Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Remaja Palu, Sulteng, Dominasi Kasus IMS dan HIV/AIDS

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Remaja selalu menjadi sorotan terkait dengan perilaku, terutama yang dinilai khalayak sebagai perilaku buruk. Seperti di Kota Palu, Sulawesi Tengah, ini. Dikabarkan separuh dari kasus IMS (infeksi menular seksual, penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, seperti GO, sifilis, hepatitis B, dll.) di kota itu terdeteksi pada remaja (50 Persen Penderita Infeksi Menular Seksual di Palu Dialami Remaja, TEMPO Interaktif, 8/4-2011).

Jika dilihat dari aspek epidemiologi yang potensial menimbulkan masalah terkait dengan IMS dan HIV justru kalangan dewasa, tertutama laki-laki, jika dibandingkan dengan remaja. Laki-laki dewasa yang mempunyai istri akan menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus kepada istrinya atau perempuan lain. Ini bisa dilihat dari kasus IMS dan HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Kondisi ini berdampak pula kepada janin yang dikandung ibu-ibu tsb. Sedangkan remaja tidak mempunyai pasangan tetap sehingga mata rantai penyebaran IMS dan HIV terhenti pada mereka.

Disebutkan: “Lima puluh persen dari kasus IMS akibat hubungan seks yang tidak sehat di Kota Palu, Sulawesi Tengah, dialami remaja.” Pernyataan ini tidak akurat karena penularan IMS terjadi bukan karena sifat hubungan seks (‘tidak sehat’, zina, dll.), tapi karena kondisi hubungan seks (salah satu mengidap IMS dan remaja laki-laki tidak memakai kondom).

Menurut Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Palu, dr Ketut Suarayasa, akibat seks bebas yang dilakukan remaja, kasus HIV/AIDS di Palu meningkat. Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina maka lagi-lagi pernyataan ini tidak akurat karena penularan HIV tidak ada kaitannya dengan ‘seks bebas’. Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Data di Dinas Kesehatan Kota Palu menunjukka dari 25 kasus IMS pada 2010, 50 persen terdeteksi pada remaja. Sedangkan kasus HIV/AIDS tahun 2010 dari 90 kasus 73 kasus atau sekitar 81 persen terdeteksi pada remaja. Namun, ada tidak jelas faktor risiko (mode of transmission) kasus HIV/AIDS pada remaja. Soalnya, kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan remaja pada pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik.

Diingatakan agar orang tua mendidik anak untuk menghindari terjadinya penyimpangan seks. Ini juga ngawur karena ‘penyimpangan seks’ adalah bahasa moral. Hubungan seksual yang dilakukan remaja merupakan dorongan biologis yang tidak bisa dialihkan. Untuk itulah kita berharap agar orang-orang tua, seperti Pak Dokter yang menjadi narasumber berita ini, mau berbagai dengan remaja: Tolong katakan apa yang Anda lakukan ketika remaja untuk mengatasi dorongan hasrat seks secara jujur!

Selama ini kalangan dewasa selalu menyalahkan remaja. ’Seks bebas’ di kalangan remaja dikecam. Kecaman tersebut mengesankan kalangan dewasa boleh melakukan ’seks bebas’. Ini ’kan menyesatkan.

Disebutkan pula: ” .... seks bebas bukan hanya berakibat IMS, maupun HIV/AIDS, tetapi juga akan menjurus pada tindakan aborsi tidak sehat karena adanya kehamilan yang tidak diinginkan dan bisa menyebabkan kematian.” Ini juga ngawur karena kehamilan terjadi bukan karena sifat hubungan seksual (’seks bebas’), tapi karena karena kondisi hubungan seksual (pasangan remaja tsb. tidak memakai alat kontrasepsi). Penelitian oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Jakarta tahun 2002 menunjukkan lebih dari 80 persen yang melakukan aborsi di sembilan kota besar di Indonesia justru perempuan yang terikat pernikahan.

Direktur Pelaksana Daerah PKBI Sulawesi Tengah Yospina Liku La’bi, mengatakan para remaja yang menginginkan aborsi atau menggugurkan janin itu berusia antara 15 sampai 22 tahun. Pernyataan ini tidak adil karena tidak dibandingkan dengan kalangan dewasa. Apakah tidak ada ibu-ibu rumah tangga yang meminta aborsi? Apakah tidak ada ibu-ibu rumah tangga yang meminta aborsi?

Selama remaja tidak mendapatkan pengetahuan yang komprehensif tentang kesehatan reproduksi, termasuk HIV/AIDS dan narkoba, maka selama itu pula kasus-kasus IMS, kehamilan yang tidak diinginakn (KTD) dan aborsi akan terus terjadi.

Celakanya, orang tua pun tidak mau berbagi dengan remaja tentang cara mereka mengatasi dorongan seks ketika mereka remaja. Kondisinya kian runyam kaerna inforamsi seputar HIV/AIDS dan nakoba dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga remaja tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang konkret. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline