Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Jangan Hanya Sekadar Menjiplak Thailand

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menguji Efektivitas Perda AIDS Tarakan

Catatan: Tulisan ini sudah dimuat di Harian “Radar Tarakan”, 29 Agustus 2008

Agaknya, membuat peraturan daerah (Perda) sebagai alat untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS masih terus berlanjut. Kali ini Pemkot dan DPRD Tarakan pun menelurkan Perda No 6/2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Pertanyaannya adalah: apakah Perda efektif menanggulangi HIV/AIDS? Kasus HIV/AIDS di Kota Tarakan sampai akhir 2007 dilaporkan 148 kasus.

IDE pembuatan Perda di Indonesia ‘mengekor’ ke Thailand yang dikabarkan bisa menekan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seks dengan menerapkan program “Wajib Kondom 100 Persen”.

Perda pertama terkait penanggulangan HIV/AIDS dikeluarkan oleh Pemkab Merauke (Perda No 5/2003) disusul Kab. Nabire (Perda No 18/2003), Prov Jatim (Perda No 5/2004), Kab. Puncak Jaya (Perda No 4/2005), Kota Sorong (Perda No 41/2006), Prov Bali (Perda No 3/2006), Prov Riau (Perda No 4/2006), Kota Palembang (Perda No 6/2007), Kota Tarakan (Perda No 6/2007), dan Prov. NTT (Perda No 3/2007).

Tapi, ada beberapa faktor yang luput dari pemrakarsa perda yaitu: (a) program di Thailand itu dijalankan di lokalisasi pelacuran dan rumah-rumah bordir dengan sistem pengawasan yang objektif. Kalau ada pekerja seks yang tertular penyakit maka ada konsekuensinya sampai penutupan usaha. Program itu jelas tidak bisa dijalankan karena secara de facto dan de jure tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir di Indonesia, dan (b) di Indonesia terjadi penokalan terhadap penggunaam kondom.

Pengekoran terhadap program di Thailand pun tidak komprehensif karena hanya mengambil salah satu aspek saja dari serentetan program yang komprehensif. Keberhasilan Thailand menanggulangi HIV/AIDS adalah melalui peningkatan peran media massa sebagai media pembelajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingungan industri seks. Maka, karena yang dicontek hanya ekornya maka penanggulangan HIV/AIDS melalui Perda pun tidak efektif.

Yang Berisko

Ancaman hukuman terhadap pelanggar perda pun jauh di bawah UU, seperti KUHP. Ancaman terhadap pembeberan identitas orang terinfeksi HIV yang diatur Perda pada pasal 22 ayat 4, misalnya, hanya 3 (tiga) bulan kurungan atau denda Rp 50 juta. Di KUHP pembeber rahasia diancam kurungan paling lama 9 (sembilan) bulan (pasal 322 ayat 1).

Masalah transfusi darah yang diatur pada padal 10 ayat 1, 2, dan 3 ancaman pidana hanya 3 (tiga) bulan kurungan dengan denda Rp 50 juta. Bandingkan dengan ancaman terhadap pelanggaran terkait dengan transfusi darah pada 35 ayat 1 UU No 23/1992 tentang Kesehatan yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta.

Kerajaan Malaysia harus membayar ganti rugi 1 juta ringgit (sekitar Rp 2,5 miliar) kepada seorang ibu guru mengaji yang tertular HIV melalui transfusi darah di rumah sakit pemerintah. Bertolak dari kasus ini Kerajaan Malaysia pun menerapkan standar ISO yang dikeluarkan oleh International Organization for Standardization yang bermarkas di Swiss di semua unit transfusi darah di negeri jiran itu.

Langkah Malaysia ini realistis karena tidak ada jaminan darah bebas HIV kalau hanya diskrining dengan rapid test atau ELISA karena tes ini hanya mencari antibody HIV pada darah donor. Padahal, kalau donor yang menyumbangkan darahnya baru terinfeksi HIV di bawah tiga bulan maka tes ini tidak bisa mencari antibody HIV karena pada masa jendela belum ada antibody HIV pada darah orang-orang yang sudah tertular HIV.

Penggunan kata dalam materi KIE, termasuk perda, pun sering mengabaikan cita rasa berbahasa. Pada pasal 1 ayat 9, umpamanya, disebutkan tentang penjaja seks komersial (PSK). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan: jaja-berjaja-menjaja: pergi berkeliling membawa dan menawarkan barang dagangan (supaya dibeli orang); menjajakan: menjual barang dagangan (dengan dibawa berkeliling); jajaan: barang dagangan yang dijajakan; penjaja: orang yang menjajakan.

Bertolak dari makna kata jaja tentulah penggunaan kata penjaja seks tidak pas karena PSK tidak menjajakan ‘barang dagangannya’. Tidak ada pekerja seks yang berkeliling menunjukkan ‘barang dagangannya’.

Pasal 1 ayat 16 tentang alat pengaman pada saat melakukan hubungan seksual tidak disebutkan dengan jelas apa yang dimaksud dengan alat pengaman. Selama ini ada penolakan terhadap kondom karena ada kesalahan dalam memasyarakat kondom. Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks bukan semata-mata dengan kondom tapi jangan melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan orang yang HIV-positif. Persoalannya adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali secara fisik. Maka, jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya hindari pergesekan penis dengan vagina.

Pasal 3 ayat 1 ada kata populasi berisiko, sedangkan di pasal 8 ayat 2, 3 dan 4 disebutkan kelompok masyarakat rentan. Ini tidak pas karena yang berisiko dan rentan terhadap penularan HIV adalah perilaku orang per orang. Perilaku yang berisiko tertular HIV adalah (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif, dan (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, karena ada kemungkinan salah satu dari pasangannya HIV-positif.

Mitos AIDS

Pada pasal 8 ayat 5 disebutkan ‘kelompok rentan yang berperilaku berisiko tinggi wajib melakukan test HIV/AIDS secara priodik’. Bagi orang-orang yang perilakunya berisiko bisa saja tertular pada setiap hubungan seks yang berisiko. Sebelum melakukan tes secara priodik mereak sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari.

Inilah yang memicu penyebaran HIV antar penduduk karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Hal ini terjadi karena tdiak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Tapi, pada rentang waktu ini sudah bisa terjadi penularan melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah, transfusi darah yang tidak diskrining HIV dan jarum suntik.

Sasaran pencegahan HIV yang dipaparkan pada pasal 4 tidak akurat karena risiko tertular bukan pada intitusi atau tatanan tapi pada perilaku orang per orang. Maka, yang menjadi sasaran adalah perilaku orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang berisiko.

Pasal 7 ayat b disebutkan ‘setiap upaya KIE HIV/AIDS harus mencerminkan nilai-nilai agama, sosial dan budaya yang ada di Indonesia’. HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga pencegahannya pun dalam dilakukan secara medis. Selama ini materi KIE HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks di luar nikah, seks menyimpang, jajan, selingkuh, dan homoseksual. Ini mitos karena penyularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Kalau KIE hanya mengandung mitos tentulah sudah melanggar pasal 7 ayat e karena masyarakat tidak memperoleh informasi HIV/AIDS yang akurat.

Di beberapa Perda AIDS selalu muncul larangan kepada orang yang mengetahui dirinya sudah HIV-positif untuk menularkan HIV kepada orang lain, seperti di pasal 9 ayat 1. Fakta menunjukkan penularan HIV justru banyak terjadi tanpa disadari. Akan lebih akurat kalau dalam Perda disebutkan: Setiap orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah.”

Selama mitos masih menyelimuti penanggulangan HIV/AIDS maka selama itu pula akan terjadi penularan HIV secara diam-diam yang kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan kasus AIDS. (***)

* Penulis pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro”, Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline