Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Walikota Pekanbaru: Membuat Malu dan Jera PSK dengan Kata Pelacur

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13018871441669863993

Kegiatan pelacuran di berbagai daerah mulai ditanggapi dengan cara-cara yang reaksioner. Di Pekanbaru, Riau, misalnya, Walikota Pekanbaru, Herman Abdullah, meminta agar media massa tidak lagi menggunakan istilah pekerja seks komersial atau PSK, tapi memakai kata pelacur (Walikota Minta Sebutan PSK Dikembali jadi Pelacur, www.riauterkini.com, 21/3-2011).

Dikabarkan sambil tertawa kecil Walikota mengatakan: ” ... PSK sudah tidak layak dipakai, terlebih jika itu bertujuan untuk menimbulkan efek malu dan jera, sehingga diharapkan mereka sadar dan tidak ada lagi pelacuran, atau istilah di kampung saya lonte.“

Cara pandang dan sikap Walikota Pekanbaru itu menunjukkan bias gender. Mengapa hanya PSK yang diharapkan malu dan jera?

Dunia pelacuran hidup dan berkembang karena ulah laki-laki. Lalu: Mengapa Walikota Pekanbaru tidak membuat laki-laki ’hidung belang’ malu dan jera ke pelacuran?

Biar pun di Pekanbaru tidak ada pelacuran, tapi bisa saja laki-laki ’hidung belang’ peduduk Pekanbaru, asli ataupendatang, melacur di luar kota Pekanbaru atau di luar negeri. Jika di antara mereka ada yang tertular HIV, maka mereka ankan menjadi mata rantai penyebaranHIV di Pekanbaru (Lihat Gambar 1).

[caption id="attachment_99572" align="alignnone" width="517" caption="Gambar 1. Mata Rantai Penyebaran HIV di Pekanbaru"][/caption]

Jika disimak segi tiga pelacuran, maka yang mendorong pasokan PSK justru laki-laki ’hidung belang’ sebagai pihak yang ’memakai’ jasa PSK. Maka, jika ingin meniadakan pelacuran yang diintervensi adalah laki-laki ’hidung belang’ agar tidak melacur.

Disebutkan: ’ .... wanita yang menjual dirinya, terhadap laki-laki hidung belang’. Sayang, dalam berita pihak Walikota dan Dinas Pariwisata tidak memberikan julukan atau istilah yang diharapkan bisa membuat malu dan jera terhadap laki-laki ’hidung belang’.

Staf Ahli walikota Syafril Munaf mengatakan: ’ .... jika ditulis PSK, seolah-olah kita melindungi dan mengakui pekerjaan mereka, padahal dimana setiap pekerja itukan dilindungi, dan mempunyai hak sedangkan pelacur itu bukan pekerjaan, bahkan secara hukum tidak diperbolehkan dan harus ditertibkan.“

Memang, tidak ada negara yang melegalkan pelacuran. Yang banyak dilakukan adalah meregulasi pelacuran melalui lokalisasi. Hal ini dilakukan karena (praktek) pelacuran tidak bisa dibasmi dari muka bumi ini. Di daerah yang mempunyai Perda AntiPelacuran, sepeti Kota Tangerang, Prov Banten, misalnya tetap saja terjadi (praktek) pelacuran. Pemko Pekanbaru sendiri dikabarkan terus memerangi pelacuran, tapi tidak berhasil.

Karena pelacuran erat kaitannya dengan aspek kesehatan masyarakat yaitu penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual (disebut IMS/infeksi menular seksual, seperti sifilis, Go,dan virus hepatitis B, dll.) serta HIV, maka kegiatan pelacuran dilokalisir. Di lokalisasi dilakukan penangangan yang komprehensif agar tidak ada penyebaran IMS dan HIV dari masyarakat (laki-laki ’hidung belang’) ke PSK dan sebaliknya.

Di Kota Pekanbar sendiri kasus kumulatif HIV/AIDS sampai Desember 2010 berjumlah 853 yang terdiri atas 361 kasus HIV dan 492 AIDS (antara, 2/12-2010). Jika dirunut ke belakang maka 492 penduduk yang terdeteksi AIDS itu sudah tertular HIV antara tahun 2005 dan 1995 (Lihat Gambar 2).

[caption id="attachment_99571" align="alignnone" width="403" caption="Gambar 2. Penularan HIV di Pekanbaru"]

13018870282118529934

[/caption]

Perda AIDS Prov Riau sendiri hanya ’macan kertas’ karena tidak menawarkan cara-cara penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS yang konkret (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/30/menyibak-peran-perda-aids-riau-dalam-penanggulangan-aids-riau/).

Maka, terkait dengan upaya penanggulangan epidemi HIV tidak ada manaatnya mengganti istilah PSK dengan pelacur karena apa pun namanya laki-laki ’hidung belang’ akan terus mencari perempuan untuk menyalurkan hasrat seksual.

Tanpa harus mengutik-utik penyebutan PSK, Pemko Pekanbaru ditantang untuk mengubah paradigma dalam memandang pelacuran. Bukan lagi mengejar-ngejar PSK, menggantan sebutan PSK dengan pelacur, tapi mendorong laki-laki aga tidak melacur.

Soalnya, apakah dengan mengganti istilah PSK menjadi pelacur otomatis laki-laki akan malu dan jera ke dunia pelacuran? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline