Lihat ke Halaman Asli

Menakar Kredibilitas Parpol dari Kadernya

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="599" caption="sumber: rimanews.com"][/caption] Banyak cara untuk mengetahui kredibilitas atau kualitas partai politik agar tak salah memilih pada pemilu April mendatang. Salah satunya dapat dilihat dari perilaku elite dan kadernya. Citra partai sangat dipengaruhi oleh perilaku partai.

Partai politik adalah mesin pencetak pemimpin melalui proses kaderisasi. Bila kader yang dihasilkan ternyata buruk, maka mesin partai tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Namun saat ini banyak parpol yang menganut logika pragmatis. Proses kaderisasi kerap diabaikan demi mendulang suara pada pemilu. Politik transaksional juga cenderung mempengaruhi logikasi tersebut.

Misalnya, banyak artis yang tiba – tiba terjun ke politik dan menjadi calon legislatif bahkan calon eksekutif dekat - dekat pemilu. Popularitas mereka dimanfaatkan partai untuk mendulang suara atau kursi di parlemen.

Perilaku kader atau elite partai kerap menjadi indikator penilaian lembaga survei terhadap kredibilitas partai, seperti yang dilakukan Lembaga Survei Nasional (LSN).

LSN menetapkan partai Demokrat adalah partai terkorup 2014, dengan indikator banyaknya kader atau elite partai tersebut yang melakukan tindak pidana korupsi.

Jika ada predikat partai terkorup, maka sebagai antonimnya ada predikat untuk partai terbersih. LSN menetapkan partai Hanura sebagai parta terbersih tahun ini. Hanura dinilai tegas menindak kadernya yang tersandung korupsi.

Di luar itu, ketika sejumlah pejabat pemerintah yang banyak tersandung korupsi dan kasus lainnya, persepsi masyarakat langsung melihat partai tempat bernaungnya pejabat tersebut.

Seperti kasus korupsi mantan ketua MK Akil Mochtar dan Ratu Atut, persepsi masyarakat pasti terarah ke partai Golkar. Contoh di luar korupsi seperti kasus lumpur Lapindo Sidoarja, masyarakat langsung menyasar Aburizal Bakrie yang merupakan ketua umum partai Golkar.

Contoh lainnya mengenai perilaku poligami Anis Matta dan Luthfi Hasan Ishaaq, masyarakat langsung “mencap” PKS sebagai partai poligami. Bahkan media menulis PKS didirikan oleh tokoh yang beristri banyak.

Meskipun banyak kadernya yang dililit kasus korupsi, namun poligami lebih tampak lebih “seksi” sehingga menutup citra korupsi. Banyak yang memprediksi dukungan terhadap PKS tahun ini akan anjlok.

Lain halnya dengan PDIP, bukan tak sedikit kadernya yang terlibat korupsi, namun kemunculan Jokowi menutupi “dosa” partai tersebut. Citra positif Jokowi berimbas pada persepsi positif masyarakat terhadap PDIP. PDIP pun giat “menjual” Jokowi untuk menarik dukungan masyarakat.

Prabowo dan Ahok memberikan citra partai yang tegas kepada Gerindra. Ahok, sebagai kader Gerindra sekaligus wakil Jokowi, nilai lebih memiliki konsep dan tegas dalam menjalankan pemerintahan, sementara Jokowi sibuk blusukan ke berbagai daerah bahkan di luar Jakarta sekalipun.

Setiap partai memiliki predikatnya masing – masing. Melalui kader, kita dapat melihat sejauh mana kredibilitas partai tersebut. Inilah pandangan saya terhadap sejumlah partai di atas, yang akan mempengaruhi pilihan saya pada pemilu mendatang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline