Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Penanggulangan AIDS di Indonesia Hanya Dilakukan di Hilir

Diperbarui: 22 Maret 2023   13:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: aajtak.in)

"HIV/AIDS, Sejumlah Rumah Sakit Krisis Ketersediaan Obat." Itulah judul berita di sebuah harian Ibu Kota (12/4-2008). Fakta ini menunjukkan ada gelombang baru yang menghadang upaya penanggulangan epidemi HIV di Tanah Air. Sekarang pemerintah pusat dan daerah dengan dukungan dana dana dari donor cenderung mengutamakan pengobatan terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Terapi adalah penanggulangan di hilir, sedangkan pencegahan merupakan penanggulangan di hulu.

Walaupun tidak menyembuhkan, tapi kehadiran obat anti-retroviral (ARV) membawa berkah bagi orang-orang yang tertular HIV yang telah mencapai masa AIDS. Obat ini berguna untuk menekan perkembangan HIV di dalam darah sehingga kerusakan sel-sel darah putih dapat ditekan. Selain dapat meningkatkan kualitas hidup para Odha obat ini pun secara tidak langsung menekan penularan karena jumlah virus kian sedikit.

Pada awalnya harga obat ini Rp 8 juta untuk konsusmi satu bulan. Belakangan berkat regulasi pajak harga turun hingga Rp 800.000. Harga obat ARV produk dalam neger Rp 300.000 per paket untuk satu bulan. Sekarang obat ini gratis karena ada dana hibah dari donor luar negeri. Masalah yang lebih besar akan muncul ketika tidak ada lagi donor. Jika dana untuk pengadaan ARV dialokasikan dari APBN atau APBD tentulah akan menimbulkan persoalan baru karena anggaran kesehatan yang terbatas. Dana yang besar juga diperlukan untuk menanggulangi epidemi penyakit menular, seperti TB, flu burung, malaria, demam berdarah, dll.

Krisis ketersediaan obat ARV ini meningkatkan resistensi terhadap ARV karena pemakaian obat terputus dan Odha pun tidak bisa lagi memakai obat sesuai dengan anjuran. Jika terjadi resistensi terhadap ARV maka obat pun harus diganti. Ini berdampak pula pada harga obat.

Mengusung Mitos

Jika pemerintah pusat dan daerah tetap memaksakan anggaran khusus untuk sektor HIV/AIDS maka dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak karena mengesankan pemerintah hanya memper-hatikan HIV/AIDS. Apalagi penyakit ini selalu dibenturkan dengan norma, moral, dan agama sehingga ada anggapan penularan penyakit ini erat kaitannya dengan perilaku (yang tidak baik). Anggapan di atas memang salah tapi tetap saja berkembang karena tidak ada upaya untuk memupusnya. Belakangan ini ada gejala baru yaitu perlombaan membuat peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan AIDS. Perda AIDS sudah ada di 39 daerah di tingakt provinsi, kabupaten, dan kota. Upaya penanggulangan HIV/AIDS yang ditawarkan perda-perda itu tetap saja mengusung mitos.

Perda AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah penularan HIV dengan “meningkatkan iman dan taqwa.”

Bagai-mana menakar kadar iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV?

Bagaimana pula iman dan taqwa mencegah penularan HIV melalui transfusi darah?

Hal itu juga akan menyuburkan stigma dan diskriminasi karena ada anggapan orang-orang yang tertular HIV karena tidak beriman dan tidak bertaqwa. Di perda lain disebutkan untuk mencegah penularan HIV adalah jangan melakukan seks menyimpang, jangan melakukan hubungan seks dengan yang bukan istri. Dengan 11.141 kasus AIDS, diperkirakan sebagian besar sudah memakai obat ARV, diperlukan banyak obat. Angka ini akan terus bertambah karena ada 6.066 kasus HIV yang kelak akan mencapai masa AIDS.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline