Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Relokasi Lahan Korban Gn Sinabung Harus ke Lokasi yang Sepadan

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1397624083180281579

Setiap kali terjadi letusan gunung berapi, wilayah pada radius tertentu akan diselumuti debu vulkanis, aliran lahar panas dan aliran lahar dingin.

Padahal, di areal pada radius tertentu itu ada permukiman penduduk dan lahan pertanian, sawah, serta padang penggembalaan ternak.

Sampai sekarang tidak ada langkah konkret yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi dampak dari letusan gunung berapi. Yang dilakukan hanyalah menyelamatkan penduduk melalui evakuasi ke tepat yang lebih aman dengan mendirikan tenda atau ditempatkan di bangunan yang ada.

Letusan Gunung Sinabung di Kab Karo, Prov Sumatera Utara (2013), misalnya, merusak lahan palawija dan tanaman keras penduduk.

Sayur-mayur, seperti kol, tomat, cabe, jagung, dll. tidak bisa dipanen karena sudah rusak. Inki terjadi karena awan panas letusan gunung yang menjadi debu melanda lahan pertanian petani di areal pada radius tertentu.

Kondisi itu akan terus terulang jika terjadi letusan gunung berapi. Untuk itulah diperlukan langkah konkret yang bisa melindungi penduduk dan ladang pertanian.

“Kalau ladang yang tertimbun debu akibat letusan gunung berapi bisa direklamasi,” kata Ir H Isamoe Prasodyo, MSi, pengajar di Fakultas Lansekap dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti, Jakarta. Tentu saja teknologi pertanian bisa melakukan perbaikan terhadap lahan yang rusak.

Persoalan akan muncul ketika terkait dengan pemindahan penduduk dari areal radius berbahaya. Ini tidak mudah karena, “Ada kaitan erat antara budaya lokal dengan sistem bercocok tanam,” kata Isamoe.

Masalah Berulang

Itu artinya penduduk tidak bisa jauh-jauh dari lahan pertanian mereka. Selain itu permukiman yang dekat dengan lahan pertanian juga dilakukan sebagai salah satu cara untuk menjaga tanaman, baik dari gangguan binatang maupun pencuri.

Jika tidak ada langkah yang konkret, maka setiap kali ada letusan gunung berapi persoalan (lama) akan terus terulang.

Penduduk diungsikan dan lahan pertanian rusak.

Diperlukan dana yang besar untuk menanggulangi dampak letusan, yaitu penangangan pengungsi.

Di sisi lain penduduk yang bekerja sebagai petani pun mati kutu karena mereka tidak bisa bercocok tanam. Sedangkan tanaman yang ada rusak karena disapu awan panas dan lahar dingin.

Salah satu langkah yang bisa mengurangi dampak akibat letusan gunung berapi adalah memindahkan permukiman dari areal radius berbahaya ke lokasi lain yang tidak masuk pada radius berbahaya.

Itu artinya penduduk dijauhkan dari lahan pertanian yang merupakan mata pencaharian utama mereka

Merelokasi penduduk secara teoritis tidak ada hambatan, tapi perlu diingat bahwa mereka memerlukan sarana dan prasarana dari rumah ke ladang. “Ini masalah utama yang harus dipikirkan,” kata Isamoe mengingatkan.

Artinya, ada sarana yang bisa membawa penduduk ke lahan pertanian dan membawa mereka pulang ke rumah secara mudah.

1397624137833316267

Untuk itu diperlukan sarana transportasi yang cepat dan murah dengan kondisi jalan yang baik. Akan lebih baik jika ada alat transportasi yang dikelola oleh koperasi dengan dukungan operasional dari pemerintah.

Di lahan pertanian pun diperlukan pula sistem keamanan untuk menjaga tanaman dari gangguan binatang dan pencuri.

Yang menjadi persoalan besar adalah relokasi lahan. “Tidak mudah mencari lahan yang sesuai dengan lahan yang mereka jadikan lahan sekarang ini,” ujar Isamoe.

Arsitektur Lansekap

Misalnya, seperti di Brastagi tanaman jeruk bisa tumbuh subur dengan hasil yang baik karena lahannya cocok. Seperti ketinggian di atas permukaan laut, iklim, sumber air, kesuburan, tekstur tanah, dll.

Jika lahan tanaman jeruk yang sekarang kena debu letusan G Sinabung akan direlokasi tentulan akan sulit mencari lahan yang sepadan. “Kalau lahan pertanian direlokasi, maka minimal hasilnya harus sama. Akan lebih baik kalau hasilnya lebih tinggi,” kata Isamoe mengingatkan.

Kalau pemindahan penduduk terkait dengan apsek sosial dan ekonomi dan ini bisa ditangani instansi terkait, tapi relokasi lahan jauh lebih sulit.

Untuk perbaikan lahan yang dilanda debu dan lahar dingin bisa dengan teknologi pertanian melalui konservasi tanah.

Sedangkan untuk menata lahan diperlukan keahlian arsitektur lansekap yaitu untuk memetakan bagian-bagian lahan berdasarkan tekstur tanah, kesuburan tanah, morfologi, dll.

Melalui identifikasi lahan akan dirancang lansekap sehingga tidak merusak morfologi. Ini akan dilakukan terhadap lahan yang dijadikan relokasi lahan pertanian. Tapi, menurut Isamoe, yang perlu diingat adalah lahan baru itu harus sepadan dengan lahan lama yaitu dengan ukuran hasil.

Jika lahan tanaman palawija dan tanaman keras tidak bisa direlokasi karena faktor ketinggian dari permukaan air laut, tekstur tanah, iklim, dll., maka perlu dipikirkan untuk mereklamasi lahan yang disapu awan panas.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai lahan baru yang dijadikan relokasi diratakan karena, “Cara itu merusak tanah,” kata Isamoe kembali mengingatkan.

Maka, selain rekayasa sosial (social engineering) diperlukan pula campur tangan ahli arsitektur lansekap.***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline