“Raih Rp 6 juta semalam, 'ayam kampus' UIN RA banyak dibooking pejabat.” Ini judul berita di merdeka.com (15/2-2015).
Dikabarkan RA memasang tarif Rp 2,5 juta untuk dua jam (short time). Kepada dosen yang menyidangkan RA, akibat ulahnya memajang foto-foto “hot” dirinya di Facebook, dia mengaku suda melakoni pekerjaan sebagai, maaf, “ayam kampus” selama tujuh bulan.
Itu artinya setiap malam rata-rata RA meladeni tiga laki-laki. Kalau ada masa jeda karena menstruasi selama sepekan, maka laki-laki yang sudah diladeninya sebanyak 483 (1 malam x 3 laki-laki/malam x 23 hari/bulan x 7 bulan).
Jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS, maka perilaku RA itu merupakan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena RA melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti.
Bisa saja terjadi salah satu dari laki-laki yang dia layani melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS, maka RA berisiko tinggi tertular HIV jika laki-laki tsb. tidak memakai kondom ketika hubungan seksual.
Celakanya, laki-laki yang sudah membayar RA Rp 2,5 juta dan sewa kamar, minuman dan makanan plus rokok tentulah menolak memakai kondom selama hubungan seksual karena mereka merasa rugi.
Koq bisa?
Ya, bisalah. Soalnya, dengan memakai kondom tentulah tidak terjadi gesekan penis dan vagina secara langsung dan tidak pula terjadi ejakulasi di dalam vagina, di kalangan laki-laki hidung belang disebut ‘transfer kenang-kenangan’.
Kondisinya kian runyam karena banyak orang yang termakan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS yaitu HIV/AIDS hanya menular di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Ini terjadi karena sejak awal epidemi sampai sekarang berbagai kalangan mulai dari aktivis AIDS, LSM, pemuka agama, tokoh masyarakat, pemerintah, dll. selalu mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan pelacuran.
Nah, banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang menganggap ngeseks dengan “ayam kampus”, seperti RA, di luar lokalisasi pelacuran pula tidak ada risiko tertular HIV/AIDS.
Anggapan itu mencelakai banyak orang. Buktinya, sekarang lokasi pelacuran di Indonesia bisa dihitung dengan jari, seperti “sarkem” (Yogyakarta), Sunan Kuning (Semarang), Padanggalak (Denpasar), Tanjung “turki” Elmo (Jayapura), dll., tapi kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga banyak dan terus terdeteksi. Itu artinya suami mereka melacur al. dengan “ayam kampus”, cewek panggilan, cewek kafe, dll. di luar lokasi pelacuran.
Memang, risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pengidap HIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom setiap hubungan seksual adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali kemungkinan terjadi penularan HIV/AIDS.
Persoalannya adalah sampai sekarang tidak bisa diketahui pada hubungan seksual ke berapa terjadi penularan. Bisa pada hubungan seksual yang pertama, kedua, ketujuh, kedua puluh, kelima puluh, kesembilan puluh sembilan, bahkan yang keseratus. Maka, setiap kali hubungan seksual yang berisiko yaitu (a) yang dilakukan dengan pengidap HIV/AIDS, (b) yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (c) yang dilakukan dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan seperti RA.
Laporan Depkes RI tahun 2012 menujukkan ada 6,7 juta laki-laki pelanggan PSK langsung di Indonesia. PKS yang kasat mata seperti di lokasi pelacuran. Sedangkan laki-laki pelanggan PSK tidak langsung, al. seperti RA, jumlahnya bisa jauh lebih besar. Dari 6,7 juta tsb. 2,2 juta adalah laki-laki beristri (kompas.com, 3/12-2012). Itu artinya ada 2,2 juta istri yang berisko tertular HIV/AIDS dari suami. Mereka inilah yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakta, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah di masyarakat.
Tindakan yang perlu segera dilakukan adalah membujuk RA untuk menjalani tes HIV dengan catatan dia harus menunggu minimal tiga bulan ke depan sejak transaksi seks terakhir. Selain itu salam masa tiga bulan ke depan RA tidak boleh melakukan hubungan seksual agar masa tiga bulan benar-benar dilalui tanpa perilaku berisiko.
Jika status HIV RA positif, maka laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan RA wajib menjalani tes HIV. Ini untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ke istri atau pasangan seks lain, seperti istri simpanan atau istri nikah siri, dll.
Persoalan besar baru muncul jika RA menolak tes HIV atau RA tidak bisa lagi dijumpai untuk konseling. Kalau ini yang terjadi, maka laki-laki yang pernah merasa pernah melakukan hubungan seksual dengan RA dianjurkan tes HIV.
Masalah lain muncul pula jika RA memakai nama khusus dalam pelayanan seksnya. Itu artinya persoalan kian rumit karena sasarannya kemudian adalah semua laki-laki yang pernah ngeseks dengan cewek panggilan atau “ayam kampus” di Bandung dalam kurun waktu tujuh bulan hitung mundur dari Februari 2015 atau sejak Agustus 2014.
Biar pun kasus penyebaran HIV/AIDS sudah banyak, tapi tetap saja banyak laki-laki yang melakukan hubungan seksual bersiko. Memang, laki-laki ada pada posisi tawar yang kuat jika berhadapan dengan istrinya sehingga istri menjadi ;pelengkap penderita’ jika tertular HIV/AIDS. Kondisi kian pelik karena ada pemahaman yang tidak komprehensif yaitu istri hanya bisa masuk sorga jika tidak “melawan” kepada suami. *** [Syaiful W. Harahap– AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H