Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Memutus Mata Rantai Epidemi HIV di Kab Mimika, Prov Papua

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Upaya Menyelamatkan Suku-Suku Asli di Mimika, Papua, dari Endemi HIV/AIDS. Tak Takut Mati di Perang Suku, Pucat Pasi saat Dites Darah.” Ini judul berita di www.jpnn.com (2/12-2010). Disebutkan: Kab Mimika, Papua, masih menjadi "jawara pertama" HIV/AIDS setanah air. Trada (tak ada, bahasa Papua) satu jengkal tanah pun di Timika (ibu kota Mimika) yang lolos dari sergapan HIV/AIDS. Warga lokal yang tinggal di tempat terpencil sekalipun tak luput dari ancaman penyakit mematikan tersebut.

Jika dilihat dari aspek epidemiologi maka angka atau jumlah kasus HIV/AIDS yang banyak terdeteksi di Kab Mimika, khususnya Timika, merupakan lompatan besar penanggulangan epidemi HIV karena mulai dari penduduk yang terdeteksi HIV dan AIDS mata rantai penyebaran HIV diputuskan.

Memalukan

Tapi, karena selama ini informasi tentang HIV dan AIDS yang disebarluaskan ke masyarakat tidak akurat maka banyak orang yang tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis tapi mereka memahami HIV/AIDSdengan sudut pandang mitos (anggapan yang salah). Ketika talk show di Radio 'Arauna FM', Manokwari, Papua Barat, saya ‘dimarahi’ seorang laki-laki pendengar radio tsb. “Bapak jang asal ngomong. Kami malu dengan banyaknya kasus AIDS yang terungkap,” kata pendengar radio tsb. melalui telepon interaktif.

Hal itu menunjukkan pemahaman yang salah terhadap cara pelaporan kasus HIV dan AIDS di Indonesia. Pelaporan kasus HIV dan AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga laporan kasus HIV dan AIDS di Indonesia tidak akan pernah turun biar pun penderitanya banyak yang meninggal dunia.

Yeremias Imbiri, Kepala Biro Humas LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro), mengatakan: "Di Kampung Banti dekat Tembagapura, ada ibu terinfeksi HIV dari suaminya yang suka berganti-ganti pasangan." Pernyataan ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, terjadi karena salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS bukan karena ‘berganti-ganti pasangan’. Ada kemungkinan salah satu perempuan pasangan suami tadi mengidap HIV dan suami tadi tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Kalau penularan HIV karena ‘berganti-ganti pasangan’ maka sudah banyak penduduk Indonesia dan dunia yang mengidap HIV. ‘Berganti-ganti pasangan’ di dalam dan di luar nikah merupakan perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Artinya, risiko tertular HIV sangat besar karena ada kemungkinan salah satu dari

Dikabarkan pula: Di antara 2.302 kasus HIV/AIDS per 30 Juni 2010 yang terdata di KPAD Mimika, 69 persen (1.591 kasus) terjadi pada penduduk asli lokal. Dalam kaitan ini perlu diperhatian kebiasaan dalam komunitas suku-suku asli di Mimika. Jika ada kebiasaan bertukar pasangan di kalangan mereka maka hal itu tidak perlu dipersoalkan dan dibenturkan dengan penanggulangan HIV/AIDS.

Yang perlu dilakukan adalah meningkatkan penyuluhan agar penduduk asli memahami cara-cara penularan HIV dan AIDS secara akurart dengan langkah-langkah yang konkret. Jangan bumbui informasi HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama karena hal itu akan berbenturan secara horizontal dengan kebiasaan suku-suku tsb. terhadap program penanggulangan HIV/AIDS.

Untuk itulah perlu dikembangkan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang komprehensif yang bebas nilai. Penduduk asli di suku-suku dengan kebiasaan ganti-ganti pasangan dianjurkan agar tidak menularkan HIV kepada pasangannya. Dalam kaitan inilah ditawarkan cara pencegahan yaitu memakai kondom setiap kali sanggama. Kalau ada penduduk asli dari satu suku enggan memakai kondom di komunitasnya, maka dia harus memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan pasangan di luar suku.

Persoalan besar dalam penanggulangan epidemi HIV di Indonesia adalah materai KIE selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga yang ditangkap masyarakat hanya mitos. Kondisinya kian runyam karena pemerintah, dalam hal ini pejabat, juga mengedepankan moral. Di Papua, misalnya, ada bupati, bahkan gubernur, yang menjadikan tobat massal sebagai cara menanggulagai AIDS. Ini jelas mitos karena penularan HIV tidak ototmatis terkait dengan dosa.


Yeremias mengatakan: "Saya khawatir, jika kondisi ini berlarut-larut, HIV/AIDS tak terbendung lagi. Jangan sampai suku-suku di Timika seperti di salah satu suku di Afrika yang musnah karena virus mematikan itu.”

Inilah pintu masuk program penangulangan AIDS di Papua. Dengan memberikan gambaran ini suku-suku asli Papua diajak untuk memikirkan masa depan komunitas mereka. Terutama kepada kepala-kepala suku diberikan pencerahan kalau anggota sukunya banyak yang tertular HIV kemudian meninggal karena penyakit terkait AIDS, maka siapa kelak yang menjadi anggota sukunya.

PSK Tidak Langsung

Berbeda dengan suku pendatang. Kalau pun pendatang dari Batak, Bugis, Jawa, dll. banyak yang meninggal dunia di Papua karena terkait dengan AIDS nun di Tanah Batak, di daerah Bugis atau di P Jawa masih banyak suku-suku tsb. Berbeda dengan di Papua. Kalau satu suku banyak yang meninggal dunia maka anggota sukunya tinggal sedikit dan akhirnya habis semua.

Yang perlu diingat adalah jangan membenturkan kebiasaan suku-suku terentu dengan norma, moral dan agama sebagai bagian dari penanggulangan HIV/AIDS. Manfaatkan kekayaan suku-suku itu melalui kepala sukunya untuk memahami epidemi HIV.


Biar pun ‘kebiasaan’ berganti-ganti pasangan di kalangan komunias tertentu diianggap sebagai media penularan HIV, tapi Reynold Ubra, Sekretaris KPAD Mimika, menengarai bahwa ada faktor lain yang berpotensi menularkan virus selain seks bebas. "Yang masih kami telusuri saat ini adalah penggunaan alat tajam bersamaan." Yaitu kontak darah saat pengobatan karena menjadi korban dalam perang antarsuku diduga juga bisa menjadi ajang penularan HIV.

Pernyataan Ubra ini lagi-lagi memperlebar masalah penanggulangan karena kemungkinan penularan melalui kontak darah pada saat pengobatan sangat sedikit karena tidak setiap hari terjadi perang antar suku. Sebaliknya, hubungan seksual berisiko (bisa) terjadi setiap saat. Apalagi di Mimika banyak tempat yang menyediakan pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (cewek bar, cewek pemijat, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, dll.).

Salah satu pintu masuk penangulangan HIV di Mimika harus dilakukan melalui (praktek) pelacuran yaitu melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung. Di Timika, misalnya, ada lokalisasi pelacuran yang dikenal dengan sebutan ‘Lokalisasi Kilo 10’. Kewajiban ini dituangkan dalam peraturan daerah (Perda), tapi dengan pasal-pasal yang konkret. Seoalnya, di Papua sudah ada beberapa daerah yang menelurkan Perda AIDS, tapi tidak menyentuh akar persoalan. Perda itu hanya ‘macan kertas’ yang mengahiskan ratusan juta rupiah uang rakyat.

Dalam perda ada pasal yang mewajibkan setiap laki-laki memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini bisa diawasi jika PSK dilokalisir, misalnya, di lokalisasi atau rumah bordir. Germo atau mucikari yang mempekerjakan PSK wajib memiliki izin usaha. Untuk mendeteksi tingkat pemakaian kondom pada laki-laki ‘hidung belang’ dilakukan survailan tes IMS (infeksi menular seksual, yaitu penyakit-penyakit yang tertular melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) secara rutin setiap minggu.

Sanksi bagi germo atau mucikari yang kedapatan ada PSK asuhannya mengidap IMS berupa teguran sampai pencabutan izin usaha. Kalau PSK yang diberikan sanksi tidak menyelesaikan masalah karena satu PSK ditangkap, maka puluhan bahkan ratusan PSK menggantikan PSK tadi. Tapi, kalau izin usaha yang dibacut maka mengurus izin usaha baru memerlukan waktu sehingga germo akan sungguh-sungguh mematuhi peraturan tsb.

Wajib Kondom

Kalau kewajiban dibebankan kepada PSK, maka laki-laki ‘hidung belang’ akan mencari PSK yang mau melandeninya tanpa kondom. Selain itu mereka pun memakai tangan germo atau mucikari untuk memaksa PSK meladeni mereka. Mucikari akan memihak kepada laki-laki ‘hidung belang’ karena akan mendatangkan keuntungan baginya.

Dikabarkan pula bahwa ‘banyak penikmat seks yang enggan memakai kondom. Mereka menutup mata terhadap kampanye yang dilancarkan, antara lain, lewat baliho bergambar pisang bertulisan Lindungi Ko Pu Diri dengan Kondom yang berdiri tegak di sekitar lokalisasi. Ini fakta yang selama ini luput dari perhatian. Penolakan terhadap kondom terjadi karena fakta ini tidak muncul. Posisi tawar PSK sangat lemah karena germo berpihak pada laki-laki ‘hidung belang’. Ada kesan kondom akan mendorong orang berzina atau melacur. Padahal, fakta menunjukkan laki-laki ‘hidung belang’ enggan memakai kondom. Dalam kaitan inilah perda mengaturnya, tapi yang disasar bukan PSK melainkan germo.

Program ‘wajib kondom 100 persen’ di Lokalisasi Kilo 10 sudah saatnya digenjor karena sejak 1996 hingga tahun ini sudah 211 kasus HIV/AIDS terdeteksi di kalangan PSK. Dari 300 PSK di Kilo 10 ada 20 PSK yang terdeteksi mengidap HIV. Ini artinya kemungkinan ketemu dengan PSK yang mengidapHIV sangat besar.

Dikabarkan pula Yeremias menilai kondomisasi tidak akan menyelesaikan masalah HIV/AIDS di Timika. Kata Yeremias: Kita perlu menyampaikan pesan moral. Terlalu banyak mereka yang melakukan hubungan seksual dengan bukan pasangannya yang sah. Bahkan, ini juga terjadi di kalangan generasi muda. "Kita perlu mengembalikan kearifan lokal yang pudar," kata Yeremias.

Lagi-lagi Yeremias tidak berpijak pada fakta. Ini gambaran umum di Tanah Air terkait dengan penanggulangan AIDS.

Pertama, tidak ada kondomisasi. Yang dilakukan adalah sosialisasi kondom sebagai pilhan jika memilih melakukan hubungan seksual yang berisiko yaitu berganti-ganti pasangan atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.

Kedua, penyebutan ‘hubungan seksual dengan bukan pasangannya yang sah’ merupakan mitos jika dikaitkan dengan penularan HIV karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ‘hubungan seksual dengan bukan pasangannya yang sah’.

Ketiga, menganjurkan atau menawarkan cara-cara melindungi diri dengan cara yang konkretlah yang merupakan pesan moral bukan mengumbar moral, seperti pasangan tidak sah. Memberikan pencerahan kepada masyarakat dengan informasi yang akurat merupakan langkah yang bermoral, tapi menyampaikan informasi HIV/AIDS yang tidak akurat merupakan perbuatan yang amoral.

Keempat, apa pun bentuk kearifan lokal yang jelas HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa ditanggulangi dengan tekonologi kedokteran. Di mana pun di muka bumi ini cara-cara penularan dan pencegahan HIV tidak berbeda (jika HIV/AIDS dilihat sebagai fakta medis). Maka, yang paling efektif adalah menerapkan cara-cara pencegahan yang masuk yang konkret.

Disebutkan: Jemput bola itu perlu dilakukan karena masyarakat asli tinggal tersebar mulai di pusat kota hingga pelosok pedalaman yang tidak terjangkau klinik VCT (klinik tes HIV gratis dengan konseling). Tapi, satu hal yang perlu diperhatikan adalah tidak semua penduduk harus menjalani VCT. Untuk itulah perlu dilakukan konseling agar yang merasa dirinya berisiko mau menjalani tes HIV.

Melakukan tes HIV terhadap semua penduduk merupakan perbuatan yang menyamaratakan perilaku semua orang. Cara ini tidak menghargai perilaku orang-orang yang berjalan pada rel yang mengutamakan perlindungan diri dengan cara-cara yang konkret. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline