“Dinkes Pantau Penyebaran HIV/AIDS di Pasar Ciawi.” Ini judul berita di jpnn.com (2/11-2014).
Astaga, apa kaitan antara pasar, dalam hal ini Pasar Ciawi di Kab Bogor, Jabar, dan penularan HIV/AIDS?
Judul itu menyiratkan terjadi penyebaran HIV/AIDS di Pasar Ciawi, sebuah pasar di perempatan Ciawi di ujung jalan tol Jagorawi yang menuju ke Sukabumi, Puncak dan Kota Bogor.
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Bogor dari tahun 2003-2012 dilaporkan 548 (rribogor.co, 30/11-2012). Yang perlu diingat angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (548) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut.
Maka, penduduk yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Dalam berita disebutkan: “Tiba-tiba, tim ini langsung mengambil sampel darah kepada pengunjung dan pedagang untuk mengatahui apakah terjangkit virus mematikan tersebut.”
Pernyataan dalam berita tsb. amat tidak masuk akal, karena:
Pertama, mengambil sampel darah pedagang dan pengunjung pasar tidak bisa dilakukan tanpa izin pedagang dan pengunjung karena tidak menyangkut penyakit yang termasuk wabah (penyakit menular yang berjangkit dengan cepat melalui udara, air, dan binatang, al. serangga yang menyerang banyak orang secara luas di banyak daerah, spt cacar, disentri, kolera, malaria, dll.). Sedangkan HIV/AIDS bukan wabah tapi pandemi (penyakit menular yang berjangkit tidak melalui udara, air dan binatang tapi melalui cara-cara yang sangat khas).
Jika pengambilan darah dilakukan tanpa izin, maka hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).
Publikasi hasil tes HIV terhadap pedagang dan pengunjung Pasar Ciawi itu pun kelak akan menimbulkan masalah karena akan memberikan gambaran buruk jika ada hasi tes yang reaktif (positif).
Bisa saja masyarakat menganggap penularan dan penyebaran HIV terjadi melalui kegaitan perdagangan di pasar tsb.
Jika hal itu yang terjadi maka itu artinya terjadi kontra produktif terhadap penanggulangan HIV/AIDS karena orang pun akan beranggapan HIV/AIDS menular melalui kegaitan di pasar.
Kalau saja LSM Kampoeng Belajar, UPT Puskesmas Ciawi dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor memberikan penjelasan kepada wartawan bahwa pedagang dan pengunjung menjalani tes HIV karena ada kemungkinan perilaku seks mereka di luar kegiatan pasar berisiko tertular HIV tentulah tidak akan menimbulkan masalah jika hasil tes ada yang positif.
Kedua, pedagang dan pengunjung di Pasar Ciawi tidak semerta sebagai orang-orang dengan perilaku seks yang berisiko tertular HIV/AIDS, al. sering ngeseks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti.
Ketiga, sampai hari ini belum ada laporan kematian pengidap HIV/AIDS karena virus (HIV) karena kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit-penyakit yang muncul di masa AIDS (secara statistik setelah tertular HIV antara 5-15 tahun), disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Dalam berita disebutkan: “Selain pedagang dan pengunjung, tes juga dilakukan kepada pegawai UPT Pasar Ciawi. Alhamdulillah hasilnya negatif semua.”