Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

UU Pornografi ‘Impoten’ terhadap Tersangka Pelaku Zina di Video

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Proses pembuatan UU No 4 Tahun 2008 tentang Pornografi ‘memakan’ korban. Kebhinekaan dalam berbagai aspek kehidupan porak-poranda karena dibenturkan dengan agama untuk meloloskan randangan undang-undang tsb. Celakanya, UU yang sudah merusak tatanan sosial ini justru ‘impoten’ menghadapi kasus asusila (adegan sanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan) melalui video.

Lihatlah tuntutan jaksa terhadap Ariel, tersangka kasus video porno, yang hanya bisa dijerat dengan pasal 29 UU No 4/2008 tentang Pornografi yang merupakan sanksi pidana terhadap perbuatan seperti pada pasal 4 yaitu: (1). Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluas kan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak. (2). Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Sanksi pidana terhadap perbuatan seperti pasal 4 ada di pasal 29: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Tuntutan jaksa di-juncto-kan ke pasal 56 ayat 2 KUHP: Dipidana sebagai pembantu kejahatan mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kehajahatan. Pasal ini ‘meringankan’ terdakwa karena hanya sebagai pembantu kejahatan (asusila). Lalu, siapa pelaku yang dibantu terdakwa?

Pasal yang gugur pada tuntutan jaksa adalah pasal 282 ayat 1 KUHP, pasal 27 ayat 1 UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE jo pasal 45 ayat 1 UU ITE. Pasal 27 ayat 1 UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE jo pasal 45 ayat 1 UU ITE, serta pasal 5 ayat 3 huruf b UU Darurat No 51.

Ancaman kurungan yang diberikan jaksa terhadap terdakwa pun hanya lima tahun penjara. Pasal 29 memberikan ancaman antara enam bulan sampai 12 tahun. Ternyata jaksa tidak bisa mendakwa dengan tuntutan maksimal. Jika alat-alat bukti tidak kuat maka vonis hakim bisa menyentuh enam bulan yang membuat terdakwa langsung bebas jika dipotong dengan masa tahanan.

Ini menunjukkan polisi dan jaksa tidak bisa mendakwa Ariel dengan pasal-pasal yang kuat atau eksplisit. Bahkan, perempuan yang menjadi pasangan terdakwa dalam adegan sanggama pada video tidak bisa dijerat sebagai tersangka.

Kasus video porno ini membuat UU Pornografi tidak bisa menjerat pelaku zina. Padahal, wacara yang muncul pada proses pembuatan UU itu justru bertumpu pada zina. (Lihat: Syaiful W. Harahap, UU Anti Pornografi Ternyata Tidak Bisa Menjerat Pelaku Zina, http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/11/uu-anti-pornogarafi-ternyata-tidak-bisa-menjerat-pelaku-zina/).

Saksi ahli, Prof Dr Thamrin Amal Tamagola, sosiolog Universitas Indonesia,mengatakan bahwa video porno dengan pemeran mirip Ariel tidak meresahkan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Menurutnya, sebagian masyarakat Indonesia menganggap hal itu biasa.

Persoalannya adalah apakah sebagai perbuatan yang melawan hukum kalau dianggap biasa bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hokum? Ini fenomena. Soalnya, di beberapa suku perkelahian dengan alasan budaya dianggap biasa. Maka, mereka akan bebas dari tuntutan hokum.

Terkait dengan video porno tentu persoalanya bukan biasa atau tidak biasa, tapi di negara manapun hukum positif melarang perbuatan yang menyebarluaskan pornografi secara terbuka.

Dalam sedang di PN Bandung (30/12/2010) Thamrin mengatakan, masyarakat yang tidak resah terhadap video tersebut adalah masyarakat suku Dayak, sejumlah masyarakat Bali, Mentawai, dan masyarakat Papua. Dari hasil penelitian saya di Dayak itu, bersenggama tanpa diikat oleh perkawinan oleh sejumlah masyarakat sana sudah dianggap biasa. Malah hal itu dianggap sebagai pembelajaran seks.

Thamrin sendiri sudah meminta maaf. Thamrin menjelaskan, pemberitaan atas pernyataannya di sidang tersebut telah dikutip tanpa konteks oleh sebuah situs berita nasional. Menurut Thamrin ‘kesimpulan’ yang dikutip wartawan itu merupakan hasil wawancara mendalam terhadap 10 ibu usia subur sebagai informan di Kalimantan Barat dan Papua Selatan (ketika bekerja sebagai konsultan di Depertemen Transmigrasi tahun 1982-1983).

Biar pun di kalangan komunitas tertentu ada hubungan seksual yang tidak dilandasi pernikahan hal itu merupakan adat istiadat mereka yang bukan untuk konsumsi publik di masyarakat mereka sendiri dan di luar masyarakat mereka.

Kasus video porno yang melibatkan ‘artis’ ini menguatkan sikap mendua (ambiguitas) di masyarakat Indonesia. Masyarakat tidak menghujat artis-artis yang terlibat narkoba. Sebaliknya, pelajar atau mahasiwa yang tertangkap memaka narkoba dihujat dan dikeluarga dari sekolah.

Begitu pula dengan artis yang melahirkan anak tanpa suami yang terikat dalam pernikahan malah dipuji-puji di acara infotainment. Saking semangatnya ada host sebuah infotainment yang mengatakan: Artis X menjadi single mother sebagai pujian dan sanjungan terhadap artis X karena melahirkan dan membesarkan anak di luar nikah. Artis X itu melahirkan bayi tanpa suami. Padahal, yang dimaksud adalah single parent.

Murid perempuan yang hamil langsung dipecat, sedangan artis dipuja-puja biar pun hamil di luar nikah.

Maka, tidak mengherankan kalau kemudian remaja (ABG) pemuja Ariel unjuk rasa di PN Bandung dengan poster yang meminta Ariel dibebaskan.

Apa yang ada di benak ABG ini?

Mengapa mereka tidak membela rekan-rekannya yang dikeluarkan dari sekolah hanya karena memakai narkoba dan hamil? Celakanya, yang dikeluarkan hanya siswi yang hamil sedangkan siswa yang menghamili tidak dikeluarkan. Kasus hamil pada siswi yang dipecat jusru kepala sekolah karena tidak memberikan informasi yang akurat terhadap murid-muridnya tentang melindungi diri agar terhindar dari kehamilan.

Perlakuan-perlakuan yang diskriminatif dan ambiguitas ini justru salah satu benuk maksiat yaitu perbuatan dosa (tercela, buruk, dsb.). Jadi, maksiat tidak hanya yang terkait dengan aurat, tapi juga diskriminasi terutama terhadap perempuan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline