Keberadaan kasus-kasus HIV dan AIDS di Aceh terus menjadi perbincangan yang mengarah ke ‘debat kusir’ dan mencari ‘kambing hitam’. Ini karena ada pernyataan bahwa kasus-kasus HIV dan AIDS di Aceh terjadi setelah tsunami (Desember 2004) karena daerah ini terbuka. Ini mengesankan HIV dan AIDS di Aceh dibawa orang luar (negeri). Pemahaman ini menyesatkan. Kondisi ini dikhawatirkan akan menjadi pemicu penyebaran HIV di Aceh. Fakta terkait kasus HIV/ADS di Aceh sebagai realitas sosial akan membuka mata untuk merenungkan perilaku agar menjadi bagian dari pemutusan mata rantai penyebaran HIV.
Sampai September 2010 sudah dilaporkan 48 kasus AIDS di Aceh dengan delapan kematian. Sedangkan kasus AIDS secara nasional sampai 30 Juni 2010 mencapai 21.770. Angka kasus HIV dan AIDS di Aceh yang kecil inilah yang membuat orang Aceh ‘terlena’, sehingga terperangkap dalam ‘keamanan’ semu. Padahal, angka itu tidak menunjukkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, angka yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari angka yang sebenarnya.
Apakah fenomena gunung es epidemi HIV ini berlaku di Aceh? Fenomena ini akan menggambarkan epidemi HIV di Aceh jika ada penduduk Aceh yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV.
Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah: (1) Pernah atau sering melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan pasangan yang berganti-ganti tanpa memakai kondom; (2) Pernah atau sering melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran) dan pekerja seks tidak langsung (cewek bar, perempuan pemijat di panti pijat, ‘cewek kampus’, ‘anak sekolah’, PIL dan WIL, dll.) tanpa kondom; (3) Pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV; (4) Pernah atau sering memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian; dan (5) Pernah atau sering menyusui air susu ibu (ASI) dari perempuan yang HIV-positif.
Sebelum Tsunami
Jika ada penduduk Aceh yang pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV maka fenomena es terkait dengan epidmi HIV ada di (masyarakat) Aceh. Celakanya, selama ini materi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS di Aceh tidak disampaikan secara akurat. Akibatnya, banyak yang tidak memahami HIV/AIDS. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian masyarakat menuding pendatang sebagai biang keladi penyebaran HIV karena sebelum tsumani hanya 1 kasus yang dilaporkan.
Tapi, tunggu dulu. Mengapa kasus HIV dan AIDS sebelum tsunami hanya terdeteksi 1 kasus? Sebaliknya, mengapa setelah tsunami banyak kasus HIV dan AIDS yang tedeteksi?
Pertama, kasus HIV/AIDS hanya bisa terdeteksi melalui tes darah di laboratorium dengan reagent khusus. Upaya untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat selama ini dilakukan melalui survailans tes HIV kepada kalangan tertentu, seperti pekerja seks komersial (PSK), pekerja panti pijat, dan waria. Sebelum tsunami survailans tes HIV di Aceh hanya dilakukan satu kali di satu kabupaten saja karena suasana yang tidak memungkinkan karena ketika itu sedang terjadi konflik bersenjata.
Setelah Tsunami
Kedua, setelah tsunami mulai banyak kegiatan untuk melakukan survailans tes HIV karena suasana sudah aman sehingga mulai ditemukan kasus HIV dan AIDS. Klinik-klinik tes, dikenal sebagai klinik VCT (voluntary counseling and testing yaitu tes HIV secara sukarela dengan konseling atau bimbingan sebelum dan sesudah tes secara gratis) mulai dijalankan di beberapa rumah sakit. Selain itu ada pula pusat rehabilitasi narkoba yang juga menyaratkan tes HIV bagi penyalahguna narkoba yang akan direhabilitasi.
Ketiga, orang Aceh yang tertular HIV sebelum tsunami mulai menunjukkan gejala-gejala yang terkait dengan AIDS. Ini terjadi karena secara statistik masa AIDS terjadi antara 5 dan 15 tahun setelah tertular HIV. Orang-orang yang tertular sebelum tsunami mulai ada yang sakit sehingga mereka harus berobat ke rumah sakit. Penyakit yang mereka derita, seperti diare, sariawan, jamur, TBC, pneumonia (radang paru-paru), dll. sulit disembuhkan sehingga dokter menganjurkan agar pasien menjalani tes HIV. Dari sinilah kasus-kasus AIDS banyak terdeteksi di Aceh.
Maka, anggapan yang menyebutkan HIV dan AIDS di Aceh dibawa orang asing setelah tsunami terjadi karena pemahaman terhadap HIV dan AIDS sebagai fakta medis sangat rendah. Selain itu pakar pun menyampaikan informasi yang menyesatkan. Dari gambar di bawah ini dapat dilihat kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi setelah tsunami justru penularannya terjadi jauh sebelum tsunami.
Selama ini ada mitos (anggapan yang salah) tentang penularan HIV yaitu mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks sebelum nikah, ‘jajan’, selingkuh, waria, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi kalau seseorang melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa pelindung dengan orang yang sudah mengidap HIV. Fakta itulah yang tidak dipahami oleh masyarakat secara luas sehingga banyak orang yang tertular HIV karena ketidaktahuan. Lebih dari 90 persen orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka.
Dalam kaitan inilah untuk menekan infeksi baru di kalangan dewasa dan remaja Pemprov. Aceh melalui jajarannya menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Jika masyarakat sudah memahami HIV/AIDS dengan benar maka diharapkan penduduk yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV mau menjalan tes HIV secara sukarela. Fasilitas tes gratis dengan konseling sudah disedikan di beberapa rumah sakit melalui klinik VCT.
Semakin banyak kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat diputuskan. Mereka pun bisa ditangani secara medis melalui pemberian obat antiretroviral (ARV) agar mereka tetap produktif. Pada gilirannya, kasus-kasus infeksi baru pun akan bisa ditekan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H