Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Genosida di Tanah Papua dengan HIV/AIDS adalah Hal yang (Nyaris) Mustahil

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14187014612023783922

* Bisa jadi PSK yang mengidap HIV/AIDS justru tertular dari laki-laki penduduk Papua ...

Rumor Genosida di Papua Gara-gara Tingginya Kasus AIDS.” Ini judul tulisan Kurator Kata, Newsroom Blog (id.berita.yahoo.com, 5/12-2014).

Judul berita yang bertumpu pada premis ini menyesatkan jika dikaitkan dengan epidemi HV/AIDS.

Pertama, genosida (KBBI: pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras) dengan penyakit bisa berjalan efektif jika penyakit, bakteri, kuman atau virus penyebab penyakit tsb. bisa menimbulkan wabah (KBBI: penyakit menular yang berjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah besar orang di daerah yang luas, spt wabah cacar, disentri, kolera).

HIV/AIDS bukan wabah karena tidak bisa berjangkit dengan cepat karena cara penularannya yang sangat khas. Selain itu HIV/AIDS tidak bisa menular melalui udara, air dan pergaulan sosial sehari-hari.

Laporan Kasus Kumulatif

Dari aspek medis probabiitas atau risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan orang yang mengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali kemungkinan terjadi penularan. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual ke berapa terjadi penularan. Bisa yang pertama, kedua, ketujuh, kelima belas, ketiga puluh, kesembilan puluh, bahkan bisa pada hubungan seksual yang keseratus.

Terkait dengan rumor genosida Papua yang disebutkan sebagai ‘agen’ adalah perempuan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) yang mengidap HIV/AIDS. Ada persoalan besar, PSK ‘agen genosida’ tsb. harus melakukan hubungan seksual 100 kali dengan laki-laki Papua ada ada risiko tertular HIV/AIDS. Bertolak dari fakta medis itu, maka amatlah sulit bagi seorang ‘PSK agen genosida’  untuk melakukan 100 kali hubungan seksual dengan laki-laki yang menjadi target. Tentu tidak mungkin laki-laki target itu ngeseks tiap hari atau tiap malam dengan ‘PSK agen genosida’ karena banyak faktor, al. biaya dan waktu. Kalaupun ‘PSK agen genosida’ itu menggratiskan layanan seks, juga tidak mudah baginya untuk meminta seorang laki-laki Papua agar ngeseks dengan dia sebanyak 100 kali.

Kedua,  kematian pada orang-orang yang tertular HIV/AIDS tidak terjadi cepat karena kematian pengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS. Secara statistik masa AIDS terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.  Jika seseorang yang tertular HIV terdeteksi sebelum masa AIDS, maka ada obat yang bisa menekan laju perkembangan HIV di dalam darah yaitu obat antiretroviral (ARV) sehingga daya tahan tubuh pengidap HIV/AIDS tetap terjaga. Ini membuat pengidap HIV/AIDS tidak mudah kena penyakit infeksi oportunistik sehingga menghindarkannya dari kematian karena penyakit terkait AIDS.

Dua hal di atas luput dari pengetahun yang menulis berita atau laporan yang mengaitkan genosida dengan AIDS.

Lagi pula tidak adil mengaitkan PSK sebagai ‘agen genosida’ karena tidak ada tes HIV terhadap PSK yang masuk ke Papua sehingga bisa saja PSK yang kemudian terdeteksi mengidap HIV/AIDS setelah buka “praktek” di Papua justru ditularkan oleh laki-laki dewasa penduduk Papua.

Ketiga, angka kasus HIV/AIDS yang dilaporkan bersifat kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga sampai kiamat pun angka kasus yang dilaporkan tidak akan pernah turun biar pun semua pengidap HIV/AIDS meninggal dunia.

Keempat, daerah-daerah dengan jumlah kasus yang dilaporkan banyak terjadi karena, al.:

(1)Kegiatan sosalisasi dan penjangkauan ke masyarakat sangat banyak sehingga banyak penduduk yang menjalani tes HIV,

(2)Sarana tes HIV banyak tersebar sehingga tes bisa dilakukan di banyak tempat,

(3)Dokter sudah dilatih untuk menjalankan pemantauan terhadap pasien-pasien dengan penyakit-penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS dengan hasil anjuran untuk tes HIV,

(4)Penyakit menular yang mematikan, seperti malaria, TB, dll., jadi wabah di daerah-daerah tsb. sehingga penduduk yang mengidap HIV/AIDS mudah tertular yang akhirnya membawa mereka ke rumah sakit untuk berobat, dan

(5)Pengetahuan masyarakat terhadap HIV/AIDS sudah baik sehingga mereka bisa menimbang-nimbang perilaku mereka yang akhirnya mendorong mereka untuk menjalani tes HIV.

Maka, daerah-daerah dengan angka laporan kasus HIV/AIDS yang rendah tidak menjami bahwa di daerah itu tidak ada penduduk yang mengidap HIV/AIDS. Ini bisa terjadi karena lima faktor di atas tidak jalan di daerah tsb. Maka, kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi menjadi ‘bom wakut’ ledakan AIDS karena penduduk yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi akan menyebarkan HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari.

Pernyataan Provokasi

Laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tanggal 18 November 2014 menyebutkan jumlah kasus kumulatif di Papua adalah 26.235 yang terdiri atas 16.051 HIV dan 10.184 AIDS. Jumlah ini menempatkan Papua pada peringkat ke-3 secara nasional di bawah DKI Jakarta (40.259) dan Jawa Timur (28.225).

Sedangkan peringkat berdasarkan kasus AIDS, Papua berada para peringkat ke-1 secara nasional dengan 10.184 kasus. Itu artinya masa AIDS pada penduduk Papua yang tertular HIV lebih cepat dari penduduk di daerah lain, al. karena faktor kesehatan, wabah penyakit menular, higienis, dll.

Disebutkan: “Saking tingginya angka di Papua, banyak penduduk pulau itu yang percaya tengah terjadi genosida yang sistematis dengan sengaja menginfeksi orang Papua dengan penyakit mematikan.”

Pernyataan ini provokasi karena menyebarkan HIV/AIDS tidak mudah dan HIV/AIDS bukan penyakit yang mematikan. Kematian pada pengidap atau penderita HIV/AIDS terjadi karena infeksi oportunistik yaitu penyakit-penyakit yang menyerang di masa AIDS, seperti diare, TB dan malaria.

Disebutkan pula bahwa “ .... seorang perempuan pekerja seks meninggal di RSUD Merauke pada April 1994, kehebohan terjadi karena itu pertama kalinya ditemukan kasus kematian akibat AIDS di Papua.”

Kalau saja wartawan atau penulis yang menulis kasus ini memahami epidemi HIV/AIDS, maka ybs. harus menjelaskan:

(a)Apa penyakit yag menyebabkan pekerja seks itu meninggal?,

(b)Apakah pekerja seks itu menjalani tes HIV ketika pertama kali dia tiba di Merauke?,

(c)Berapa lama dia “praktek” di Merauke ketika meninggal di rumah sakit?, dan

(d)Kapan pekerja seks itu terdeteksi mengidap HIV/AIDS?

Terkait dengan (b), jika pekerja seks itu tidak menjalani tes HIV ketika tiba di Merauke, maka bisa saja dia tertular HIV di Merauke. Yang menularkan bisa penduduk setempat atau pendatang (Epidemi HIV di Irian Jaya*).

Nah, lagi-lagi wartawan atau penulis kisah itu tidak membawa fakta tadi, kematian seorang pekerja seks pengidap HIV/AIDS, ke realitas sosial yaitu penyebaran HIV/AIDS. Ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu:

-Pekerja seks itu sudah mengidap HIV/AIDS ketika tiba di Merauke. Jika ini yang terjadi, maka sudah ratusan bahkan ribuan orang Merauke dan pendatang yang ngeseks tanpa kondom dengan pekerja seks itu.  Mereka ini berisiko tinggi tertular HIV. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari pekerja seks yang mengidap HIV/AIDS menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah secara horizonal. Yang punya istri menularkan HIV ke istrinya, yang lain menularkan HIV ke pasangannya atau pekerja seks lain.

-Pekerja seks itu tertular  HIV/AIDS di Merauke. Jika ini yang terjadi, maka ada satu atau beberapa laki-laki peduduk Merauke atau pendatang yang menularkan HIV/AIDS ke pekerja seks tsb. Selanjutnya sudah ratusan bahkan ribuan orang Merauke dan pendatang yang ngeseks tanpa kondom dengan pekerja seks ini  Mereka ini berisiko tinggi tertular HIV. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari pekerja seks yang mengidap HIV/AIDS menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah secara horizonal. Yang punya istri menularkan HIV ke istrinya, yang lain menularkan HIV ke pasangannya atau pekerja seks lain.

Disebutkan pula bahwa penduduk lokal sudah mengetahui ada dua pekerja seks terjangkit HIV/AIDS di Merauke.

Lho, ini ‘kan jadi aneh. Sudah tahu pekerja seks mengidap HIV/AIDS mengapa ada laki-laki penduduk Merauke yang ngeseks tanpa kondom dengan pekerja seks ini?

Biar pun sepuluh, seratus atau seribu pekerja seks pengidap HIV/AIDS ada di satu daerah, maka tidak akan pernah terjadi penyebaran HIV/AIDS kalau laki-laki penduduk setempat tidak ngeseks tanpa kondom dengan pekerja seks pengidap HIV/AIDS.

Disebutkan pula ada dua nelayan Thailand di Merauke yang juga mengidap HIV/AIDS. Selama tidak terjadi kontak seks yaitu hubungan seksual dengan dua nelayan Thailand itu, maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV/AIDS dari dua nelayan Thailand tsb. ke penduduk Merauke.

HIV Tidak Menyebar

Disebutkan lagi bahwa pada bulan Maret 1995 terdeteksi kasus HIV/AIDS pertama pada ibu rumah tangga di Merauke.

Lagi-lagi wartawan atau penulis yang berkisah tentang genosida ini tidak melihat fakta di balik data itu. Itu artinya suami ibu rumah tangga tsb. pernah atau sering ngeseks tanpa kondom dengan pekerja seks.

Ini juga dalam berita “Dari pusat kota Merauke, perlahan virus itu menyebar ke kampung-kampung di sekitarnya. Pada 2008 tercatat pengidap HIV/AIDS di daerah itu sudah lebih dari 900 kasus.”

HIV/AIDS tidak bisa menyebar karena virus ini tidak ada di alam bebas, seperti di udara dan air. HIV sebagai virus ada di dalam tubuh orang yang mengidap HIV/AIDS yakni di dalam darah.

Ini pernyataan Theresia Essy Samkakai, aktivis hak asasi manusia Papua: “Penanggulangan AIDS tidak gencar dilakukan pemerintah pada saat pertama kali muncul pada 1992. Akibatnya muncul isu AIDS sebagai genosida.”

Sampai sekarang pun penanggulangan HIV/AIDS yang dijalankan pemerintah tidak komprehensif karena hanya bertumpu di hilir, seperti tes HIV, pemberian obat, dll. Itu artinya pemerintah membiarkan dulu ada penduduk yang tertular HIV baru ditangani.

Pemkab Merauke sudah membuat peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS, tapi perda ini tidak menukik ke akar persoalan. Yang ‘ditempak’ perda ini adalah pelacur asal Pulau Jawa dengan memenjarakan mereka jika terdeteksi mengidap sifilis atau kencing nanah (Tindakan KPA Merauke Menyesatkan).

Cara itu jelas tidak ada gunanya karena:

(A) Laki-laki yang menularkan sifilis atau kencing nanah ke pekerja seks justru menjadi mata rantai penyebaran sifilis dan kencing nanah di masyarakat al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, dan

(B) Penularan sifilis dan kencing nanah persis sama dengan penularan HIV/AIDS. Maka, kalau pekerja seks yang terdeteksi mengidap sifilis atau kencing nanah juga mengidap HIV/AIDS, ada kemungkinan sekaligus juga terjadi penularan HIV/AIDS. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari pekerja seks itu pun jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah (Perda AIDS Kab Merauke: Laki-laki Tidak Pakai Kondom ‘Lolos’ dari Sanksi Pidana).

Menurut Mama Essy, masalahnya adalah semua program memerangi HIV/AIDS di Papua ini butuh dana. Dana dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah seret, yang ada justru bantuan dari donor asing.

Memerangi penyebaran HIV/AIDS tidak butuh dana (yang besar) karena kuncinya ada pada laki-laki dan regulasi. Yang perlu diingat adalah tidak mungkin menghentikan penyebaran HIV/AIDS. Yang bisa dilakukan secara konkret dengan hasil yang terukur hanyalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK. Kita bisa melihat keberhasilan Thailand yaitu melalui program “wajib kondom 100 persen” bagi laki-laki yang ngeseks dengan PSK.

Program ini bisa jalan kalau pelacuran dilokalisir dengan regulasi sehingga germo atau mucikari memegang izin usaha. Melalui izin usaha inilah pemerintah bisa masuk untuk menjatuhkan sanksi hukum yaitu mulai dari teguran, pencabutan izin usaha sampai kurungan bagi germo yang melawan regulasi bukan terhadap PSK seperti yang terjadi di Merauke.

Secara rutin PSK menjalani tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, kencing nanah, virus hepatitis B, klamidia, dll.). Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS, maka germo diberikan sanksi karena membiarkan ada laki-lagi yang ngeseks tanpa kondom dengan PSK. Celakanya, di Merauke yang diberikan sanksi kurungan justru PSK. Seorang PSK dikurung ada puluhan bahkan ratusan PSK yang berlomba mengisi ‘posisi’ PSK yang dibui itu (Perda AIDS Merauke (Hanya) ‘Menembak’ PSK).

Untuk melakukan genosida dengan penyakit, maka yang dipakai adalah penyakit-penyakit yang cepat menular, mematikan dan sulit dicegah. Penyebarannya al. memakai media air dan udara serta hewan. Ini disebut wabah. Seperti diare, disenrti, tipus, TB, demam berdarah, flu burung, malaria, dll. bukan HIV/AIDS. *** [Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia] ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline