Lihat ke Halaman Asli

Ribut Soal 4 x 6, Jadi Ingat Murid Privat

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hai, hai. Hm, menanggapi isu PR Matematika SD yang lagi ramai beberapa hari terakhir, saya jadi teringat murid privat saya di Depok. Saya belum sempat pamit alias kabur gitu aja tanpa kabar. Parah banget!

Dia adalah seorang anak kelas 5 SD, sedikit pemalas, kritis, dan sok pintar (haha, maaf, ya, Dek^^), tapi menggemaskan. Namanya Alfin. Alfin pernah bilang, uraian di buku pelajaran Matematika itu terlalu terbelit-belit dengan memaparkan serangkaian cara untuk mencapai hasil tertentu. Ketika saya menerangkan proses panjang, ia seringnya acuh tak acuh. Dan selalu memotong penjelasan, “Kak, ada cara cepetnya, gak?”

“Gak.” begitu selalu saya bilang.

“Awas ya kalau aku nemuin cara cepetnya.”

“Coba aja.”

Dalam mengerjakan PR, Alfin selalu ingin cepat selesai. Agar bisa cepat main, hahaha. Wajar sih, waktu saya kecil juga begitu. Pada dasarnya Alfin anak yang cerdas dan pintar, dia bisa langsung menjawab serangkaian soal perkalian dengan hanya memikirkannya sembari memejamkan mata. Bertingkah sok keren dengan gaya ala profesor, ih kesel banget kalau inget tingkah dia hehe. Tapi Alfin malas menuliskan jawabannya di kertas. Setiap kali mau latihan soal, dia paling gak suka diminta menuliskan proses jawabannya, maunya langsung jawab lisan tanpa ditulis.

“Aku langsung jawab aja, ya, Kak.”

“Gak, kakak kan mau lihat gimana kamu ngerjainnya. Siapa tahu kamu cuma ngarang aja.”

“Gak mau, ah, kenapa sih, Kak, mesti pakai cara yang panjang-panjang. Aku udah tahu jawabannya langsung kok.”

“Yaudah langsung aja tulis jawabannya, gak usah pakai cara.”

“Tapi, nanti salah.”

“Itu tahu.”

“Males, Kak.”

“Karena ada proses yang harus kamu ikutin. Mungkin ada temen kamu yang kesulitan jawab soal kalau diminta langsung menjawab, tanpa menjabarkan caranya. Kalau sama Kakak sih, kamu udah 100 nilainya, Kakak percaya kamu bisa. Tapi di sekolah, kamu harus ikutin seperti apa yang ada di buku. Mau gak mau, hehe.”

“Oke, fine! Bikin lama...” lalu ia mulai mengerjakan sambil bersungut-sungut.

Begitu kira-kira kelakuannya kalau diminta menjawab soal. Tak hanya matematika, sih, juga pelajaran lain. Dia sangat malas menulis.

Pun kasus senada dengan perkalian 4 x 6 yang sedang ramai dibicarakan orang. Menurut saya, tidak ada yang bisa disalahkan atau dibenarkan dalam kasus ini. Karena kejadian yang kita lihat masih berupa serangkaian puzzle yang belum lengkap. Setahu saya, di setiap soal selalu ada perintah atau petunjuk pengerjaan. Ketika soal dikerjakan tanpa mematuhi aturan dan petunjuk ya tentu tidak bisa disahihkan (katanya tidak ada kebenaran dalam Matematika, adanya kesahihan) sebagaimanapun jawaban yang ditulis itu benar.

Saya sependapat dengan uraian @iwanpranoto terkait ini. Beliau menyebutkan

Pertanyaan guru seharusnya begini "Jika 2×3 = 3 +3, tentukan 3×4". Jika dg pertanyaan ini anak jawabnya 3+3+3+3, barulah SALAHKAN. Mungkin ada yg berargumen, kalau pertanyaannya begitu anak ya bisa. Ya, memang anak supaya bisa! :) Kalau mau menjebak, bukan di Matematika.

Dalam hal ini, lagi-lagi menurut saya, yang diperlukan bukan memperdebatkan mana yang lebih penting antara hasil atau proses. Tapi bagaimana kita bisa menghargai sebuah aturan di dalam proses. Ayah saya pintar Matematika, tapi setiap saya meminta bantuan ayah dalam mengerjakan PR, cara yang ayah pakai tidak sama dengan yang diajarkan Bu Guru. Meskipun hasilnya sama. Lalu ibu saya selalu berkomentar,

“Cara dulu gak bisa dipakai anak jaman sekarang, Pak. Diajarin sesuai yang kayak gurunya ngajar aja.”

Pada akhirnya saya tahu, itu hanya soal pemahaman. Seperti ketika kita akan pergi ke sebuah kota, kita bisa melewati banyak jalan. Tapi, karena kita sedang di stasiun, ya mau gak mau kita harus ngikutin jalan yang dilalui kereta. Hehehehe.

Jadi, saya tidak melihat kasus 4 x 6 ini sebagai sesuatu yang harus dicari sisi kebenarannya. Ini hanya tentang sebuah penghargaan pada proses yang mungkin belum sepenuhnya dipahami, baik oleh kakak si adik, atau guru kelas. Tapi bagi kita sebagai pembaca, mengambil pelajaran lebih baik daripada menyudutkan dan menyalahkan entah siapa. Kalau kata dosen Jawa, “serangkaian kejadian di sekitar kita perlu dipandang sebagai ‘iqra’pasti ada pelajarannya”

Kasus tersebut mengajarkan saya tentang bagaimana pentingnya menghargai suatu proses dalam kehidupan. Maka ketika saya berperan menjadi kakak yang diminta tolong untuk membantu menyelesaikan PR adiknya, saya akan melihat proses seperti apa yang diminta guru. Melihat bagaimana petunjuk pengerjaannya. Lalu saya akan membantu sesuai dengan petunjuk yang diminta, meski saya tahu cara pengerjaan yang lebih cepat. Baru setelah selesai, saya bisa mengajarinya konsep-konsep lain sesuka saya haha.

Ketika saya berperan sebagai guru, saya akan melihat bagaimana anak-anak berproses dalam menjawab soal. Kemudian menjelaskan, bahwa dalam setiap tahapan ada proses yang harus diperhatikan, sesuatu yang sering disebut sebagai konsep dasar. Saya akan tetap menyalahkan jawaban yang dijawab di luar petunjuk pengerjaan. Tetapi saya akan sangat mengapresiasi konsep lain yang dimengerti anak didik saya. Dan menunjukkan betapa keragaman berpikir juga sebuah bentuk kuasa Allah :’)

Setiap kejadian adalah pesan. Setidaknya, itu sedikit pelajaran yang saya peroleh dari kasus ini :))

Btw, soal murid privat saya, apa kabarnya ya? Hihihi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline