Lihat ke Halaman Asli

BPJS Kesehatan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan

Pahami Lebih Dalam tentang Sistem Rujukan Berjenjang dan Pola Pembayaran BPJS Kesehatan ke Faskes

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Jakarta – Sebagai penyelenggara jaminan kesehatan sosial, BPJS Kesehatan terus berupaya agar seluruh fasilitas kesehatan (faskes) di Indonesia dapat mendukung berjalannya program jaminan kesehatan secara optimal melalui penerapan sistem rujukan berjenjang dan pola pembayaran BPJS Kesehatan.

Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, peserta BPJS Kesehatan dapat berobat ke fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas, klinik, atau dokter keluarga yang tercantum pada kartu peserta BPJS Kesehatan.

Sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 21 Ayat 1, salah satu manfaat pelayanan promotif preventif meliputi penyuluhan kesehatan perorangan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, diharapkan fungsi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tidak hanya sebagai tempat berobat, namun juga sebagai tempat masyarakat memperoleh edukasi kesehatan sebelum sakit.

“Penggencaran program promotif preventif ini penting dilakukan, sebab dibutuhkan suatu program untuk menjaga peserta yang sehat tetap sehat, dan peserta yang sakit tidak bertambah parah. Salah satu upaya yang kami lakukan adalah dengan memberdayakan FKTP untuk lebih giat memberi edukasi dan melakukan sosialisasi kepada peserta secara langsung mengenai pentingnya memelihara kesehatan,” kata Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur dalam acara Diskusi Media di BPJS Kesehatan Kantor Pusat, Kamis (26/3).

Program promotif preventif tersebut juga diharapkan dapat menekan angka rujukan dari FKTP ke rumah sakit. Berdasarkan data BPJS Kesehatan per triwulan I tahun 2015, tercatat hanya terdapat 2.236.379 rujukan FKTP ke rumah sakit, dari total angka kunjungan peserta BPJS Kesehatan ke FKTP sebanyak 14.619.528 kunjungan.

Adapun per Februari 2015, jumlah FKTP yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan adalah 18.856 FKTP, dengan rincian: Dokter Praktik Perorangan sebanyak 4.143, Klinik Polri sebanyak 569, Klinik Pratama sebanyak 2.569, Klinik TNI sebanyak 751, Dokter Gigi Praktik Perorangan sebanyak 1.011, Puskesmas sebanyak 9.805, serta Rumah Sakit D Pratama sebanyak delapan.

Apabila memerlukan pelayanan lanjutan oleh dokter spesialis, maka peserta BPJS Kesehatan dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua atau fasilitas kesehatan sekunder.Rujukan ini hanya diberikan jika peserta BPJS Kesehatan membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik, atau jika fasilitas kesehatan primer yang ditunjuk untuk melayani peserta tersebut, tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan karena keterbatasan fasilitas, pelayanan, dan atau tenaga medis.Jika peserta masih belum dapat tertangani di fasilitas kesehatan sekunder, maka dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier untuk ditangani oleh dokter sub-spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub-spesialistik.

Pelayanan rujukan bisa dilakukan secara horizontal maupun vertikal. Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan jika perujuk (fasilitas kesehatan) tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan, dan atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.Sedangkan rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi, atau sebaliknya.

Peserta BPJS Kesehatan bisa dirujuk dari fasilitas kesehatan yang lebih rendah jika:

1.Permasalahan kesehatan peserta dapat ditangani oleh tingkatan fasilitaskesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya,

2.Kompetensi dan kewenangan fasilitas tingkat pertama atau tingkat kedua lebih baik dalam menangani peserta

3.Peserta membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh fasilitas kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi, dan pelayanan jangka panjang,

4.Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan peserta karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan, dan atau ketenagaan.

Sementara itu dalam hal mekanisme pembayaran, terdapat dua sistem pembayaran yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan. Bagi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), sistem pembayaran yang diterapkan adalah sistem kapitasi.

Terkait hal tersebut, masih banyak pihak yang salah kaprah (termasuk dokter) yang mengira setiap layanan dokter dihargai sekitar Rp 8.000,- sampai dengan Rp 10.000,-. Padahal, kapitasi dihitung berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar di suatu FKTP, bukan jumlah peserta yang berobat. Misalnya, jika sebuah praktik dokter pribadi memiliki 3.000 peserta BPJS yang terdaftar di tempatnya, maka setiap bulan sang dokter akan mendapat sekitar Rp 30 juta yang dibayar di muka oleh BPJS Kesehatan. Nilai itu didapat dari total peserta terdaftar dikalikan kapitasi Rp 10.000.

Selanjutnya, dokter harus mengelola uang senilai Rp 30 juta itu. Uang itu praktis akan berkurang bila ada pasien yang berobat. Sebab, dokter harus memeriksa dan memberi obat yang biayanya diambil dari dana kapitasi tersebut. Semakin sedikit pasien yang berobat, FKTP tersebut tentu akan semakin untung.

Bagi Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKTRL), sistem pembayaran yang digunakan adalah sistem tarif paket INA CBG’s. Sistem INA CBGs adalah tarif paket pelayanan kesehatan yang mencakup seluruh komponen biaya RS, mulai dari pelayanan non medis hingga tindakan medis. Tarif paket dalam INA CBGs dihitung berdasarkan data di berbagai RS di Indonesia (pemerintah atau swasta). Data meliputi tindakan medis yang dilakukan, obat-obatan,jasa dokter, dan barang medis habis pakai kepada pasien, termasuk profit yang diperoleh RS. Data tersebut kemudian dihitung dalam rumus yang berlaku secara internasional dan diambil besaran rata-rata. Dengan paket biaya itu, RS dan dokter dituntut efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan kepada pasien.

BPJS Kesehatan akan dikenai denda 1% dari total tagihan per rumah sakit jika terlambat membayar klaim. Pembayaran klaim tersebut harus dilakukan maksimal 15 hari kerja setelah berkas lengkap dari rumah sakit diterima BPJS Kesehatan. Sehingga, kelengkapan berkas rumah sakit itulah yang menentukan seberapa cepat klaim tersebut dapat dibayarkan. Hingga saat ini, BPJS Kesehatan telah membayar klaim jauh lebih cepat dari batas waktu 15 hari yang ditentukan tersebut.

Kedisiplinan BPJS Kesehatan dalam membayar klaim rumah sakit tersebut berhasil membuat Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) memberikan rapor hijau kepada BPJS Kesehatan untuk periode tahun 2014. Sepanjang 2014, BPJS Kesehatan telah 100% membayarkan klaim kepada seluruh fasilitas kesehatan yang bekerjasama sesuai dengan ketentuan N-1, dimana tagihan pasien peserta BJPS Kesehatan yang dirawat bulan lalu, diajukan klaim pada bulan berikutnya.

***

-Selesai-

Informasi lebih lanjut hubungi:

Departemen Komunikasi dan Hubungan Masyarakat

BPJS Kesehatan Kantor Pusat

+62 21 424 6063

humas@bpjs-kesehatan.go.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline