Mudik sudah menjadi bagian dari hidup saya sejak 30 tahun yang lalu.
Saya dan orang tua saat itu tinggal di kota Semarang sementara simbah [kakek dan nenek] tinggal di sebuah desa kecil sebelum kota Jepara bernama desa Welahan.
Welahan bisa di tempuh kurang lebih 1 hingga 1.5 jam dari Semarang, tidak terlalu jauh memang. Tetapi seperti alasan klasik pada umumnya, orang tua saya yang pekerja "hanya" mempunyai waktu libur yang lumayan lama hanya saat libur lebaran.
Saya masih ingat betul, saat-saat liburan kenaikan kelas pastilah selalu berdekatan dengan libur lebaran. Begitu sudah terima raport, di lanjut belanja baju baru dan belanja oleh-oleh untuk simbah maka sudah bisa di pastikan bahwa kami akan berangkat mudik ke desa.
Ibu biasanya menyiapkan beberapa kardus berisi gula, kopi, teh, roti kaleng dan sirup untuk simbah dan juga untuk di bawa IRT kami pulang ke desanya di Mlonggo yang berjarak kurang lebih 1 jam dari Welahan.
Walaupun saat itu kami tidak mempunyai mobil, tetapi Ibu selalu berusaha untuk meminjam [kalau bisa] atau bahkan menyewa mobil untuk mengangkut 5 sampai 6 orang anggota keluarga kami di tambah barang-barang bawaan. Mudik selamat dan asik karena bisa melihat pemandangan sawah menghampar hijau setelah memasuki kota wali Demak.
Kalau sudah sampai di rumah simbah rasanya lega dan senang. Simbah juga biasanya menyiapkan beberapa toples berisi camilan untuk suguhan para tamu saat silaturahmi. Toples jadul yang terbuat dari kaca beling yang tebal dan besar. Isinya kue larut, kacang goreng, emping goreng, rengginang, kue semprong......Ahhh jajanan-jajanan itu pun sekarang sudah mulai sulit di temukan.
Selain keluarga kami, banyak juga tetangga-tetangga kami di Semarang yang pulang mudik ke kampung halaman dan desa masing-masing. Kebanyakan mereka menggunakan sepeda motor, berbonceng ber-2 atau ber-3 dengan anak istrinya plus barang bawaan. Dengan perlengkapan "perang" seperti jaket, helm cakil dan sarung tangan. Agak ngeri juga melihat barang bawaan mereka, beberapa kardus dan tas ransel di ikat di motor dan anak mereka biasanya di bonceng di tengah. Ngeri kalau membayangkan mereka sudah berkendara di jalan besar yang penuh truk, bus dan semua pengguna jalan yang lain.
Kira-kira 13 tahun yang lalu, kebiasaan mudik ini sudah di tinggalkan oleh keluarga saya karena tidak ada lagi yang di kunjungi di desa. Simbah saya sudah meninggal semua. Rumah dan tanah yang dulu di tempati simbah sudah di jual oleh pakdhe saya [pemegang sertifikat] kepada pihak lain untuk di jadikan lahan parkir. Sedih memang tapi mau bagaimana lagi.. Memang sih masih ada beberapa saudara di sana tetapi "rasanya" sudah lain seperti saat simbah masih ada.
Dulu saat saya kecil belum ada program dari pemerintah seperti sekarang ini dengan menyediakan mudik gratis dan mudik selamat bagi masyarakat.
Yang biasa menyediakan mudik gratis setahu saya dulu adalah perusahaan jamu dan itupun khusus untuk para karyawannya yang berjumlah ribuan orang.