Masalah korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru, melainkan sudah menjadi persoalan yang berlangsung sejak zaman kerajaan. Korupsi, yang pada awalnya mungkin hanya terbatas pada penyalahgunaan wewenang di kalangan pejabat kerajaan, seiring berjalannya waktu, semakin berkembang dan meluas, terutama setelah Indonesia merdeka. Pada masa Orde Lama, korupsi menjadi salah satu masalah besar yang mencoreng wajah pemerintahan. Kekuasaan yang terpusat dan minimnya mekanisme pengawasan membuat praktik korupsi merajalela, baik di tingkat pemerintahan pusat maupun daerah.
Tuntutan untuk memberantas korupsi mulai muncul di tengah masyarakat, yang semakin merasa dirugikan oleh tindakan-tindakan penyalahgunaan kekuasaan ini. Gerakan perlawanan terhadap korupsi pun mulai mendapat perhatian lebih luas, baik dari kalangan mahasiswa, intelektual, hingga aktivis sosial. Namun, meskipun ada kesadaran dan perlawanan yang muncul dari berbagai lapisan masyarakat, situasi korupsi justru tidak mengalami perbaikan yang signifikan.
Saat ini, korupsi di Indonesia bukan hanya menjadi tantangan bagi pemerintah, tetapi juga menjadi masalah budaya yang mengakar dalam masyarakat. Pemberantasan korupsi harus melibatkan perubahan pola pikir di seluruh lapisan masyarakat, dan bukan hanya mengandalkan tindakan tegas dari aparat hukum.
Apa itu Korupsi?
Kata korupsi berasal dari kata corruptio atau corruptus (bahasa latin) yaitu keadaan yang adil, benar dan jujur menjadi sebaliknya. Kata corruptio memiliki kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, atau menyogok.
Secara definisi, korupsi merupakan suatu tindakan yang busuk, jahat, dan merusak. Tindakan yang jahat tersebut dapat dilakukan setiap orang dan mengakibatkan kerugian terhadap negara maupun masyarakat umum.
Tindakan korupsi sudah termasuk sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), maka penanganannya juga harus secara luar biasa. Untuk mengatasi korupsi tidak cukup hanya ditangani oleh pemerintah atau lembaga tertentu saja melainkan harus semua lapisan masyarakat ikut berkontribusi.
Apa perbedaan mendasar antara pendekatan Robert Klitgaard dengan Jack Bologna dalam memahami penyebab korupsi
Adapun teori CDMA mengenai penyebab terjadinya tindakan korupsi oleh Robert Klitgaard:
Teori CDMA merupakan singkatan dari: C = Coruption (korupsi); D = Discretion (keleluasaan/kebebasan bertindak); M = Monopoly (monopoli); dan A = Accountability (akuntabilitas). Tokoh dari teori ini adalah Robert Klitgaard sehingga teori ini sering dikenal Teori Klitgaard. Teori Klitgaard dapat dituliskan dengan rumus: C = D + M -- A. Rumus ini dapat diartikan: korupsi (coruption)terjadi karena keleluasaan/kebebasan ditambah monopoli tetapi kurang akuntabilitas. Dalam konteks perilaku koruptif para pejabat berwenang, teori yang dikemukakan oleh Klitgaard terbukti sangat relevan. Berikut uraian teori CDMA:
- Salah satu solusi yang ditawarkan oleh berbagai teori untuk mengatasi masalah korupsi adalah dengan menerapkan tiga langkah utama yang dapat membantu memperbaiki sistem pemerintahan dan menciptakan lingkungan yang lebih transparan. Langkah pertama adalah pembatasan keleluasaan (discrection) melalui pengawasan yang efektif dan penyusunan aturan yang jelas. Pembatasan keleluasaan ini bertujuan untuk mengurangi ruang bagi pejabat atau individu untuk menyalahgunakan kekuasaan.
- Langkah kedua adalah pencegahan monopoli (monopoly) kekuasaan dengan cara melakukan pembagian atau pemisahan kekuasaan. Monopoli kekuasaan seringkali menjadi salah satu penyebab utama korupsi, karena apabila kekuasaan terkonsentrasi pada satu individu atau satu lembaga, pengawasan terhadap penggunaan kekuasaan tersebut akan sangat terbatas.
- Langkah ketiga adalah peningkatan akuntabilitas (accountability), yang dimulai dari individu, lingkungan keluarga, hingga masyarakat secara keseluruhan. Akuntabilitas berarti tanggung jawab terhadap setiap tindakan dan keputusan yang diambil, baik dalam pemerintahan, sektor swasta, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Meningkatkan akuntabilitas di tingkat individu berarti membangun karakter yang jujur, transparan, dan bertanggung jawab, yang kemudian akan berdampak pada lingkungan keluarga dan masyarakat secara luas.