Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

AIDS di Bengkulu: Mengabaikan Penyebaran Melalui Praktek Pelacuran

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1300871077849948497

Ada salah kaprah tentang kaitan antara lokalisasi pelacuran dengan penyebaran HIV/AIDS. Lokalisasi pelacuran bukan untuk menekan laju penyebaran HIV, tapi untuk menerapkan kewajiban memakai kondom terhadap laki-laki ‘hidung belang’. Soalnya, jika tidak ada lokalisasi pelacuran maka praktek-praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat sehingga pemakaian kondom tidak bisa dikontrol.

Thailand yang sudah lama menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual antara laki-laki dewasa dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir menurntukan insiden infeksi HIV baru. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Bengkulu dilaporkan 56 dengan 18 kematian.

Tapi, angka itu tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV.

Dikabarkan Plt. Gubernur H. Junaidi Hamsyah, SAg, MPd dan Walikota Bengkulu H. Ahmad Kanedi, SH, MH, berpendapat untuk menekan angka penyebaran HIV/AIDS bukan dengan melegalkan praktik prostitusi, tapi justru dengan memberantas prostitusi (Gubernur-Wako Tolak Legalisasi Prostitusi, www.jpnn.com, 23/3- 2011).

Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang melegalkan pelacuran. Yang dilakukan di beberapa negara adalah regulasi (mengatur) lokalisasi pelecuran. Ini dilakukan karena terkait dengan kesehatan masyarakat. Jika pelacuran tidak dilokalisir maka praktek pelacuran tidak bisa dikontrol. Melokalisir pelacuran merupakan upaya untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV dari masyarakat (laki-laki ‘hidung belang’) ke PSK dan sebaliknya.

Penduduk laki-laki ‘hidung belang’ menularkan IMS (infeksi menular seksual) adalah penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari seseorang yang mengidap IMS kepada orang lain, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) atau HIV atau dua-duanya sekaligus ke PSK. Sebaliknya, ada pula laki-laki ‘hidung belang’ yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari PSK. Dalam kaitan inilah ada dua sisi yang bisa diintervensi yaitu: (a) kewajiban memakai kondom bagi laki-laki ‘hidung belang’ yang melakukan hubungan seksual dengan PSK, atau (b) kewajiban memakai kondom suami ketika sanggama dengan istrinya bagi yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, jika dua hal itu tidak jalan maka upaya memutus mata rantai penyebaran HIV dilakukan terhadap perempuan hamil, yaitu pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (Lihat Gambar).

[caption id="attachment_96964" align="aligncenter" width="443" caption="Intervensi Penanggulangan AIDS di Bengkulu"][/caption] Pak Gubernur dan Pak Walikota boleh-boleh saja menepuk dada karena tidak ada lokalisasi pelacuran di Bengkulu. Inilah yang terjadi di banyak daerah, bahkan dikuatkan dengan peraturan daerah (Perda), seperti di Kota Bengkulu yang sudah menelurkan Perda No 24/2000 tentang Larangan Pelacuran dalam Kota Bengkulu.

Tapi, tunggu dulu. Apakah ada jaminan setelah ada perda tsb. praktek pelacuran sama sekali tidak ada di Kota Bengkulu?

Memang, tidak ada lagi PSK langsung yaitu PSK yang biasanya ‘beroperasi’ di lokalisasi pelacuran atau jalanan. Tapi, apakah bisa dijamin di losmen, hotel melati dan hotel berbintang tidak ada PSK langsung yang praktek melalui kurir atau panggilan telepon?

Polisi dan Satpol PP pun hanya berani merazia losmen dan hotel melati. Apakah di hotel berbintang tidak ada praktek pelacuran? Apakah di hotel berbintang tidak ada pasangan laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki surat nikah tidur sekamar?

Terkait dengan penyebaran HIV jika tidak ada lokalisasi pelacuran maka penyebaran HIV terjadi melalui praktek pelacuran dengan PSK tidak langsung yaitu ‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, wanita idaman lain, gundik, ‘bini simpanan’, dll. Di Makassar, Sulsel, misalnya dikabarkan penyebaran HIV didorong oleh PSK tidak langsung (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/).

Ada kesan PSK bisa diatasi dengan pemberdayaan ekonomi. Tapi, sejak rezim Orde Baru sudah berbagai macam program yang dilakukan terhadap PSK. Hasilnya nol besar karena banyak faktor yang mendorong seseorang menjadi PSK (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).

Karena (praktek) pelacuran tidak mungkin dihilangkan, maka terkait dengan penyebaran HIV yang perlu dilakukan adalah memutus mata rantai penyebaran HIV dari PSK. Ini dapat dilakukan dengan kewajiban bagi laki-laki ‘hidung belang’ untuk memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung di Bengkulu, di luar Bengkulu dan di luar negeri.

Soalnya, di Arab Saudi yang menerapkan hukum Islam sehingga tidak ada pelacuran dan hiburan malam pun sudah dilaporkan lebih dari 15.000 kasus AIDS. Koq bisa? Ya, bisalah. Laki-laki penduduk negeri itu tertular HIV di luar negaranya. Hal yang sama terjadi di Aceh yang menerapkan syariat Islam. Ada kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada penduduk yang diperkirakan tertular di luar Aceh (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/23/aids-di-aceh-utara-%E2%80%98dibawa-dari-luar%E2%80%99/).

Yang menjadi pertanyaan besar adalah: Apakah Gubernur Bengkulu dan Walikota Bengkulu bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsug di Bengku atau di luar Bengkulu?

Jika jawabannya BISA, maka tidak ada masalah penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar terkait dengan penyebaran HIV melalui hubungan seksual.

Salah satu indikatornya adalah kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga. Ini membuktikan suami mereka melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan perempuan lain yang mengidap HIV tanpa kondom.

Kalau mata rantai penyebaran HIV tidak diputus maka penyebaran HIV kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline