Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Di Kab Kuningan, Jawa Barat, HIV/AIDS “Membunuh” Pengidapnya

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1412307815913740188

4 Warga Kuningan Tewas Terjangkit HIV/AIDS.” Ini judul berita di kompas.com (24/9-2014).

Judul berita ini benar-benar menyesatkan dan menimbulkan kepanikan yang pada gilirannya mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) atau pengidap HIV/AIDS.

Pernyataan di judul berita tsb. dikatakan menyesatkan karena kematian pada pengidap HIV/AIDS atau Odha bukan karena HIV/AIDS, tapi karena penyakit-penyakit yang muncul di masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll.

Secara statistik masa AIDS muncul pada pengidap HIV/AIDS antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Pada masa AIDS kekebalan tubuh pengidap HIV/AIDS sangat rendah sehingga rentan tertular berbagai macam penyakit. Karena kekebalan rendah, maka penyakit-penyakit yang masuk di masa AIDS sangat potensial sebagai penyebab kematian.

Di lead berita disebutkan: “Sebanyak empat warga di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, meninggal dunia akibat terjangkit virus mematikan,Human Immunodeficiency Virus Infection / Acquired Immunodeficiency Syndrome(HIV/AIDS). Mereka meninggal dunia dalam waktu yang berdekatan, pada pertengahan Agustus hingga awal September 2014.”

Menyebutkan HIV/AIDS sebagai “virus mematikan” adalah kesalahan besar karena sampai hari ini belum ada laporan kematian pengidap HIV/AIDS karena terjangkit atau diserang HIV atau AIDS. Yang mematikan pada pengidap HIV/AIDS bukan virus HIV atau AIDS, tapi penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik.

Keterangan Kepala Pengelola Program, Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA), Kabupaten Kuningan, Asep Susan Sonjaya, menyebutkan tiga korban merupakan pecinta sesama jenis, sedangkan satu lainya berstatus waria.

Untuk apa menyebut ‘pecinta sesama jenis’ karena secara terminologi mereka dikenal sebagai laki-laki gay yaitu orientasi seks dengan homoseksual.

Dalam berita disebutkan pula: “Belum genap sembilan bulan, sejak Januari hingga September 2014, terdapat 37 warga yang menjadi korban keganasan virus tersebut.”

Lagi-lagi pernyataan yang bombastis dan sensasional, tapi tidak memberikan informasi yang akurat karena kematian 37 warga Kuningan tsb. bukan karena keganasan HIV/AIDS tapi karena penyakit lain yaitu infeksi oportunistik.

Asep juga tidak bersikap sebagai narasumber yang berkompeten karena al. tidak menyebutkan jenis atau nama penyakit yang menyebabkan kematian pada tiga gay dan satu waria tsb.

Kalau dalam berita disebutkan jenis atau nama penyakit penyebab kematian, maka masyarakat akan memahami HIV/AIDS secara benar sehingga tidak muncul stigma dan diskriminasi.

Menurut Asep, kematian terkait HIV/AIDS di Kab Kuningan sudah mencapai 190 sejak tahun 2004 tidak menggambarkan angka yang sebenarnya karena tidak menutup kemungkinan banyak korban yang meninggal dunia akibat HIV/AIDS yang tidak dilaporkan, tidak diketahui, sehingga tak masuk data.

Disebutkan bahwa masyarakat di Kab Kuninganh masih sangat takut, dan merasa aib untuk memberitahu ada anggota keluarga yang meninggal akibat AIDS.

Tentu saja karena informasi yang mereka terima tidak akurat, bahkan menakut-nakuti, seperti judul dan lead berita tsb.

Yang menjadi persoalan besar bukan tiga gay dan satu waria yang meninggal, tapi orang-orang yang menularkan HIV/AIDS dan orang-orang yang sudah tertular HIV/AIDS, terutama terkait dengan waria. Yang menularkan ada satu orang dan yang berisiko tertular ribuan orang. Mereka ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondo di dalam dan di luar nikah.

Studi di Kota Surabaya, Jawa Timur, menunjukkan yang menjadi pelanggan waria adalah laki-laki heteroseksual sebagian besar yang mempunyai istri. Celakanya, laki-laki heteroseksual justru jadi “perempuan” yang dianal (penis waria masuk ke anus laki-laki heteroseksual) oleh waria sehingga risiko tertular HIV sangat besar.

Laki-laki heteroseksual tsb. menjadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari lingkungan waria ke masyarakat, terutama kepada istri atau pasangan seks mereka. Jika satu waria meladeni tiga laki-laki heteroseksual setiap malam, maka sebelum waria itu meninggal sudah ada 5.400 – 16.200 laki-laki heteroseksual yang berisiko tertular HIV/AIDS (1 waria x 3 laki-laki/malam x 30 hari/bulan x 5 atau 15 tahun).

Disebutkan lagi: “Bahkan, ironisnya, tiap kali melakukan tes konseling dan pemeriksaan mobile VCT, banyak sekali yang menolak, khususnya para lelaki. Tidak hanya satu dua, hampir rata-rata para pria menolak  untuk diperiksa.”

Lho, yang benar saja, dong, Asep. Cara-cara yang Anda lakukan tentu saja tidak komprehensif.

Pertama, dilakukan secara terbuka sehingga semua orang mengetahui siapa saja yang melakjkan tes HIV.

Kedua, apakah sudah ada konseling dalam bentuk penyuluhan sebelum mereka diajak tes HIV.

Ketiga, apa jaminan Anda agar informasi hasil tes tidak tersebar luas jika tes dilakukan secara terbuka.

Keempat, tidak semua warga masyarakat harus menjalani tes. Hanya mereka yang pernah atau sering melakukan perilaku berisko yang dianjurkan tes HIV.

Kelima, apakah Anda sudah memberikan informasi yang akurat tentang perilaku berisko secara luas kepada masyarakat?

Maka, kesalahan bukan pada masyarakat, tapi ada pada Anda. *** [Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline