Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
“DPRD Bengkulu Berinisiatif Buat Perda Penanggulangan HIV/AIDS.” Ini judul berita di sp.beritasatu.com (15/2-2015). Langkah DPRD Bengkulu ini terkesan “maju” karena dikaitkan dengan penanggulangan HIV/AIDS yang menjadi persoalan besar di bidang kesehatan masyarakat.
Tanpa mengurangi rasa hormat langkah DPRD Bengkulu itu justru akan sia-sia karena sampai Februari 2014 sudah ada 81 Perda Penanggulangan AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, serta 9 pertauran gubernur, peraturan bupati dan peraturan walikota tentang penanggulangan HIV/AIDS yang tesebar di seluruh Nusantara.
Tapi, apa yang terjadi?
Perda-perda itu sama sekali tidak bisa diandalkan untuk menanggulangai penyebaran HIV/AIDS karena tidak ada satu pasal pun dalam perda-perda itu yang menukik ke akar persoalan.
Pencegahan dan penanggulangan dalam perda-perda tsb. hanya dalam bentuk normatif dengan pijakan moral. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa dibuktikan dengan teknologi kedokteran.
Misalnya, dalam Perda Prov Riau No 4/2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Pasal 5 disebutkan: Pencegahan HIV/AIDS dilakukan melalui cara:
a. Meningkatkan Iman dan Taqwa
b. Tidak melakukan hubungan seksual diluar perkawinan yang sah.
c. Setia pada pasangan tetap dan atau tidak melakukan seks bebas.
Tiga langkah pencegahan di atas sama sekali tidak bisa dijalankan karena sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV/AIDS.
Pertama, tentang ayat a: tidak ada alat ukur dan ukuran yang konkret untuk menetapkan iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV/AIDS.
Kedua, tentang ayat b: penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual) bukan karena sifat hubungan seksual (di luar perkawinan yang sah).
Ketiga, tentang ayat c: dalam ikatan pernikahan yang sah dengan kesetiaan tetap ada risiko penularan HIV/AIDS jika salah satu dari pasangan tsb mengidap HIV/AIDS.
Perda-perda lain pun tidak berbeda jauh dengan Perda AIDS Riau karena pasal tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS hanya dengan konstruksi norma, moral dan agama sedangkan pencegahan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, harus dilakukan dengan cara-cara yang realistis yaitu: menghindari agar tidak terjadi kontak melalui hubungan seksual (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan yang mengidap HIV/AIDS.
Persoalannya kemudian adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali dari fisiknya karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada diri orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS.
Nah, jika DPRD Bengkulu tetap ingin membuat Perda AIDS, maka yang diperlukan adalah pasal-pasal yang konkret untuk mencegah dan menanggulangi penularan HIV/AIDS.
Dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Bengkulu yang mencapai 611 dengan 13 kematian sudah diperlukan langah-langkah yang konkret dan sistmatis untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Paling tidak ada 17 pintu masuk HIV/AIDS yang harus ditutup dengan dukungan regulasi hukum, dalam hal ini melalui perda, agar penyebaran HIV/AIDS di Bengkulu bisa ditekan karena untuk menghentikan penyebaran HIV/AIDS adalah hal yang mustahil. Soalnya, banyak orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi sehingga mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hbuungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Salah satu pintu masuk utama HIV/AIDS ke masyarakat Bengkulu adalah penularan HIV/AIDS baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang kasat mata, seperti yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan di jalanan) dan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek panggilan, cewek kafe, cewek pemijat, ABG, ayam kampus, dll.).
Untuk itulah diperlukan intervensi berupa regulasi yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Persoalannya adalah yang bisa diintervensi melalui regulasi adalah PSK, yaitu PSK langsung, yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Sayangnya, sejak reformasi semua lokasi atau lokalisasi pelacuran ditutup sehingga praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Disebutkan oleh anggota DPRD Bengkulu, Firdaus Jailani: "Anggota DPRD Bengkulu, sudah bersepakat untuk membuat perda tentang penanggulangan HIV/AIDS agar jumlah penderita penyakit mematikan tidak terus bertambah setiap tahun di daerah ini.”
Pernyataan di atas menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS. HIV/AIDS bukan penyakit yang mematikan karena belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit lain, disebut infeksi oportunistik seperti diare, TB, dll, di masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV/AIDS).
Di bagian lain Ketua Yayasan Kipas Bengkulu, Merly Yuanda, mengatakan “ .... , sehingga perda tersebut jika disahkan dan diterapkan benar-benar tetap sasaran menekan angka penderita penyakit mematikan tersebut.”
Bukan menekan angka penderita, tapi menurunkan insiden infeksi atau penularan baru pada laki-laki dewasa. Mereka ini tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung.
Agar perda tsb kelak tepat sasaran, maka yang perlu diperhatikan al. adalah:
(1) Menurunkan insiden infeksi atau penularan HIV/AIDS baru pada laki-laki dewasa
(2) Mencegah penularan HIV/AIDS dari suami ke istri
(3) Mencegah penularan HIV/AIDS dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya
(4) Menjaring atau mendeteksi penduduk yang sudah mengidap HIV/AIDS dengan cara-cara yang etis
(5) Mencegah penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).
Jika perda itu diharapkan komprehensif, maka 17 pintu masuk HIV/AIDS harus “ditutup”. Itu artinya diperlukan pasal-pasal yang benar-benar menukik ka akar pesoalan yaitu “menutup” 17 pintu masuk HIV/AIDS. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H