Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Dolly Ditutup, Dalam Perda AIDS Kota Surabaya Justru Ada (Praktek) Pelacuran

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14041147372142951665

"Setiap pengelola dan/atau pemilik tempat hiburan wajib melaporkan data karyawan secara berkala pada instansi berwenang dalam rangka perencanaan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS oleh Pemerintah Daerah." Ini bunyi Pasal 19 di Peratauran Daerah (Perda) Kota Surabaya No 4 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang disahkan tanggal 28 Mei 2013.

Bunyi pasal itu menimbulkan pertanyaan: Mengapa ada perencanaan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di tempat-tempat hiburan tsb.?

AIDS pada Ibu Rumah Tangga

Penanggulangan HIV/AIDS dilakukan di tempat-tempat yang terjadi kegiatan-kegiatan yang berisiko terjadi penularan HIV/AIDS, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom, terutama pada kalangan heteroseksual yaitu laki-laki dengan perempuan dan sebaliknya.

Keberadaan perilaku berisiko di tempat hiburan diperkuat pula di Pasal 20: “Setiap pengelola tempat hiburan dan/atau pemilik tempat hiburan wajib melaksanakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tempat usahanya.”

Maka, kalau di tempat-tempat hiburan tsb. tidak ada kegiatan yang berisiko terjadi penularan HIV/AIDS tidak perlu diancarkan program penanggulangan HIV/AIDS di tempat-tempat hiburan tsb.

Di satu sisi Pemkot Surabaya menutup tempat-tempat pelacuran yang kasat mata, yaitu Dolly dan Jarak, dan yang lain, tapi di sisi lain praktek pelacuran justru dipelihara yaitu di tempat hiburan seperti yang tertulis di Perda AIDS.

Epidemi HIV/AIDS di Kota Surabaya menunjukkan mata rantai penyebaran dilakukan oleh laki-laki ke istri karena banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada ibu rumah tangga. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Surabaya sejak tahun 1999 sampai tahun 2014 mencapai 7.600, 30 persen atau 2.280 di antaranya dalah ibu rumah tangga (sindonews.com, 6/6-2014).

Pada tahun ini terdeteksi 215 kasus HIV/AIDS di lokalisasi Dolly dan Jarak (sindonews.com, 6/6-2014). Itu artinya sudah ribuan bahkan puluhan ribu laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS dari PSK di Dolly dan Jarak. Mereka ini sebagian adalah suami yang pada akhirnya menularkan HIV ke istrinya. Itulah sebabnya kian banyak ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Mereka ditulari HIV oleh suami.

Jika Pemkot Surabaya hanya mengedepankan kesan agamis dengan tanda tidak ada pelacuran terbuka, maka terkait dengan penyebaran HIV/AIDS hal itu menjadi bumerang jika praktek pelacuran di tempat lain dibiarkan.

Soalnya, intervensi untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), dalam hal ini PSK tidak lansung (PSK yang tidak ada di tempat atau lokasi pelacuran), tidak bisa dijalankan.

PSK tidak langsung berwujud sebagai cewek panggilan, ABG, anak sekolah, mahasiswi, cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, cewek gratifikasi seks, dll. Mereka memang tidak mangkal di tempat atau lokasi pelacuran, tapi kerja mereka sama persis dengan PSK langsung yang bisa dilihat di tempat-tempat atau lokasi pelacuran.

Gelapkan Data Kasus AIDS

Praktek pelacuran terjadi di luar jangkauan hukum, misalnya di kamar-kamar hotel dan apartemen yang bersifat privat.

Satpol PP dan Polisi hanya berani merazia kos-kosan murah, penginapan, losmen, dan hotel melati. Celakanya, laki-laki berkocek tipis hanya bisa menyewa kamar di penginapan, losmen dan hotel melati untuk menyalurkan dorongan hasrat seksualnya dengan PSK langsung atau dengan PSK tidak langsung.

Praktek pelacuran yang merupakan bentuk perzinaan itu merupakan delik aduan sehingga Satpol PP dan Polisi tidak bisa merazia jika tidak ada pengaduan terkait dengan perzinaan tsb.

Maka, jangankan intervensi untuk melakukan sosialisasi pemakaian kondom kepada laki-laki ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak langsung pun tidak bisa dijalankan karena terbentur pada dinding privat.

Jika Pemkot Surabaya tetap pada pendiriannya bahwa pelacuran tidak ada lagi di Kota ”Buaya” Surabaya setelah lokasi-lokasi pelacuran, seperti Dolly dan Jarak, dtutup, maka itulah awal melapetaka karena praktek pelacuran yang terjadi menjad pintu masuk penyebaran HIV/AIDS di Kota Surabaya,

Ya, bisa saja Pemkot Surabaya kelak menggelapkan data kasus HIV/AIDS untuk mengesankan penyabaran HIV/AIDS berkurang setelah Dolly dkk. ditutup.

Tipu muslihat itu boleh-boleh saja dilakukan Pemkot Surabaya, tapi penduduk pengidap HIV/AIDS yang sudah masuk masa AIDS (secara statistk setelah tertular 5-15 tahun) akan memerlukan obat antiretroviral (ARV), pengobatan penyakit infeksi oportunistik dan perawatan.

Pemkot tidak akan bisa menutupi fakta jika kelak di rumah-rumah sakit bergelimpangan pasien dengan indikasi penyakit terkait HIV/AIDS. Ini sudah terjadi di Thailand ketika kasus HIV/AIDS mendekati angka 1 juta di negara ”Gajah Putih” itu.

Kini, semua terpulang kepada Pemkot Surabaya: membiarkan praktek pelacuran dengan risiko penyebaran HIV/AIDS karena tidak bisa diintervensi, atau melokalisir pelacuran agar intervensi bisa dijalankan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS melalui laki-laki.

Langkah apa yang akan dilakukan oleh Pemkot Surabaya kelak akan terbukti karena kasat mata yaitu ”ledakan AIDS”.***[Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia]***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline