum memproduksi antibody HIV yang dicari dalam tes HIV) atau positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi terdeteksi atau reaktif). (Lihat Gambar:  Masa Jendela pada Epidemi HIV).

[caption id="attachment_100740" align="aligncenter" width="417" caption="Masa Jendela pada Epidemi HIV"]

13023436271144944562

[/caption] Hasil tes HIV-negatif palsu pada PSK baru akan menjadi bumerang karena PSK itu sebenarnya mengidap HIV. Pemantauan penggunaan kondom yang tidak konkret akan membuka celah penyebaran HIV. Bisa juga terjadi PSK itu dibawa keluar tempat berisiko sehingga tidak ada kewajiban menolak laki-laki yang tidak memakai kondom.

Pasal 6 ayat 1 huruf b disebutkan: “Pengelola lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib melaporkan dan menyerahan setiap penjaja seks komersial yang diketahui telah terinfeksi HIV/AIDS kepada KPA atau Komisioner untuk mendapatkan penanganan pelayanan.”

Tanggapan terhadp pasal 6 ayat 1 huruf b:

a). Dalam standar prosedur operasi tes HIV yang baku secara internasional identitas seseorang yang terdeteksi HIV melalui tes HIV yang baku hanya boleh diketahui oleh konselor dan dokter atau atas perintah hakim melalui sidang pengadilan. Maka, pembeberan catatan medis berupa identitas orang yang terdeteksi HIV merupakan pebuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).

b). Jika pemeriksaan kesehatan yang dilakukan terhapada PSK merupakan rapid test atau ELISA, terutama di masa jendela, maka ada kemungkinan hasilnya positif palsu. PSK yang terdeteksi sebagai positif HIV palsu sudah dirugikan dan dianiaya secara psikologis. Ini juga perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).

c). Jika pemeriksaan kesehatan yang dilakukan terhapada PSK merupakan rapid test atau ELISA, terutama di masa jendela, maka ada kemungkinan hasilnya negatif palsu. Ini merupakan bumerang karena PSK itu tetap diizinkan beroperasi padahal dalam darahnya sudah ada HIV.

Pasal 6 ayat 1 huruf c disebutkan: “Pengelola lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib mengembalikan setiap penjaja seks komesial yang berasal dari luar Papua ke daerah asal yang diketahui terinfeksi HIV/AIDS dengan beban biaya dari pengelola dan wajib melaporkan ke KPA Provinsi atau Komisioner.”

Tanggapan terhadap pasal 6 ayat 1 huruf c:

a).  Bagaimana tindakan terhadap PSK lokal, asli atau pedatang, yang terdeteksi HIV/AIDS?

b).  Pasal ini diskriminatif.

c). Tidak ada UU yang membolehkan pemulangan seseorang yang terdeteksi HIV dari satu daerah ke daerah asalnya. Pemulangan PSK ini merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.

d).  Bagaimana jika PSK yang terdeteksi HIV/AIDS itu justru ditulari oleh penduduk lokal, asli atau pendatang?

e). Biar pun PSK yang terdeteksi HIV/AIDS dipulangkan, mata rantai penyebaran HIV di Papua terus terjadi karena ada dua kemungkinan:

- PSK yang terdeteksi HIV ditulari penduduk lokal, asli atau pendatang, setelah beroperasi di Papua. Lalu, penduduk lokal, asli atau pendatang, tertular HIV dari PSK tsb. Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan yang menularkan HIV kepada PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIVdi masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

- PSK yang terdeteksi HIV sudah mengidap HIV ketika mulai beroperasi di Papua, maka laki-laki yang tertular HIV dari PSK ini akan menjadi mata rantai penyebaran HIVdi masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Pasal 6 ayat 1 huruf e disebutkan: “Pengelola lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib menyediakan kondom serta mewajibkan penggunaan kondom dengan cara benar bagi setiap orang yang melakukan hubungan seks dengan penjaja seks komersial.”

Tanggapan terhadap pasal 6 ayat 1 huruf e:

a). Bagaimana caranya untuk memastikan bahwa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK?

Pasal 6 ayat 1 huruf f disebutkan: “Pengelola lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib mengatur dan memastikan setiap penjaja seks komersial menolak orang yang melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom dengan cara benar.”

Tanggapan terhadap pasal 6 ayat 1 huruf f:

a). Bagaimana cara yang akan dilakukan oleh pengelola dalam memastikan bahwa laki-laki yang tidak memakai kondom akan ditolak oleh PSK? Posisis tawar PSK sangat lemah karena laki-laki ’hidung belang’ memakai tangan germo untuk memaksa PSK menerima laki-laki tanpa kondom. Untuk itulah diperlukan mekanisme yang konkret (Lihat Gambar: Mekanisme Pemantauan Program Kondom yang Konkret).

[caption id="attachment_100741" align="aligncenter" width="429" caption="Mekanisme Pemantuan Program Kondom yang Konkret"][/caption] Pasal 6 ayat 1 huruf g disebutkan: “Pengelola lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib melaporkan kepada petugas keamanan setiap orang yang memaksa untuk melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom dengan cara benar.”

Tanggapan terhadap pasal 6 ayat 1 huruf g:

a). Kalau pengelola dan laki-laki ’hidung belang’ sepakat untuk ’kerja sama’, bagaimana cara untuk mengetahui permuakatan buruk itu?

Pelanggaran terhadap pasal 9 pun diancam pidana. Di pasal 9 ayat a disebutkan: “Setiap orang yang berisiko tinggi tertular HIV dan AIDS wajib menggunakan kondom setiap kali melakukan hubungan seks dengan pasanganya.”

Tangapan terhadap pasal 9 ayat a:

a). Bagaimana mekanisme menentukan atau menetapkan orang-orang yang berisiko tinggi?

b). Bagaimana mekanisme untuk mengawasi setiap orang yang berisiko apakah mereka memakai kondom atau tidak ketika melakukan hubungan seks dengan pasangannya?

b). Siapa yang dimaksud ‘pasangannya’ dalam konteks pasal ini? (Bersambung) ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline