Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Kematian Penduduk Sumatera Selatan Terkait AIDS

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Lima Warga Sumsel Meninggal karena AIDS.” Ini judul berita dimediaindonesia.com (17/10-2010). Disebutkan: Lima warga Sumatra Selatan yang terkena Sindroma Kehilangan Kekebalan Tubuh atau AIDS meninggal dunia selama Januari-Juni 2010.

Angka ini seakan tidak ada maknanya karena fakta ini tidak dibawa ke realitas sosial terkait dengan epidemi HIV. Seseorang terdeteksi HIV pada masa AIDS berarti dia sudah tertular HIV antara 5 – 15 tahun sebelumnya. Pada rentang waktu ini tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisiknya, tidak ada pula keluhan kesehatan yang terkait dengan HIV/AIDS. Akibatnya, banyak orang yang sudah mengidap HIV tapi tidak menyadarinya.

Orang-orang itulah kemudian yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Dengan lima Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang meninggal di Sumsel pada kurun waktu Januari – Juni 2010 berarti mereka tertular HIV antara tahun 1995 dan 2005. Pada rentang waktu ini mereka tidak menyadari sudah mengidap HIV sehingga tanpa mereka sadari pula mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Andaikan setiap orang dari lima kasus itu mempunyai satu pasangan maka sudah ada 10 penduduk Sumsel yang mengidap HIV. Kalau ada di antara mereka perempuan hamil maka kelak ada pula anak-anak yang tertular HIV dari ibunya. Angka HIV dan AIDS kian besar jika di antara kasus ini ada pula yang mempunyai istri lain, selingkuhan atau pelanggan pekerja seks komersial (PSK).

Realitas itulah yang sering luput dari perhatian. Seolah-olah kasus HIV dan AIDS di Sumsel hanya yang sudah terdeteksi. Disebutkan bahwa sejak tahun 1995 sampai 2010 sudah 77 penduduk Sumsel yang meninggal terkait AIDS. Mereka meninggal pada masa AIDS. Artinya, mereka sudah tertular antara 5-15 tahun sebelum meninggal. Pada rentang waktu itu mereka menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Maka, kalau 77 penduduk Sumsel yang meninggal ini mempunyai pasangan maka sudah ada 154 penduduk Sumsel yang tertular HIV. Angka ini juga akan bertambah kalau ada di antara mereka yang mempunyai pasangan lebih dari satu serta pelanggan PSK.

Kasus HIV/AIDS yang sudah dilaporkan di Sumsel adalah 286 AIDS dan 541 HIV-positif. Penduduk yang terdeteksi sebagai HIV-positif akan masuk masa AIDS. Ini akan menambah jumlah penduduk yang sudah masuk masa AIDS. Pada masa AIDS akan muncul berbagai penyakit sehingga diperlukan pengobatan dan perawatan.

Selain itu pada tahap tertentu penduduk yang sudah mencapai masa AIDS dan HIV-positif memerlukan obat antiretroviral (ARV) untuk menekan perkembangan HIV di dalam darahnya. Sekarang obat ARV gratis karena ada donor asing. Tapi, jika kelak tidak ada lagi donor asing maka biaya untuk penanggulangan AIDS akan dibebankan kepada APBD. Harga obat ARV Rp 300.000/bulan/orang. Maka, dengan 827 kasus HIV/AIDS diperlukan dana Rp 248.100.000 hanya untuk membeli obat ARV. Jumlah dana akan bertambah seiring dengan penemuan kasus-kasus baru.

Maka, tidak ada jalan lain selain meningkatkan penyuluhan agar penduduk bisa melindungi diri dari penularan HIV. Celakanya, selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang. Yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).


Asisten Bidang Kesejahteraan Rakyat Pemprov Sumsel, dr Aidit Aziz, mengatakan, peningkatan jumlah ODHA tersebut harus disikapi secepatnya oleh pemprov dan pemkab/pemkot di Sumsel. Pemprov Sumsel dikabarkan menggencarkan sosialisasi bahaya HIV/AIDS dan antisipasi penyebaran terus mereka intensif sebagai upaya meminimalkan penularan virus. Tapi, tunggu dulu. Apakah materi penyuluhan yang disampaikan akurat? Kalau tetap dibalut dengan moral maka informasi yang sampai ke masyarakat hanya mitos.


Disebutkan: Upaya yang harus dilakukan, antara lain dengan menggencarkan penyuluhan ancaman HIV/AIDS di lokasi yang berisiko tinggi berkembang virus HIV yang menyerang sistem kekebalan tubuh yang berakibat terkena AIDS tersebut. Lagi-lagi sasaran ini tidak pas karena penularan HIV tidak hanya terjadi di ’lokasi berisiko’ (baca: lokasi pelacuran). Hubungan seksual yang berisiko tertular HIV terjadi di dalam dan di luar nikah di mana saja, di rumah, losmen, hotel, taman, hutan, dll. jika hubungan seksual dilakukan tanpa kondom dengan pasangan yang sudah mengidap HIV.

Kalau Pemprov Sumsel ingin menekan laju pertambahan infeksi HIV baru melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah maka yang perlu digencarkan adalah sosialisasi kondom untuk hubungan seksual yang berisiko.

Sayang, dalam Perda Kota Palembang No 16/2007 tentang Pencegahan, Pengendalian dan Penanggulangan HIV dan AIDS tidak ada pasal yang mengatur upaya pencegahan penyebaran HIV melalui hubungan seksual secara konkret. Pada pasal 5 ayat 1 dan 2 disebutkan: Kegiatan pencegahan dilakukan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Kegiatan pencegahan sebagaimana dimaksud dilakukan antara lain melalui: a. Peningkatan kesadaran masyarakat untuk menghindari hubungan seks beresiko; dan b. Peningkatan kesadaran kepada kelompok beresiko tinggi tertular dan menularkan HIV/AIDS untuk menggunakan kondom pada setiap melakukan hubungan seks.

Pasal yang perlu ada dalam perda adalah: ”Setiap penduduk wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, di wilayah Provinsi Sumatera Selatan dan di luar wilayah Provinsi Sumatera Selatan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks langsung (pekerja seks di lokalisasi pelacuran, losmen, hotel, dll.) dan pekerja seks tidak langsung (’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, WIL dan PIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.), serta pelaku kawin cerai.”

Sedangkan untuk mendeteksi penduduk yang sudah mengidap HIV maka perlu pula ada pasal yang berbunyi: Setiap penduduk yang pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, di wilayah Provinsi Sumatera Selatan dan di luar wilayah Provinsi Sumatera Selatan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks langsung (pekerja seks di lokalisasi pelacuran, losmen, hotel, dll.) dan pekerja seks tidak langsung (’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, WIL dan PIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.), serta pelaku kawin cerai wajib menjalani tes HIV.”

Karena perda tadi tidak menukik ke akar persoalan penyebaran HIV maka Perda AIDS Kota Palembang itu pun tidak bisa bekerja alias mandul. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline