Lihat ke Halaman Asli

indri yanti panjaitan

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Mengurai Lapisan Korban Terorisme: Kebijakan Kompensasi di Indonesia dan Implikasinya bagi Ketahanan Nasional

Diperbarui: 26 Juni 2024   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: Diolah penulis

Indri Yanti Panjaitan (6670210046), Anjelina Margaretha Wea (6670210047), Desya Nur Arfiani (6670210073)


Terorisme merupakan fenomena yang kompleks dan terus menjadi ancaman serius bagi ketahanan nasional Indonesia. Secara definisi, terorisme melibatkan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang disengaja, dengan tujuan politik, ideologis, atau religius. Serangan- serangan teroris sering kali menargetkan warga sipil dan non-kombatan untuk menciptakan ketakutan dan ketidakamanan yang meluas dalam masyarakat. Tujuan dari tindakan kekerasan ini tidak hanya untuk menyebabkan kerusakan fisik atau kematian di antara korban langsung, tetapi juga untuk menciptakan dampak psikologis yang lebih luas, mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat dan mengganggu stabilitas nasional (Hoffman, 2017). Di Indonesia, sejarah terorisme mencakup serangkaian insiden yang menunjukkan karakteristik ini. Contohnya, serangan bom yang mengguncang Bali pada tahun 2002, yang menewaskan lebih dari 200 orang dan melukai ratusan lainnya, adalah salah satu yang paling berdampak. Serangan ini diatur dengan cermat untuk menimbulkan kerusakan besar di antara turis asing dan penduduk setempat, serta untuk menciptakan ketakutan yang meluas di seluruh negeri. Serangan-serangan lain seperti pengeboman di Hotel JW Marriott Jakarta pada tahun 2003, serta serangan bom di Surabaya pada tahun 2018 yang melibatkan keluarga yang membawa anak-anak mereka, juga menunjukkan bahwa terorisme di Indonesia bukanlah fenomena yang terisolasi atau sesaat (Sarwono, 2012).

 Diagram Data Jumlah Korban Terorisme di Indonesia

Tindakan terorisme tidak hanya memiliki dampak langsung terhadap korban dan keluarga mereka, tetapi juga dapat mengganggu perekonomian, menghambat perkembangan sosial, dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap otoritas pemerintah. Respons terhadap terorisme bukan hanya tentang menanggulangi ancaman secara militer atau keamanan, tetapi juga tentang membangun ketahanan masyarakat, memperkuat kerjasama internasional, dan menghadapi tantangan ideologis yang menjadi basis bagi kelompok-kelompok teroris. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia telah bekerja keras untuk meningkatkan kapasitas keamanan dalam menghadapi ancaman terorisme, termasuk dengan meningkatkan kerjasama regional dan internasional dalam pertukaran informasi intelijen dan strategi kontra-terorisme. Pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusannya dengan merancang kebijakan pemberian kompensasi kepada korban terorisme. Langkah penting dalam upaya ini adalah penerbitan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, yang mengubah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang ini mencakup berbagai aspek penanganan terorisme, termasuk pemberian kompensasi kepada korban. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, korban terorisme berhak menerima kompensasi, restitusi, serta bantuan medis dan psikologis. Kompensasi ini mencakup biaya perawatan medis, rehabilitasi, dan penggantian kerugian materiil akibat serangan teroris (Paamsyah et al., 2023).

Salah satu poin penting yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 adalah penjelasan mengenai tipologi korban terorisme, yang dikategorikan menjadi dua yaitu korban langsung dan korban tidak langsung. Korban langsung didefinisikan sebagai individu yang mengalami kerugian fisik, psikologis, atau material secara langsung akibat tindakan terorisme. Ini termasuk orang-orang yang terluka, kehilangan anggota tubuh, mengalami trauma psikologis, atau kehilangan harta benda karena serangan teroris. Korban langsung berhak mendapatkan kompensasi finansial, perawatan medis, dukungan psikologis, dan bantuan rehabilitasi sosial serta ekonomi. Kompensasi ini mencakup biaya perawatan medis dan rehabilitasi untuk pemulihan fisik dan mental, serta penggantian kerugian materiil. Sedangkan, korban tidak langsung adalah individu yang tidak mengalami kerugian secara langsung tetapi terkena dampak dari tindakan terorisme. Ini termasuk anggota keluarga atau kerabat korban langsung yang mengalami dampak psikologis, sosial, atau ekonomi akibat insiden terorisme. Korban tidak langsung juga berhak mendapatkan dukungan, termasuk bantuan psikologis untuk mengatasi trauma yang dialami akibat kehilangan atau cedera anggota keluarga, serta bantuan ekonomi untuk mengurangi dampak finansial dari insiden tersebut.

Meninjau dari poin tersebut, pembagian klasifikasi korban terorisme menjadi dua dirasa masih terlalu sempit dan terbatas dalam mendeskripsikan kompleksitas dampak terorisme. Klasifikasi kurang mengakomodasi seluruh spektrum korban yang terkena dampak dari aksi terorisme, seperti korban tersier yang mungkin tidak berada di lokasi kejadian langsung dan bukan kerabat dari korban, namun secara tidak langsung ikut terpengaruh dan mengalami kerugian. Korban tersier mencakup komunitas atau masyarakat luas yang mengalami ketakutan, perubahan perilaku, dan gangguan sosial-ekonomi akibat tindakan terorisme. Sebagai contoh, masyarakat yang tinggal di sekitar area serangan sering kali menghadapi penurunan ekonomi dan merasa kurang aman secara signifikan. Lebih dari itu, tindakan terorisme tidak hanya berdampak pada korban langsung dan tidak langsung, tetapi juga memiliki dampak sosial-ekonomi yang meluas terhadap sektor-sektor kunci seperti ekonomi, pendidikan, dan layanan publik. Misalnya, serangan terorisme dapat menyebabkan penurunan investasi, berkurangnya jumlah wisatawan, serta gangguan pada layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Komunitas yang terkena dampak ini memerlukan perhatian khusus dan dukungan yang tidak selalu tercakup dalam klasifikasi tradisional korban yang diatur dalam undang-undang.

Oleh karena itu, meskipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 telah mencakup beberapa aspek penting dalam memberikan kompensasi kepada korban terorisme, tipologi korban yang saat ini terlalu sempit mengabaikan kompleksitas dan luasnya dampak yang dihasilkan oleh tindakan terorisme. Pemerintah harus mempertimbangkan untuk memperluas definisi korban dalam undang-undang ini agar mencakup korban sekunder dan tersier, serta mencakup dampak sosial-ekonomi yang lebih luas. Langkah ini akan memberikan perlindungan dan dukungan yang lebih komprehensif bagi semua individu dan komunitas yang terdampak oleh terorisme. Dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2018 mengenai pemberian kompensasi kepada WNI korban terorisme di luar NKRI juga menghadapi tantangan terkait tidak tepatan definisi korban terorisme. Pertanyaan mendasar adalah apakah kompensasi tersebut mencakup semua WNI yang menjadi korban terorisme di luar negeri atau hanya mereka yang terkena dampak langsung di wilayah tertentu. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur tentang fasilitas repatriasi bagi WNI yang menjadi korban terorisme di luar NKRI, namun implementasinya belum terlaksana sepenuhnya karena kurangnya pedoman yang jelas. Kesulitan lainnya adalah ketiadaan koordinasi yang efektif antara lembaga atau badan yang berwenang dalam penanggulangan terorisme di dalam dan luar negeri. Hal ini mengakibatkan perlunya definisi yang lebih komprehensif untuk mengidentifikasi siapa yang layak menerima kompensasi dan fasilitas repatriasi ini. Upaya perlu dilakukan untuk memperjelas definisi korban terorisme, mengoordinasikan kebijakan antara berbagai pihak terkait, serta memastikan bahwa WNI yang terlibat sebagai korban terorisme di luar NKRI juga mendapatkan perlindungan dan bantuan yang sesuai dengan hak mereka.

Selain itu, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 yang mengatur secara rinci mekanisme dan prosedur pemberian kompensasi kepada korban tindak pidana terorisme, baik yang terjadi sebelum maupun setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Korban dapat mengajukan permohonan kompensasi melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang akan melakukan verifikasi dan penilaian terhadap setiap permohonan tersebut. Peraturan Pemerintah ini mengelompokkan korban terorisme menjadi tiga kategori utama. Pertama, korban masa lalu mencakup individu yang telah mengalami kejadian terorisme sebelum berlakunya regulasi ini dan masih memerlukan dukungan serta rehabilitasi. Kedua, korban terorisme akan datang merujuk kepada individu yang berpotensi menjadi korban di masa depan, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia, dan perlu mendapatkan perlindungan serta pendampingan yang tepat. Ketiga, korban terorisme luar wilayah NKRI mencakup Warga Negara Indonesia yang menjadi korban tindak terorisme di luar batas negara ini dan membutuhkan kompensasi serta fasilitas repatriasi. Peraturan ini juga mengatur dengan jelas mekanisme pengajuan klaim kompensasi, persyaratan yang harus dipenuhi oleh korban, dokumen yang diperlukan, serta proses evaluasi dan penyaluran bantuan kepada korban.

Salah satu kritik utama untuk Peraturan Pemerintah tersebut adalah pada pendekatan yang masih terlalu reaktif dalam proses pengajuan kompensasi. Peraturan ini mengharuskan korban terorisme untuk mengajukan permohonan kompensasi secara aktif. Hal ini berarti bahwa proses penyaluran bantuan hanya dimulai setelah adanya inisiatif dari pihak korban, yang kadang-kadang bisa memakan waktu berharga dalam situasi darurat atau keadaan krisis. Idealnya, pemerintah juga harus memiliki mekanisme proaktif untuk mengidentifikasi korban potensial dan memberikan bantuan secara langsung, tanpa harus menunggu permohonan dari korban. Selain itu, kecepatan tanggapan dalam menanggapi kebutuhan korban terorisme perlu ditingkatkan. Proses evaluasi dan penyaluran kompensasi dalam PP ini terkadang memerlukan waktu yang cukup lama, yang dapat memperburuk situasi dan memperlambat pemulihan korban. Lebih lanjut, sistem monitoring dan evaluasi yang lebih ketat juga diperlukan untuk memastikan bahwa bantuan yang disediakan benar-benar mencapai korban yang membutuhkan, dan tidak terjadi penundaan yang tidak perlu dalam proses penyaluran kompensasi.

Selain kritik terhadap responsivitas dan kecepatan mekanisme pengajuan kompensasi, salah satu aspek lain yang perlu diperhatikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 adalah kurangnya sosialisasi dan informasi yang memadai kepada masyarakat mengenai program kebijakan kompensasi ini. Banyak korban terorisme mungkin tidak mengetahui adanya program ini atau tidak memahami dengan jelas bagaimana cara mengajukan permohonan kompensasi. Kurangnya sosialisasi dapat mengakibatkan dua hal utama. Pertama, korban terorisme yang berhak atas kompensasi mungkin tidak menyadari hak mereka untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah, sehingga mereka tidak mengambil langkah untuk mengajukan permohonan. Kedua, bahkan jika mereka mengetahui tentang program kompensasi, kurangnya informasi yang jelas dapat membuat proses pengajuan menjadi lebih rumit dan membingungkan bagi korban. Pentingnya sosialisasi yang efektif adalah agar semua pihak yang terkena dampak terorisme dapat dengan mudah mengakses informasi tentang hak-hak mereka dan prosedur yang harus diikuti untuk mendapatkan kompensasi yang pantas. Ini termasuk menyebarkan informasi melalui saluran komunikasi yang luas, seperti media massa, situs web pemerintah, dan pertemuan langsung dengan komunitas yang terdampak. Dengan meningkatkan sosialisasi dan pendidikan publik mengenai program kompensasi ini, pemerintah dapat memastikan bahwa semua korban terorisme yang memenuhi syarat mendapatkan akses yang setara dan adil terhadap bantuan yang mereka perlukan. Ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan korban secara individual, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam memberikan perlindungan dan dukungan dalam situasi yang sulit akibat tindak terorisme.

Di samping itu juga, ada juga Surat Kementerian Keuangan Nomor S-775/MK.02/2020 tentang Satuan Biaya Masukan Lainnya Penghitungan Kompensasi dan Santunan Korban Terorisme. Surat ini sendiri  memunculkan ketidakadilan karena hanya mengakomodasi kompensasi bagi korban terorisme di masa depan, sementara mengabaikan korban masa lalu. Kebijakan ini mencerminkan kesenjangan yang signifikan dalam perlakuan terhadap korban, karena korban terorisme masa lalu juga mengalami kerugian materiil yang signifikan dan sering harus berjuang sendiri untuk memulihkan diri. Mereka harus menanggung biaya pengobatan dan konseling tanpa dukungan yang memadai dari negara, yang menunjukkan ketidakadilan yang sistematis. Korban terorisme masa lalu menghadapi beban ganda: trauma yang mendalam dan ketidakpastian finansial. Banyak dari mereka kehilangan kemampuan untuk bekerja atau mendapatkan penghasilan serta menghadapi stigma sosial yang berkepanjangan. Ketidakadaan kompensasi bagi mereka menambah penderitaan dan memperparah ketidaksetaraan yang mereka alami. Kebijakan yang hanya memfokuskan pada korban masa depan tanpa memperhatikan korban masa lalu mencerminkan kegagalan dalam memenuhi prinsip-prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline