Salah satu faktor yang memicu penyebaran HIV/AIDS di banyak negara asalah penyangkalan terkait dengan perilaku (seks) penduduk. Fakta tentang HIV/AIDS yang terdeteksi di masyarakat dibenturkan dengan jargon-jargon moral. Seperti yang dialami Thailand di awal tahun 1990-an. Mereka mengabaikan peringatan ahli epidemiologi tentang penyebaran HIV di negeri itu. Apa yang terjadi kemudian? Satu dekade kemudian hampir 1 juta kasus HIV/AIDS terdeteksi di Thailand.
Itu pulalah yang terjadi di Indonesia. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terus-menerus terdeteksi di semua daerah hanya dianggap sebagai angka mati. Bahkan, kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kalangan ibu-ibu rumah tangga hanya dilirik dengan sebelah mata.
Celakanya, di Indonesia tidak hanya penyangkalan yang terjadi tapi juga selalu mencari ‘kambing hitam’, misalnya, AIDS dibawa dari luar negeri, AIDS panyakit gay, dll. yang semuanya hanya mitos (anggapan yang salah). Salah satu daerah yang banyak terdeteksi kasus HIV/AIDS adalah Provinsi Papua.
Kasus HIV/AIDS yang sudah ‘memasyarakat’ di Papua tetap mencari ‘kambing hitam’. Lihatlah judul berita ini: “HIV di Papua (2). Mama Ade & Paha Putih Penyebar HIV di Papua” (Okezone, 22/3-2011).
Judul berita itu menunjukkan bahwa penyebaran HIV di Papua karena ulah ‘Mama Ade” dan ‘Paha Putih’, julukan untuk pekerja seks komersial (PSK). Penyebaran HIV di Papua sama sekali tidak dikaitkan dengan perilaku (seks) penduduk, khususnya laki-laki dewasa,
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah semua PSK yangmasuk ke Papua menjalani tes HIV sebelum ‘praktek’?
Kalau jawabannya TIDAK, maka bisa saja terjadi yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang. Dikabarkan 70 persen kasus HIV/AIDS di Papua terdeteksi pada penduduk asli.
Kasus HIV/AIDS terdeteksi pertama kali pada PSK dan nelayan Thailan di Merauke tahun 1992. Sedangkan laporan kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM & PLP Depkes RI menunjukkan sampai Desember 1995 di Papua ada 88 HIV+ dan 8 AIDS dengan 5 kematian.
Bertolak dari data itu maka penularan HIV pada penduduk Papua sudah terjadi antara tahun 1980 dan 1990. Ini berdasarkan statistik bahwa masa AIDS terjadi setelah tertular HIVantara 5 – 15 tahun. Maka, kematian yang dilaporkan tahun 1995 tertular antara tahun 1980 dan 1990 (Lihat Gambar 1).
Apakah ada laki-laki dewasa penduduk asli Papua yang keluar dari Papua sebelum tahun 1992? Kalau jawabannya TIDAK, maka penyebaran HIV terjadi di Papua dari pendatang. Tapi, kalau jawabannya YA, maka bisa saja ada penduduk asli Papua yang tertular HIV di luar Papua. Merekalah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di Papua (Lihat Gambar 2).
[caption id="attachment_97950" align="alignnone" width="529" caption="Gambar 2"]
[/caption] Sayang, pernyataan dalam berita tsb. justru mendorong penyangkalan terkait dengan perilaku laki-laki dewasa Papua. Disebutkan: “Maraknya kasus HIV/AIDS di Papua, ditengarai lantaran banyaknya warga yang biasa menggunakan jasa Mama Ade atau Paha Putih.”
Dari data Depkes sudah jelas bahwa tahun 1995 sudah ada kematian di Papua. Ini menunjukkan penduduk yang mati karena penyakit terkait AIDS tertular antara tahun 1980 dan 1990 jauh sebelum kasus HIV/AIDS terdeteksi pada nelayan Thailand dan PSK di Merauke.
Disebutkan pula: “Jasa mereka (PSK-pen.) kerap digunakan oleh para hidung belang jika ingin memuaskan nafsu syahwatnya.” Pertanyaannya adalah: Apakah laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom ketika sanggama dengan PSK? Di kalangan laki-laki ‘hidung belang’ di Papua dan Papua Barat mereka menyebut ’cuci busi’ jika ’main’ dengan PSK.
Celakanya, Perda AIDS Kota Jayapura justru melarang pelacuran sehingga tidak program ‘wajib kondom’ bagi laki-laki ‘hidung belang’ tidak bisa diterapkan (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/23/ironi-penanggulangan-aids-di-perda-aids-kota-jayapura-papua/ http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/23/ironi-penanggulangan-aids-di-perda-aids-kota-jayapura-papua/).
Disebutkan bahwa laki-laki ‘hidung belang’ tidak memakai kondom ketika sanggama karena tidak nyaman dan banyak kondom yang rusak (bocor). Sayang wartawan yang menulis berita ini tidak menunjukkan fakta empiris terkait dengan kondom yang bocor.
Binton Nainggolan, Sekretaris KPA Kota Jayapura, mengatakan: ” … jumlah penderita HIV di kota Jayapura meningkat disebabkan mobilisasi penduduk yang datang dari berbagai daerah di Papua, terutama warga pegunungan.” Tapi, dalam berita tidak ada data tentang perbandingan kasus HIV/AIDS pada penduduk Jayapura dan luar Jayapura.
Disebutkan pula: ”Upaya lain juga dilakukan dengan pemeriksaan VCT bagi tiap-tiap PSK yang bekerja pada puluhan tempat-tempat prostitusi di kota Jayapura.” Ini artinya, penanggulangan di hilir karena menunggu PSK dan penduduk tertular dulu.
Lagi pula biar pun tes HIV dilakukan rutin terhadap PSK tapi tidak dikaitkan dengan perilaku penduduk lokal maka penyebaran HIV akan terus terjadi tanpa disadari karena laki-laki penduduk lokal yang menularkan HIV kepada PSK dan yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat tanpa mereka sadari.
Jika penanggulangan hanya dilakukan di hilir yaitu menunggu penduduk memeriksakan diri ke klinik VCT dan tes HIV terhadap PSK, maka penyebaran HIV di hulu terus terjadi. Itu artinya ’ledakan AIDS’ akan terjadi di Jayapura karena penularan di hulu (antar penduduk) tidak ditanggulangi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H