Lihat ke Halaman Asli

Edukasi dan Kreativitas untuk Raih Masa Depan Cemerlang

Diperbarui: 30 Agustus 2016   00:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: www.borongaja.com

Ayah dan ibu saya menikah saat usia mereka masih sangat muda, di bawah 20 tahun. Pernikahan yang hanya seumur jagung, karena saat saya berumur 1 tahun [ bahkan sebelum 1 tahun] kedua orang tua saya memutuskan untuk bercerai. Mereka kemudian masing-masing menikah lagi, dan hingga saat ini saya masih bertanya-tanya, apakah ada yang salah ? Apakah ada yang salah dengan pernikahan mereka? Atau adakah yang salah dengan kelahiran saya ? 

Bahkan hingga saya dewasa, saat mereka bertemu dalam beberapa kesempatan, pasti pertengkaran yang terjadi.

Menjadi anak dari orangtua yang bercerai tidaklah mudah. Saya merasa terlalu di kasihani banyak orang. Saat saya kecil dulu sering di rasani [mereka berbicara di belakang saya tetapi saya mendengar]  banyak tetangga saat saya kebetulan berjalan di dekat mereka.

"Eh, ini loh yang namanya X [nama saya], kasihan ya bapak dan ibunya bercerai, kemudian ibunya dapat pak T."

Demikian mereka bilang. Saya tentu saja sedih mendengarnya, bagaimanapun saya masih kecil saat itu dan saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dan apa yang harus saya katakan kepada mereka, tetangga-tetangga saya itu.

Betapapun, saya mendapat pelajaran yang sangat berharga dengan semua kejadian yang pernah saya alami. Perceraian orantg tua, bagaimanapun mempengaruhi saya sedemikian sehingga saya tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri, introvert dan tertutup, cenderung menjadi cuek tetapi perasaan saya sangat peka dan mempunyai daya imajinasi tinggi.

Salah satu kabar buruknya, dampak dari perceraian tersebut membuat saya tidak pernah mengenal saudara-saudara dari keluarga bapak saya. Sehingga dulu saat saya pulang kampung [rumah kakek nenek] kemudian ada tetangga yang membicarakan Pak B begitu begini dan kemudian menunjuk saya dan bilang, "Pak B kan pakdhemu to ndhuk ?"

"Hah, masak iya? Lha mana saya tahu" jawab saya

Konyol sekaligus menyakitkan.

Saat ini setelah saya dewasa dan sudah berkeluarga, saya dapat merasakan bagaimana beratnya perjuangan untuk berkomitmen seumur hidup dengan satu orang yang saya nikahi.

Saya menikah di umur 24 tahun sedangkan suami saat itu berusia 26 tahun. Sebelum menikah, saya sudah kurang lebih 4 tahun bekerja dan terus melanjutkan bekerja bahkan setelah menikah. Mungkin karena tingkat kemandirian dan kepribadian saya yang agak berbeda dengan cara pandang suami menyebabkan kami seringkali berbenturan pendapat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline