Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Penyebaran AIDS di Prov Gorontalo Melalui 355 PSK

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada empat media yang menerbitkan berita terkait pelanggan pekerja seks komersial (PSK) di Prov Gorontalo. yaitu: (1) Wuih, Pelanggan PSK Capai 7.514 Orang (www.surya.co.id, 7/2-2011), (2)Ya Ampun, Pelanggan Penjaja Seks di Gorontalo 7.514 Orang (tvOne, 7/2-2011), (3) Pelanggan PSK di Gorontalo 7.514 Orang (metrotvnews.com, 7/2-2011), dan Pasar Gemuk PSK. 7.514 Pelanggan, Hanya Dilayani 65 PSK (kompas.com, 7/2-2011).

Tiga berita itu sama sekali tidak menggambarkan realitas sosial yaitu terkait dengan gambaran kegiatan praktek pelacuran di Prov Gorontalo yang tersebar di lima kabupaten dan satu kotamadya. Judul berita merupakan sensasi. Coba simak judul beirta di www.surya.co.id dan tvOne. Pemakaian kata penjaja pun tidak akurat karena PSK tidak menjajakan ‘barang dagangannya’. Yang mencari justru laki-laki ’hidung belang’ (Lihat: Syaiful W. Harahap, Pemakaian Kata dalam Materi KIE AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia. http://bahasa.kompasiana.com/2010/08/06/pemakaian-kata-dalam-materi-kie-aids-yang-merendahkan-harkat-dan-martabat-manusia/).

Misalnya, dalam berita tidak ada data empiris tentang penggunaan kondom pada laki-laki ‘hidung belang’, dan kasus IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungans seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti GO (kencing nanah), sifilis (raja singa), klamidia, hepatitis B, dll.). Tiga berita ini pun hanya sekelas talking news sebagai transcript wawancara dengan seorang aktivis LSM.

Arkan Karim, aktivis ‘Huyula Support’, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang penanganan HIV/AIDS di Gorontalo mengatakan, laki-laki pelanggan PSK di Prov Gorontalo mencapai 7.514. Angka ini merupakan estimasi populasi dewasa rawan terinfeksi HIV yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI tahun 2009.

Jika penggunaan kondom 7.514 pelanggan PSK tsb. rendah maka banyak di antara laki-laki ‘hidung belang’ itu yang berisiko tertular HIV. Ada dua kemungkinan yang terjadi terkait dengan realitas PSK ini. Disebutkan PSK langsung di provinsi itu 65, sedangkan PSK tidak langsungada 290 (Lihat: Syaiful W. Harahap, Menyoal Faktor Risiko Penyebaran HIV/AIDS di Provinsi Gorontalo, http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/18/menyoal-faktor-risiko-penyebaran-hivaids-di-provinsi-gorontalo/).

Pertama, kalau satu PSK meladeni 3laki-laki tiap malam, maka setiap bulan ada 21.300 laki-laki ( 3 laki-laki x 355 PSK x 20 hari kerja) yang berisiko tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus.

Kedua, PSK yang beroperasi di Prov Gorontalo kemungkinan tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang, Ini menunjukkan sudah ada kasus IMS dan HIV di masyarakat. PSK yang tertular IMS dan HIV akan menularkan HIV kepada laki-laki yang mengencani mereka tanpa kondom. Laki-laki yang menularkan IMS dan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular IMS dan HIV dari PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, lajang atau duda. Mereka inilah kemudian yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat.

Ketiga, PSK yang beroperasi di Prov Gorontalo kemungkinan sudah tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus di luar Gorontalo. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang, akan berisiko tinggi terular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus kalau mereka kencan dengan PSK tanpa kondom. Laki-laki yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus akan menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dampak dari perilaku laki-laki ‘hidung belang’ akan dapat dilihat dari kasus IMS dan HIV pada ibu-ibu rumah tangga. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Gorontalo, yang dikenal sebagai ‘Serambi Madinah’ ini, sebanyak 239. Perlu diingat angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi adalah puncak gunung es yang muncul ke permukaan, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi jauh lebih besar yaitu bongkahan es di bawah permukaan laut.

Padahal, di Prov Gorontalo ada peratuaran daerah (Perda) anti maksiat yaitu Perda Provinsi Gorontalo No 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat. Tapi, karena perda ini tidak menukik ke akar persoalan maka perda ini pun bagaikan macam ompong (Lihat: Syaiful W. Harahap, Perkosaan di Perda Pencegahan Maksiat Provinsi Gorontalo, http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/22/perkosaan-di-perda-pencegahan-maksiat-provinsi-gorontalo/).

Karena ada perda maka praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung (’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, ’cewek SPG’, selingkuhan, WIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, waria pekerja seks, dll.) pun terjadi secara sembunyi-sembunyi di berbagai tempat. Transaksi dilakukan melalui telepon atau kurir. Inilah yang tidak bisa dijerat oleh perda tsb. Di Prov Sulawesi Selatan kasus HIV didorong oleh PSK tidak langsung ini (Lihat: Syaiful W. Harahap, AIDS di Sulawesi Selatan Didorong PSK Tidak Langsung, http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/).).

Di Indonesia ada anggapan kalau tidak ada lokalisasi atau lokasi pelacuran maka daerah itu bebas dari pelacuran. Ini asumsi yang salah karena praktek pelacuran terjadi kapan saja dan di mana saja. Seperti kegiatan pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung di Gorontalo. Aktivitas PSK tidak langsung ini lebih rentan terkait dengan penularan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus karena tidak ada intervensi yang bisa menurunkan insiden penularan IMS atau HIV.

PSK tidak langsung tidak bisa dikontrol terkait dengan penyakit dan partisipasi mereka terhadap upaya memaksa laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom. Thailand, misalnya, berhasil menurunkan insiden penularan IMS dan HIV baru di kalangan laki-laki dewasa melalui hubungan seksual di lokalisasi dan lokasi pelacuran serta rumah bordir melalui program ‘wajib kondom 100 persen’. Program ini bisa jalan karena germo atau mucikari di Thailand harus mempunyai izin usaha. Sanksi terhadap pelanggaran pemakaian kondom berupa pencabutan izin usaha sehingga germo menjalankan program dengan sepenuh hati.

Disebutkan pula kesadaran masyarakat untuk memeriksa kesehatan (terkait dengan HIV-pen.) di Prov Gorontalo sangat kurang. Pernyataan ini tidak akurat karena: (1) banyak orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka, dan (2) tidak semua orang harus tes HIV karena risiko tertular HIV terkait langsung dengan perilaku seks orang per orang.

Menurut Arkan, penyakit ini (HIV/AIDS, pen.) masih menjadi fenomena gunung eskarena sulitnya upaya pendeteksian. Ini terjadi karena tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendorong penduduk, terutama laki-laki, yang perilaku seksualnya berisiko tertular HIV untuk menjalani tes HIV.

Jika Pemprov Gorontalo tidak melakukan langkah yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung, maka kasus-kasus HIV dan AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline