"Semula saya menganggap AIDS itu najis." Inilah pengakuan seorang peserta pelatihan Jurnalisme Empati Penulisan AIDS Angkatan XII/Mei 2000 di LP3Y Yogyakarta. Dalam Islam, najis berarti kotoran yang membatalkan wudu sehingga menghalangi seseorang untuk beribadah, khususnya salat dan memegang Alquran.
Astagfirullah. Jika HIV sebagai virus dianggap najis, lalu bagaimana dengan virus-virus lain, seperti flu, hepatitis B, dan hepatitis C yang juga bercokol di dalam tubuh manusia? Prevalensi virus hepatitis B di Indonesia jauh lebih besar daripada infeksi HIV, sehingga amat banyak penduduk kita yang "bernajis".
Selain itu, apakah wartawan tadi tidak mengetahui kalau vaksin yang disuntikkan ke tubuhnya juga virus? Jika kita bertolak dari anggapan wartawan tadi tentulah hal ini akan menambah jumlah penduduk yang "bernajis" karena sejak seorang bayi dilahirkan dia sudah harus menerima virus (baca: vaksin), baik yang diberikan secara oral (diteteskan ke mulut) atau melalui suntikan. Sampai usia balita (bayi di bawah lima tahun) seorang bayi sudah menerima lebih dari 10 jenis immunisasi.
Yang dikhawatirkan pendapat wartawan tadi bertolak dari mitos (anggapan yang keliru) yang menyebutkan HIV menular melalui zina sehingga yang terinfeksi HIV pun dianggapnya bergelimang dosa. Padahal, penularan HIV tidak hanya melalui hubungan seks. Lagi pula infeksi HIV bukan karena sifat hubungan seks (di luar nikah), tetapi kondisinya (salah satu sudah terinfeksi HIV dan hubungan seks dilakukan tanpa kondom).
Jika ada yang sepakat tentang najis dengan wartawan itu, maka setiap penyakit yang tertular melalui hubungan seks tentulah juga najis. Jadi, orang-orang yang terinfeksi PMS, seperti sifilis, GO, virus Hepatitis B dan lain-lain tentulah juga "bernajis". Sayang, wartawan tadi, dan orang-orang yang sepakat dengan pendapat itu, tidak pernah mempersoalkan pengidap virus hepatitis B, GO dan sifilis yang juga sebagai orang yang "bernajis".
Kalau saja wartawan tadi mau membuka diri agar cakrawala berpikirnya luas tentulah dia tidak akan terperangkap pada informasi yang sangat sempit. Sangat disayangkan kalau ada wartawan yang hanya mengandalkan secuil informasi, yang terkadang tidak akurat, dalam menulis berita atau reportase tentang HIV/AIDS. Informasi kian tidak objektif ketika narasumber yang diwawancarai juga pakar yang tidak bersikap fair yang selalu mengait-ngaitkan AIDS dengan moral dan agama. Wartawan pun terjebak sehingga ada yang menyebutkan AIDS sebagai penyakit baru, kutukan Tuhan dan lain-lain.
Padahal, dalam buku Blaming Others: Prejudice, race and worldwide AIDS (Renee Sabatier, Panos, London, 1988) ada penjelasan seputar kasus-kasus AIDS pertama. Tahun 1959, misalnya, ada delapan kasus yang berindikasi AIDS di tiga benua. Tahun 1977 pun ditemukan kasus dengan gejala AIDS pada seorang wanita. Kalau kasus-kasus awal AIDS selalu ditandai dengan sarcoma Kaposi, tumor ini ternyata ditemukan Kaposi tahun 1872! Beberapa kasus yang diungkapkan dalam buku ini memupus mitos tentang AIDS sebagai penyakit gay.
Kalau saja pandangan wartawan tadi bertolak dari kasus-kasus AIDS yang belakangan muncul di kalangan pekerja seks tentulah hal itu amat disayangkan. Soalnya, penemuan kasus-kasus HIV di kalangan pekerja seks terjadi karena tes surveilans di Indonesia hanya dilakukan pada pekerja seks (tes itu pun sering tidak sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV, bahkan ada yang dilakukan dengan cara paksaan dan penipuan yakni menyatukan tes sifilis dan tes HIV). ***
[Sumber: Syaiful W. Harahap, Catatan Kecil dari Workshop PMP AIDS (Bagian II), Newsletter HindarAIDS No. 49, 17 Juli 2000]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H