Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Menyoal Keistimewaan Yogyakarta Bak Membangunkan Macan Tidur

Diperbarui: 4 April 2023   06:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: id.wikipedia.org)

Keistimewaan Yogyakarta dalam kaitan sebagai daerah istimewa mulai terusik sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebutkan bahwa sistem monarki di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bertentangan dengan nilai demokrasi. Tanggapan pun bermunculan karena mengutik keistimewaan Yogyakarta ibarat membangunkan macan tidur. Kehidupan masyarakat yang sudah 'demokratis' justru terusik karena dituding tidak demokratis. 

Baca juga: Memimpikan 'Kesultanan Jogjakarta' Sebagai 'Monaco'-nya Indonesia

Dalam UUD 45 Amandemen Keempat ada pasal yang saling bertentangan. Pasal 18 ayat 4 disebutkan: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Tapi, pada pasal 18-B ayat 1 disebutkan: Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Kedua pasal ini dibenturkan kepada Yogyakarta sehingga kesultanan yang menempatkan sultan sebagai gubernur dan paku alam sebagai wakil gubernur dianggap sebagai 'negara dalam negara' dan melanggar asas demokrasi.

Tampaknya, Presiden SBY hanya melihat dari satu sisi yaitu gubernur dan wakil gubernur yang tidak dipilih oleh rakyat sehingga tidak pantas keistimewaan untuk Yogyakarta. Tapi, pemerintah sendiri sudah melakukan diskriminasi karena memberikan 'label' istimewa dan khusus kepada Aceh dan Papua berdasarkan faktor yang tidak diatur dalam UUD 45.

Jika Aceh ditetapkan sebagai daerah istimewa dengan mengizinkan penerapan syariat Islam, partai lokal dan dewan perwakilan daerah lokal berdasarkan agama, maka ini tidak adil. Soalnya, beberapa daerah di Indonesia juga mempunyai persentase penduduk mayoritas yang menganut agama tertentu.

Bali, misalnya, dihuni oleh 93,12 persen penduduk yang memeluk agama Hindu. Begitu pula dengan NTT , 90,9 persen penduduknya memeluk agama Kristen, sedangakan Sulut 60 persen penduduknya bergama Kristen. (Buku Pintar Seri Senior, Cet. 35, 2004).

Analogi dari keistimewaan Aceh yang menerapkan syariat agama (Islam), tentulah Bali pun pantas menyandang keistimewaan dengan ajaran Hindu, NTT dan Sulut dengan ajaran Kristen. Begitu pula dengan daerah lain yang mempunyai persentase suku asli yang dominant atau mayoritas. Misalnya, Tapanuli bagian utara dan selatan, Nias, Karo, dll. juga mempunyai suku asli yang dominan.

Tapi, mengapa pemerintah tidak memberikan keistimewaan? Padahal, hal itu dimungkinkan UU karena dalam UUD 45 Amandemen Keempat pasal 18-B ayat 2: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adapt beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline