Bismillahirrahmanirrahim, pertama-tama saya membuat tulisan ini bertujuan untuk me-review buku berjudul Muslimah Feminis : Penjelajahan Multi Identitas karya Neng Dara Affiah. Neng Dara Affiah sendiri adalah seorang aktivis perempuan yang lahir pada bulan April 1970 dan berstatus sebagai anak seorang kyai. Dalam jenjang pendidikan dasar dan menengah, ia mengikuti aliran tradisionalis. Keluarganya memang keluarga santri dan bapaknya adalah seorang tokoh ulama NU.
Neng Dara mulai merasa tertarik terhadap aliran fundamentalis pada saat menempuh pendidikan menengah atas, ia merasa keterkungkungan dalam menjalankan ibadah fundamentalis itu. Ketika ia melanjutkan pendidikan tinggi di IAIN ia merasa terombang-ambing antara masuk PMII atau HMI, dan akhirnya ia memutuskan untuk masuk HMI yang berlatar belakang modernis.
Buku ini terdapat empat bab utama, yaitu Aku dan Etnisitas, Aku Sebagai Muslim, Aku Sebagai Perempuan, dan Aku Sebagai Anak Bangsa. Penulis akan memberikan ulasan dan pendapat mengenai keempat bab tersebut.
Bab pertama buku ini membahas tentang mengapa identitas etnis penting bagi sebagian orang?. 'Karena etnisitas adalah penegasan sosial mengenai keberadaan seseorang dan dari tanah itulah seseorang berasal' (Geertz:1974). Sebuah kelompok etnis merupakan sekumpulan orang yang memiliki latar belakang sama dimana masyarakatnya memiliki norma-norma, kebiasaan, dan gaya hidup yang khas dan berbeda dengan etnis lain.
Di sub bab kedua, Neng Dara membahas secara rinci mengenai sejarah Banten dari sebelum kesultanan Islam sampai berdiri nya Banten sebagai Provinsi. Sebelum kesultanan Islam berdiri pada sekitar awal abad ke-5 hingga abad ke-7 M, Banten dikuasai oleh kerajaan Hindu Tarumanegara. Setelah abad ke-7, daerah ini merupakan bagian dari kekuasaan Sunda yang bersifat otonom, tetapi tidak diketahui siapa nama rajanya. Menjelang Kerajaan Sunda berakhir pada tahun 1579, Pangeran Syarif Hidayatullah yang kelak digelari Sunan Gunung Djati menyebarkan Islam ke Cirebon dan Banten serta membentuk komunitas Islam di sana. Setelah Sunan Gunung Djati kembali ke Cirebon, penyebaran Islam dilanjutkan oleh Hasanuddin dengan berdakwah dari satu daerah ke daerah lain. Singkat cerita, pada 4 Oktober 2000, Banten resmi menjadi provinsi yang terpisah dari Jawa Barat dan dapat mengelola daerahnya sendiri.
Setelah membahas sejarah tentang Banten, Neng Dara membahas mengenai tempat asalnya, yaitu Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. Penduduk di tempat ia tinggal hampir semuanya beragama Islam, jika pun ada yang Kristen, mereka adalah pendatang dari Ambon yang entah darimana mereka memiliki agama, kulit, dan struktur tubuh yang berbeda dengan penduduk asli Banten tersebut. Namun, Ibu dari Neng Dara memiliki hubungan yang sangat baik terhadap etnis lain di wilayah nya tersebut sehingga jika mereka mengadakan upacara-upacara keluarga seperti sunatan, pernikahan atau upacara lainnya, mereka turut hadir memeriahkan acara tersebut.
Lanjut bab ke dua buku ini membahas tentang Aku Sebagai Muslim. Di bab kedua ini Neng Dara mengaku bahwa ia tidak pernah memilih agama Islam, melainkan Islam hadir dan melekat pada dirinya begitu saja sebagai identitasnya sejak lahir hingga sekarang. Kemudian Neng Dara membahas tentang tradisi dan keilmuan dalam islam, kakek dari ayah dan ibu Neng Dara merupakan seorang Kyai yang mewariskan ilmu-ilmu islam dari generasi ke generasi. Tradisi disini merupaka tradisi pesantren dimana murid-murid nya belajar tentang Agama Islam lebih dalam. Neng Dara belajar cara membaca Al-Qur'an dengan mengenal huruf dan merangkainya.
Selepas Sekolah Dasar, Neng Dara melanjutkan pendidikannya di pesantren Alquran di Serang. Saat menempuh pendidikannya, ia di baiat untuk selalu setia kepada organisasi, Pembaiatan dilakukan di tengah malam dengan doktrin: Allah tujuan kami, Rasul tuntutan kami, Alquran Syariat kami, jihad jalan kami, mati syahid adalah cita-cita kami. Hal ini membuat Neng Dara mengetahui bahwa model pengajian tersebut adalah metode yang digunakan oleh gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hassan al-Banna yang berpusat di Mesir.
Lanjut di bab ke tiga, secara garis besar bab ini membahas tentang identitas seabagai perempuan, apa itu feminisme dan organisasi feminisme itu sendiri. Di bagian pertama Neng Dara menyebutkan bahwa identitas nya sebagai perempuan sama seperti identitas beragama nya, ia tidak pernah memilih akan dilahirkan seperti apa dan menurutnya ini adalah kodrat yang diberikan Allah kepadanya.
Sejak kecil ia selalu diajari cara berperilaku seperti perempuan, seperti melakukan pekerjaan rumah, memasak, dll. Namun ia melihat kakak laki-lakinya bisa leluasa bermain, bergaul dengan siapa saja, sewa komik, nonton film, dan bahkan orang tuanya menaruh harapan kepada nya sebagai pewaris suatu saat nanti.
Di bagian berikutnya, Neng Dara membahas tentang pertemuannya dengan feminisme. Saat kuliah di IAIN Jakarta menurutnya kuliah sesungguhnya terjadi di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) dimana kelompok studi ini membahas pelbagai disiplin ilmu penegetahuan, tak terkecuali feminisme. Perjumpaannya dengan wacana feminis ini membentuk kesadaran baru bahwa ada masalah ketidakadilan terhadap perempuan. Kesadaran tersebut membuat aku yang saat itu masih menjadi mahasiswa pada semester pertengahan mempunyai energi besar untuk mengubahnya dan menyosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat luas.