Lihat ke Halaman Asli

Cara 'Mudah' Melindungi TKI

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(info-bag.us) Aku perhatikan seringkali usaha perlindungan TKI dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan mahal. Benarkah demikian? Menurutku tidak. Walaupun masalah TKI kelihatannya sangat ruwet tetapi simpul-simpulnya sebenarnya dapat ditemukan dengan mudah. Aku mengidentifikasi setidaknya dua simpul. Simpul Pertama: TKI itu adalah aset! Aset siapa? Kenapa pertanyaan itu? karena pemilik aset seharusnya menjadi penanggung jawab atas asetnya. Contoh yang paling mudah adalah ketika bus Trans-Jakarta terlibat dalam kecelakaan lalu lintas, Perusahaan Trans-Jakarta akan dimintai tanggung jawab apabila memang ada kelalaian. Sungguh mudah menjawab pertanyaan aset milik : siapa yang menjadi penerima manfaat langsung dari kerja TKI? tentunya adalah Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) atau dalam istilah UU 39/2004 "Pelaksana penempatan TKI swasta" (PPTKIS). Logika sederhana, jika bisnis ini merugikan tentunya para PPTKIS sudah lama gulung tikar! Sayangnya UU 39/2004 tidak berpandangan demikian, dan ini sangat terlihat dalam pasal 1 butir 10 yang mengatur "Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan Pengguna yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak." Sebagai informasi, dalam proses penempatan TKI ada satu lagi perjanjian yakni "Perjanjian Penempatan TKI yang "adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI swasta dengan calon TKI yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam rangka penempatan TKI di negara tujuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan." (pasal 1 butir 9). Jika hendak konsisten dengan butir 9, sudah seharusnya butir 10 berbunyi "Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara PPTKIS dengan Pengguna yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak mengenai pemanfaatan TKI terkait." Jika perjanjian kerja dilangsungkan antara majikan dan PPTKIS (atau perwakilannya atau mitra kerja di luar negeri) maka terbentuklah suatu sistem pekerjaan subkontrak yang sejati. Sementara pengaturan yang sekarang ini benar-benar melepaskan TKI ke majikan tanpa ada tanggung jawab PPTKIS sebagai penerima manfaat langsung (bisa dibaca "keuntungan" atau "profit") dari pengiriman TKI. Izinkan aku berbagi pengalaman sebagai pegawai subkontrak subkontrak di tahun 1997 di sebuah bank swasta internasional. Walaupun sehari-hari aku bekerja di bank itu, tetapi gaji dan semua manfaat aku terima melalui perusahaan subkontrak, mengingat aku adalah 'aset' dari perusahaan ini bukan dari bank langsung. Ketika aku memutuskan untuk mengakhiri kerjaku, secara administratif yang terjadi ialah aku memutuskan hubungan kontrakku dengan perusahaan subkontrak dan bukan dengan bank. Kemudian bank dan perusahaan subkontrak melakukan perubahan atas kerja sama mereka (mungkin dengan mendatangkan pegawai baru). Kalau aku melakukan kesalahan, maka bank akan meminta agar perusahaan subkontrak menerapkan sanksi sesuai perjanjian yang berlaku. Berdasarkan logika tanggung jawab pemilik aset dan pengalaman kerjaku, aku coba menyusun suatu perbandingan yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan untuk menata kembali penempatan dan perlindungan TKI. Dengan penetapan tanggung jawab yang sepadan dengan manfaat yang diterima oleh PPTKIS, secara logika PPTKIS akan lebih berhati-hati dan menjaga asetnya. Dengan demikian juga, uang pajak rakyat tidak perlu terlalu banyak dikuras untuk melakukan perlindungan atas aset yang sebenarnya menjadi tanggung jawab PPTKIS sebagai pemilik dan penerima manfaat. Simpul kedua adalah: Negara Tujuan harus Mempunyai Tanggung Jawab! Seperti halnya PPTKIS, negara tujuan juga merupakan penerima manfaat. bagaimana tidak? TKI merupakan penggerak perekonomian yang sangat penting seperti di bidang perkebunan sawit milik Malaysia. Jadi penting bagi aparat negara RI untuk memastikan bahwa TKI hanya berangkat ke negara yang mengakui dan menghargai WNI kita bukan sebagai budak melainkan sebagai aset ekonomi. Praktik selama ini sangat rentan terhadap pelintasan ilegal, di mana WNI yang dikirim sebagai TKI ke negara A kemudian dipindahkan ke negara B atau negara C - yang dengan sendirinya menggugurkan perlindungan atas WNI. Menurutku ada satu cara yang sangat mudah yang dapat dilakukan yakni dengan membatasi wilayah pemberlakuan paspor TKI. Sebagai contoh, pada paspor dinas dan diplomatik RI terdapat cap yang menyatakan paspor tersebut tidak berlaku untuk Israel dan Taiwan. Pembatasan yang paling tegas, dan efektif adalah dengan menetapkan keberlakuan paspor untuk negara yang sesuai dengan perjanjian penempatan. Kalau mau lebih 'nakal' mungkin bisa disebutkan paspor TKI tidak berlaku untuk negara A, negara B, negara C dan seterusnya yang merupakan negara pengguna namun belum mau melakukan perjanjian dengan RI. Jika perlu disandingkan dengan Israel, karena dapat saja dikategorikan sebagai "penjajahan" terselubung. Tetapi ini tentunya akan menimbulkan keriuhan diplomatik dan dapat mengacaukan aspek perlindungan sejatinya. Sekali lagi, ini adalah oret-oretan seorang pemerduli bangsa yang awam dan karenanya yang jauh dari sempurna. Aku minta maklumnya jika ada kesalahan dan kesediaan kalian untuk mengoreksi atau memberikan masukan. Yang terpenting adalah kita perlu memberi perhatian lebih pada "pengungsi-pengungsi" ini yang terserak dan terpapar pada risiko penindasan  di negeri asing. Jakarta, 27 November 2011.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline