“Prajurit TNI Perbatasan Diimbau Waspada Aids.” Ini judul berita di tvone.co.id (16/10-2010). Disebutkan: Panglima Daerah Militer (Pangdam) I Bukit Barisan Mayjen TNI Leo Siegers mengimbau kepada 650 prajurit Batalyon 132 Bima Sakti yang dikirim untuk menjaga perbatasan Indonesia-Papua Nugini agar waspada bahaya AIDS.
Cara yang ditawakan Pangdam adalah: “Untuk itu, prajurit harus waspada dengan penyakit ini. Caranya, yakni dengan menjaga ketakwaan dan selalu berpikir panjang dalam bertindak." Cara yang ditawakan Pangdam ini merupakan mitos karena tidak ada kaitan langsung antara ‘ketakwaan’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalaui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Lagi pula, apa, sih, alat ukur ketakwaan dan apa pula ukuran ketakwaan yang bisa mencegah penularan HIV? Selanjutkan, siapa pula yang mendapat mandat dari Tuhan untuk mengukur ketakwaan seseorang?
Kita teringat kepada kasus HIV pada prajurit TNI yang menjadi Pasukan Perdamian PBB yang dikirim ke Kamboja (Konga XII/A tahun1992). Setelah kembali ke Indonesia hasil tes HIV terhadap prajurit menunjukkan ada 11 yang tertular HIV di Kamboja. Ada kemungkinan ‘bekal’ yang diberikan kepada prajurit tentang cara-cara pencegahan HIV tidak akurat sehingga mereka tertular HIV. Bandingkan dengan tentara Belanda yang juga ikut sebagai pasukan perdamaian. Tidak ada prajurit Belanda yang tertular HIV. Koq bisa? La, iyalah. Selain membawa bedil untuk berperang prajurit Belanda dibekali dengan kondom sebagai ‘senjata’ untuk melindungi ‘Si Buyung’.
Celakanya, seorang prajurit yang dikirim justru sudah mengidap HIV. Fakta inilah yang membuat seorang peserta asal Kamboja di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) IV di Manila, Filipina (1999) berang: “Saya khawatir justru tentara Anda yang menularkan HIV kepada rakyat Kamboja.”
Disebutkan oleh Pangdam: "Perbatasan adalah wilayah yang jauh dari berbagai fasilitas medis, untuk menjaga diri agar jauh dari segala penyakit mematikan, prajurit harus tetap meningkatkan kehati-hatiannya dalam berbuatan atau tindakan.” Pangdam juga menghimbau: “ …. untuk meningkatkan kewaspadaan dari pergaulan bebas di perbatasan harus selalu ditingkatkan agar prajurit terhindar dari AIDS.”Ini anjuran atau saran yang normatif dalam bentuk moralistis. Padalah, pencegahan HIV dapat dilakukan dengan cara-cara yang realistis. Tidak ada kaitan langsung antara ‘pergaulan bebas’ dengan penularan HIV.
Pangdam mengatakan:"Untuk itu, dalam tugasnya menjaga perbatasan, prajurit tidak hanya dibekali dengan pelatihan perang, namun juga dibekali dengan ilmu takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa." Ini pun anjuran yang normatif. Apakah prajurit Belanda tidak dibekali dengan agama? Tentu saja mereka berbekal iman. Tapi, karena penularan HIV tidak terkait langsung dengan iman maka tentara Belanda pun dibekali dengan ’senjata’ yang bisa melindungi diri agar tidak tertular HIV.
Jika masalah HIVAIDS dilihat sebagai fakta medis maka anjuran yang diberikan kepada prajurit yang akan bertugar ke perbatasan Indonesia dengan Papua Niugini adalah agar mereka menghindari perilaku berisiko tertular HIV. ”Hindari hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran) atau PSK tidak langsung (cewek bar, pemijatdi panti pijat plus, ’anak sekolah’, ’mahasiswi’, dll.) serta pelaku kawin-cerai.” ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H