Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Cewek Jadi “Budak Seks” dan "Agen Genosida" Dengan HIV/AIDS Sebagai “Jihad”

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1407579662467542360

Ketika membaca judul berita "Heboh ajakan jihad budak seks berhadiah surga di kampus UIN" (merdeka.com, 9/8-2014) saya teringat keluh-kesah seorang ibu yang mengeluh karena salah satu putranya “nyebrang” ke aliaran keras keagamaan.

Ibu tadi tidak habis pikir karena agama anaknya itu berbeda dengan agamanya dan dia pun tidak pernah menyangka anaknya akan jadi anggota organisasi keagamaan yang radikal yang berbeda dengan agama mereka.

Setiap selesai bercerita si ibu itu hanya bisa mengurut dada dan mengedip-edipakan matanya.

Yang tidak habis pikir adalah cerita anaknya tentang kegiatan mereka merekrut cewek-cewek cantik untuk dijadikan, maaf, pelacur. Menurut anaknya cewek yang mereka jadikan pelacur itu merupakan bagian dari “jihad” (KBBI: 1usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan;2 usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga;3 perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam).

Uang yang diperoleh menjadi pemasukan kas sebagai uang yang bisa memberikan “imbalan” sorga bagi cewek rekrutan mereka.

Mereka pun membumbui “jihad” tsb. sebagai bagian dari menghancurkan satu kelompok, semacam genosida (KBBI: pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras), dengan menyebarkan virus (HIV/AIDS).

Celakanya, jika cewek-cewek itu dijadikan agen penyebar HIV/AIDS tentulah cewek-cewek itu harus mengidap HIV/AIDS.

Karena salah satu cara penularan HIV/AIDS adalah melalui hubungan seksual, maka cewek-cewek yang mereka rekrut sebagai agen penyebar HIV/AIDS itu harus melakukan hubungan seksual yang berulang-ulang dengan laki-laki yang mengidap HIV/AIDS.

Bisa juga dengan cara menyuntikkan darah yang mengidap HIV/AIDS kepada cewek-cewek yang direkrut jadi agen penyebar HIV/AIDS sebagai genosida itu.

Maka, tanpa mereka sadari mereka sudah melakukan kekerasan dan penyiksaan terhadap cewek-cewek yang mereka rekrut sebagai agen genosida itu yang menularkan HIV.

Yang jadi persoalan adalah kelompok yang mereka sasar itu minoritas sehingga jumlah laki-laki yang melacur pun sedikit sehingga tidak tertutup kemungkinan cewek-cewek itu melacur dengan laki-laki dari kelompoknya untuk mendapatkan uang sebagai kas kelompok. Bisa juga hubungan seksual dengan anggota kelompoknya sehingga terjadi penyebaran HIV/AIDS di kalangan mereka.

Belakangan ada pula pamflet yang ditempel di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta di Ciputat, Tangerang, Banten, yang disebarkan oleh Sekretariat ISIS Indonesia.

Isi poster itu “BUDAK SEKS PEMUAS BIRAHI MUJAHIDIN DIJAMIN MASUK SURGA”.

Kalau kasus yang pertama dengan tujuan untuk menghancurkan kelompok atau kalangan tertentu melalui genosida HIV/AIDS, sedangkan kasus yang kedua ini adalah untuk “MENGHIBUR DAN MEMBERIKAN SEMANGAT MUJAHIDIN YANG SEDANG MEMERANGI KAFIR”.

Imbalannya?

Seperti yang tertera di pamflet: surga.

Padahal, seperti dikatakan oleh Prof Dr Quraish Shihab: “Surga itu hak prerogatif Allah.”(republika.co.id, 16/7-2014). Sehingga tidak ada celah bagi seseorang atau organisasi yang bisa menentukan seseorang (akan) masuk surga.

Fakta ini menunjukkan betapa agama dijadikan sebagai alat untuk berbagai kepentingan dengan ruang friksi horizontal.

Padahal, menurutpeneliti terorisme di Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, dia yakin selebaran jihad seks itu merupakan propaganda yang menyesatkan. "Tidak ada jihad seks di Suriah. Apalagi mobilisasi wanita muslimah seperti publikasi itu," kata Ridlwan (merdeka.com, 9/8-2014).

Pemahaman yang dogmatis (KBBI: bersifat mengikuti atau menjabarkan suatu ajaran tanpa kritik sama sekali) dan lambang-lambang fisik keagamaan menjadi bagian dari pemicu perilaku-perilaku ekstrim di masyarakat.

Kapolri JenderalSutarman mengatakan: "Kita belum menemukan itu ajakan-ajakan itu harus kita evaluasi dan harus dilakukan upaya untuk mencegah bukan hanya polisi juga, tapi juga masyarakat,"  (merdeka.com, 9/8-2014).

Itu artinya setiap orang mencermati setiap ajakan dan melindungi diri serta keluarganya agar tidak terjerat kepada ajakan-ajakan yang tidak masuk akal sehat.

Kondisinya kian runyam karena sinetron keagamaan di televisi membuat dikotomi yang tegas tentang yang baik dan jahat. Yang baik digambarkan mengikuti ajaran agama al. dengan simbol-simbol yang dikait-kaitkan dengan agama, sedangkan yang jahat digambarkan tidak mengikuti ajaran agama al. dengan tidak memakai simbol-simbol keagamaan.

Adalah film “Death Wish III” (1985) dengan pemeran utama Charles Bronson, yang berperan sebagai Paul Kersey. Paul mengejar gerombolan pemerkosa dan pembunuh istri dan putrinya.

Paul menemukan mereka. Salah satu di antaranya memakai lambang-lambang keagamaan.

“Saudara percaya kepada Tuhan,” tanya Paul sambil menodongkan pistol.

Ketika begundal itu menjawab percaya, dor ..... pistol menyalak: “Kau akan segera bertemu dengan Tuhanmu.”

Itu merupakan kritik. Pakai lambang-lambang agama koq memerkosa dan membinuh!

Nah, ini 'kan film yang sarat dengan nilai-nilai religi tanpa harus mengumbar simbol dan dialog keagamaan.

Sayang, sinetron kita lebih mementingkan simbol daripada hasrat mengajak pemirsa lebih memahami agama sebagai bagaian dari kehidupan di masyarakat yang beragam. *** [Syaiful W. Harahap - baranews.co] ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline