Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Penanggulangan AIDS di Yogyakarta Menunggu Perda

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ada 1.208 Penderita HIV/AIDS di Yogyakarta.” Ini judul berita “ANTARA” (21/10-2010). Disebutkan: “Penderita HIV/AIDS di Daerah Istimewa Yogyakarta hingga Juli 2010 terdata 1.208 orang, yang secara akumulatif bertambah dari tahun sebelumnya yang hanya 899 penderita.” Ini disampaikan oleh Daryanto Chadori,Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).


Untuk itulah, menurut Daryanto, “ .... perlu penanganan secara intensif, tidak hanya dari sektor kesehatan, tetapi juga sektor lain secara terpadu dan berkesinambungan.” Penanganan macam apa yang akan dilakukan di Yogyakarta?

Daryanto mengatakan: “ .... dengan adanya Raperda tentang Penanggulangan HIV/AIDS di DIY dapat dijadikan salah satu upaya untuk mengontrol penyebaran penyakit dan menekan jumlah penderita.” Agaknya, daerah-daerah yang akan membuat perda AIDS tidak belajar dari 39 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia yang sudah mempunyai perda AIDS.

Daerah-daerah yang sudah mempunyai perda AIDS sama sekali tidak menawarkan cara-cara yang akurat dalam menanggulangi epidemi HIV. Yang dikedepankan hanya norma, moral dan agama sebagai cara menanggulangi epidemi HIV. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa ditanggulangi dengan teknologi kedokteran.

Ada perda yang menyebutkan cara mencegah HIV adalah dengan ‘meningkatkan iman dan taqwa’. Ada pula dengan cara ‘meningkatkan ketahanan keluarga’, ‘perilaku hidup bersih dan sehat’, dll. yang semuanya hanya mitos (anggapan yang salah).

Pembuatan perda AIDS di Indonesia mengekor ke program ‘wajib kondom 100 persen’ di Thailand. Program ini merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan yang dijalankan secara sistematis di Thailand. Maka, tidak mengherankan kalau perda-perda AIDS tidak jalan karena ‘mengekor ke ekor program’.

‘Wajib kondom 100 persen’ dalam perda-perda AIDS Indonesia hanya tempelan karena tidak ada mekanisme pelaksanaan dan pengontrolan yang konkret. Karena hanya sebagai tempelan maka hasilnya pun nol besar. Penyebaran HIV melalui hubugnan seksual berisiko terus terjadi.

Celakanya, selalu dicari ’kambing hitam’. Siapa lagi kalau bukan pekerja seks komersial (PSK). Di Merauke, Papua, PSK di lokasi pelacuran dan tempat hiburan menjadi sasaran tembak progam tempelan itu. Tanpa mereka sadari biar pun PSK yang tertangkap dipenjara ada puluhan bahkan ratusan PSK lain yang menggantikannya.

Itu terjadi karena program ‘wajib kondom 100 persen’ tidak diterapkan seperti di Thailand karena alasan-alasan moral. Penolakan terhadap kondom pun sangat kuat sehingga membuat program itu sebagai ’siluman’.

Data berupa 85 ibu hamil yang HIV-positif di Yogyakarta, misalnya, menunjukkan sudah ada 85 laki-laki yang HIV-positif. Laki-laki inilah yang menularkan HIV kepada ibu-ibu itu. Mereka ini juga menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat.

Dari 39 perda AIDS tidak satu pun yang mengatur upaya untuk mendeteksi perempuan hamil secara sistematis. Tidak ada pula pasal yang mengatur cara mendeteksi kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat.

Karena tidak ada pasal yang komprehensif untuk mendeteksi kasus HIV dan AIDS di masyarakat maka yang terjadi hanyalah menunggu penduduk datang berobat ke rumah sakit karena penyakit-penyakit yang sulit sembuh. Ini terjadi karena mereka sudah berada pada masa AIDS. Pengalaman di beberapa daerah pasien yang datang pada masa AIDS tidak lama bertahan.

Kalau Perda AIDS DIY kelak hanya copy-paste (seperti perda-perda yang sudah ada) dari perda-perda lain maka hasilnya pun nol besar. Dalam perda perlu ada pasal yang benar-benar bisa mengendalikan penyebaran HIV secara horizontal.


Soalnya, tanpa disadari dalam rentang waktu yang dipakai untuk membuat perda penyebaran HIV terus terjadi karena penduduk Yogyakarta yang sudah HIV-positif tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Kalau Pemprov DIY benar-benar ingin menanggulangai AIDS, maka dalam perda itu kelak harus ada pasal yang berbunyi: ”Setiap laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan di luar wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan pasangan yang berganti-ganti dan dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, rumah bordir, dll.) dan pekerja seks tidak langsung (cewek bar, perempuan pemijat di panti pijat, ‘cewek kampus’, ‘anak sekolah’, selingkuhan, pasangan ’kumpul kebo’, gundik, WIL, dll.) serta pelaku kawin-cerai.”

Kita tunggu, apakah Pemprov DIY bisa menelurkan perda AIDS yang komprehensif atau hanya merupakan copy-paste dari perda-perda AIDS yang sudah ada. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline