Lihat ke Halaman Asli

Salman

Warga Negara Indonesia yang baik hati

Suara Golput

Diperbarui: 29 Maret 2019   06:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mari kita mulai dari sebuah pertanyaan dasar, apakah negara kita adalah negara demokrasi? No!!! ini negara voting, demokrasi mengutamakan musyawarah-mufakat dan penyerapan aspirasi berbagai kalangan. Di negara voting yang menang menentukan segalanya dan yang kalah tersingkirkan. Ekses dari negara voting adalah permusuhan dan saling mencurigai seperti yang terjadi sekarang ini.

Kemudian pertanyaan selanjutnya, Apakah mereka (caleg) yang kita pilih itu adalah wakil rakyat? No!!! Mereka adalah wakil partai, mereka setelah menjadi anggota legislatif akan mendengarkan arahan partai bukan arahan rakyat. 

Rakyat tidak memiliki saluran untuk menyampaikan suaranya bahkan mereka (yang disebut wakil rakyat) tidak bisa mewakili suara rakyat untuk memilih presiden, pemilihan presiden pun sekarang harus langsung dipilih oleh rakyat, karena 'wakil rakyat' sudah tidak bisa dipercaya untuk menyuarakan suara rakyat.

Suara rakyat pada kenyataannya hanya dihitung untuk dibungkam dalam kotak suara. Ditengah rakyat indonesia sebagian besar masih berpendidikan rendah (data BPS rata-rata tidak tamat SMP) dan memiliki kecerdasan di bawah standar, akhirnya suara mereka hanya dimanfaatkan oleh para elit untuk mencapai tujuannya. 

Mereka tidak tahu dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada wakil yang mereka pilih, karena mereka (wakil rakyat) mendengar arahan partai bukan rakyat. Rakyat yang tidak berdaya hanya menjadi penonton aksi-aksi licik dan busuk para politikus.

Bagi saya jika ada yang mengatakan bahwa kita menentukan masa depan bangsa, maka itu bullshit, yang menentukan di negeri ini elit partai dan elit berduit, suara rakyat telah dibungkam dalam kotak suara.

Apakah wakil rakyat akan memperjuangkan kepentingan rakyat? Mari kita lihat kinerja mereka, data menunjukkan kinerja DPR tahun 2018 hanya bisa menyelesaikan 5 RUU dari 50 RUU yang masuk prolegnas, kinerja mereka amat sangat buruk. 

Di sisi lain dalam hal kepatuhan mereka terhadap pelaporan harta kekayaan amat sangat buruk, di DPR hanya 22,8 persen, bahkan ada beberapa DPRD yang nol persen tingkat kepatuhannya. Sama negara saja mereka tidak patuh, berharap mereka menyuarakan suara rakyat? Ngimpi Anda!!!

Sistem demokrasi berbiaya tinggi hanya melahirkan koruptor. Bagi saya ikut serta dalam demokrasi saat ini sama saja seperti ikut serta melahirkan koruptor baru. Beberapa kasus terkahir seperti ketum PPP Romahurmuzy dan Caleg Golkar Bowo Sidik Pangarso menjadi bukti tak terbantahkan. 

Kasus-kasus  korupsi yang tertangkap KPK hanya sebagian kecil saja, yang tidak tertangkap KPP jauh lebih bessssaarrr lagi karena KPK memiliki keterbatasan SDM untuk bisa mengikuti semua koruptor-koruptor yang berkeliaran di masyarakat. Sejatinya 17 April kita bukan memilih wakil rakyat, tetapi memilih calon bedebah atau koruptor, karena sistemnya membuat mereka menjadi koruptor.

Biaya politik mahal tidak hanya disebabkan oleh sistem pemilihan langsung, tapi akibat buruknya sistem kaderisasi di partai politik. Partai politik tidak memiliki sistem untuk melahirkan para pemimpin, buktinya hampir semua partai politik memberikan  kedudukan istimewa bagi tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh dan pengikut, mereka tidak harus mengikuti sistem pengkaderan berjenjang. Kebanyakan partai politik sistem comot tokoh.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline