Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Kelestarian Hutan di Era Otonomi Daerah dengan Kekuasaan “Raja-Raja Kecil”

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="523" caption="-Ilustrasi, Rusa yang hidup bebas berkeliaran di Taman Wisata Alam (KOMPAS.com/Fitri Prawita Sari)"][/caption]

Dari Forest Asia Summit Jakarta 2014 Kekayaan alam Indonesia , al. hutan, menjadi “sasaran tembak” yang empuk dalam berbagai kegitan untuk mendorong pembangunan.

Semula hutan dieksploitasi dengan menebang pohon. Pohon-pohon besar dengan diameter lebih dari satu meter menjadi bahan utama untuk produk-produk kayu, seperti perabot rumah tangga, bangunan, kayu lapis, dll. Selain untuk bahan produk kayu, gelondongan batang pohon pun diekspor sebagai bahan baku.

Belakangan hutan tidak lagi sebatas penebangan pohon, tapi sudah dialihfungsikan menjadi lahan pertanian dan perkebunan.

Dampak penebangan pohon melalui HPH (Hak Pengusahaan Hutan) sendiri sudah menimbulkan degradasi hutan sehingga luas cakupan hutan berada pada titik terendah. Bahkan, banyak lahan bekas HPH yang menjadi gundul sehingga areal tsb. gersang.

“Provinsi Riau dan Kalimantan merupakan daerah dengan kerusakan hutan yang sangat parah,” kata Degi Harja, peneliti di World Agroforestry Centre (ICRAF) yang membuka booth di Forest Asia Summit, Shangri-La Hotel, Jakarta (5-6 Mei 2014).

1399332738670347495

Pengertian hutan sendiri beragam karena sudah “masuk” ke ranah politik sejak Otonomi Daerah diberlakukan. Kekuasaan tertinggi ada di tangan “raja-raja” kecil berupa gubernur, bupati dan walikota.

Padahal, kalau mengacu ke makna hakiki hutan yang dimaksud hutan tidak hanya tegakan pepohonan, tapi juga habitat hutan tersebut harus tetap lestari, seperti flora dan fauna bahkan suku-suku asli (indigenous people) harus tetap hidup di hutan tsb.

Celakanya, belakangan ini, terutama sejak Otonomi Daerah, fungsi hutan sebagai “ibu” dari keanekaragaman hayati pada suatu lingkungan hutan dikesankan hanya jika habitat binatang atau hewan besar seperti orang utan, harimau dan gajah tetap terjaga.

Padahal, di wilayah Jambi, misalnya, suku asli yaitu Suku Anak Dalam, sudah terusir dari habitat mereka karena ekspansi perladangan penduduk dan perkebuinan sawit. Maka, sangat disayangkan upaya-upaya segelintir orang dengan memakai moralitas dan ukuran dirinya sendiri membawa Suku Anak Dalam ke luar dari habiatnya. Yang diperlukan bukan mengeluarkan mereka dari habitat mereka dengam membawa perdadaban modern, tapi menjaga kelestarian habitat mereka tetap seperti sedia kala.

Hal yang sama bisa dilakukan di kawasan hutan yaitu dengan tanaman sela yang bukan kayu, misalnya, rotan. Dalam kaitan inilah lahan-lahan gundul dan gersang baik bekas HPH dan pertambangan akan lebih baik dihijaukan dengan tanaman buah sehingga masyarakat menjaga dan merawatnya karena ada hasilnya. Berbeda dengan kondisi sekarang penghijauan ditangani dengan tanaman yang tidak menghasilkan buah sehingga masyarakat tidak merawat tanaman tsb.

1399332781518557589

Terkait dengan perkebunan sawit, World Resources Institute (WRI) melihat ada “persaingan” antara upaya menyelamatkan hutan dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai negara terbesar ketiga di dunia yang memeliki tutupan hutan hujan tropis (2010), tapi di sisi lain Indonesia justru berada pada peringkat kedua sebagai negara dengan tingkat kerusakan hutan (deforestation) di dunia. Pada rentang waktu 2000-2010 diperkirakan 498.000 hektar hutan hujan tropis di Indonesia hilang karena berbagai kepentingan (FAO State of the Forest, 2011).

Untuk itulah WRI menawarkan langkah yang konkret untuk menyelamatkan hutan akibat penggunaan lahan untuk perkebunan kepala sawit. Salah satu yang ditawarkan WRI adalah semacam “tukar guling” bagi perusahaan yang sudah mengantongi izin membuka hutan untuk perkebunan kepala sawit.

“Kita mencari lahan yang bukan hutan untuk ganti lahan hutan yang akan dijadikan lahan perkebunan sawit,” uja Andhyta Utami, staf WRI di Forest Asia Summit. Seperti yang sedang ditangani WRI di Kab Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, ini. Sebuah perusahaan mendapatkan izin membuka lahan perkebunan kepala sawit seluas 8.000 hektar.

“Kami sudah mendapatan lahan dengan luas yang sama dan dengan kualitas tanah yang baik untuk lahan perkebunan kelapa sawit,” kata Andhyta. Perusahaan itu sudah bersedia “tukar guling”, tapi proses “tukar guling” mandeg di Kementerian Kehutanan RI.

Langkah yang ditawarkan WRI merupakan suatu lompatan besar karena menyelamatkan hutan, tapi tetap memberikan ruang untuk perkebunan kepala sawit. Kalau saja pemerintah memakai cara-cara yang ditawarkan WRI ini tentulah kelestarian alam, khusunya hutan, akan terjaga.

Tapi, karena terkait dengan berbagai kepentingan “raja-raja kecil”, maka langkah konkret pun dibalut dengan politik sehingga semua jadi abu-abu sehingga untuk memutihkannya hanya bisa dilakukan secara politis yang amat musykil terjadi.

Kepala sawit merupakan tanaman mono kultur, “Ya, tidak ada tanaman lain yang bisa dijadikan tanaman sela,” kata Degi. Berbeda dengan tanaman karet dan kakao yang bisa diselingi dengan tanaman lain.

Untuk itulah diharapkan pemerintah membuat aturan baku dengan penegakan hukum yang ketat berupa perbandingan antara luas lahan kepala sawit dengan luas hutan di satu perkebunan kepala sawit. Tanpa UU, maka hutan akan terus habis sehingga permukaan lahan di negeri ini hanya akan ditutupi oleh kelapa sawit yang tidak memberikan ruang bagi kehidupan flora dan fauna serta masyarakat adat di sekitarnya.

Di Jambi, misalnya, tanaman karet diselingi dengan tanaman keras, seperti petai dan durian. “Tanaman sela itu sudah berhasil dijalankan di kebun karet di Jambi,” ujar Degi. Maka, selain menyadap karet petani pun sekaligus memenen petai dan durian. Sedangkan tanaman sela untuk perekebunan kakao di Sulawesi sedang diteliti dan diuji coba.

Tanaman sela itu, menurut Degi, meningkatkan produksi lahan dan menambah pendapatan petani. Hasil penelitan WAC diserahkan ke perguruan tinggi atau kelompok tani setempat untuk dimanfaatkan.

Terkait dengan hutan ada pula program mengurangi emisi rumah kaca yang dijalankan oleh IFACS (Indoneasi Forest and Climate Support) yang dudukung oleh USAID. “Kita punya site plan di enam lokasi,” kata Asriyadi Alexander, Comminication Officer, di Forest Asia Summit. Site plan ada di Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Kalimatan Barat, Kalimantan Tengah, Papua Utara dan Papua Selatan.

13993328111350307914

Untuk menjalankan program tsb. IFACS menjalin kerja sama dengan pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil. Kerja sama ini, menurut A.M. Rezki R. Muladi, Communication & Outreach Specialist, yaitu upaya untuk melestarikan hutan dan keanekaragaman hayati, memperbaiki pengelolaan hutan dan mendorong pembangunan yang rendah gas emisi.

Jenis hutan dan ragam flora sert fauna di enam site plan IFACS merupakan tantangan untuk melestarikannya karena berhadapan dengan berbagai kepentingan, seperti permukinan, perladangan, perkebunan dan pertambangan.

Dalam kaitan itulah IFACS merancang program yang partisipatif dan memberikan keterampilan kepada pemeintah, institusi dan masyarakat agar program berlanjut terus jika IFACS berakhir. ***[Syaiful W. Harahap]***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline