Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Indonenglish: Pengaruh Globalisasi Terhadap Bahasa dan Kebudayaan Lokal

Diperbarui: 21 September 2024   08:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input sumber gambar: Opini-Media Indonesia

Dalam era globalisasi yang semakin menguat, fenomena bahasa campuran antara Indonesia dan Inggris, yang dikenal sebagai "Indonengslish," telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat urban Indonesia. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan adaptasi budaya terhadap pengaruh global, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendalam tentang nasib bahasa dan kebudayaan Indonesia di masa depan.

Mengulas esai yang berjudul "Sensasi Indonenglish Vs Pemajuan Kebudayaan" oleh Bernando J Sujibto ini membahas tentang fenomena "Indonenglish" atau campuran bahasa Indonesia dan Inggris dalam percakapan sehari-hari di Indonesia. Penulis mengamati bagaimana penggunaan bahasa campuran ini semakin meluas, terutama di kalangan anak muda. Indonenglish telah menjadi bagian dari budaya populer dan standar komunikasi di kota-kota besar yang didorong oleh pengaruh media sosial, selebritas, dan gaya hidup modern.

Penulis juga menyoroti bahwa meskipun fenomena ini bisa dianggap sebagai bagian dari budaya populer, ada kekhawatiran tentang dampaknya terhadap bahasa Indonesia. Ada ajakan untuk lebih bijak dalam menyikapi perubahan ini dan tetap menjaga serta memajukan bahasa dan budaya Indonesia. Esai ini mengaitkan fenomena indonenglish dengan upaya pemajuan kebudayaan Indonesia. Salah satunya ialah perlunya dibentuk atau ditunjuk ahli bahasa Indonesia minimal di setiap fakultas pada setiap perguruan tinggi yang bisa diambil dari lulusan sastra dan bahasa Indonesia. Dan, program-progam seperti Merdeka Belajar juga disebut sebagai cara untuk memperkuat identitas budaya sambil tetap terbuka terhadap pengaruh global.

Yang unik dan menarik dari esai ini adalah bagaimana penulis memperkenalkan dan mengupas istilah "Indonenglish" atau "Englonesian" untuk menggambarkan fenomena bahasa campuran yang semakin populer di Indonesia dengan gaya yang santai dan relatable. Penulis menggunakan contoh-contoh nyata dari kehidupan sehari-hari, seperti percakapan di media sosial dan gaya bicara selebritas, yang bikin pembaca merasa dekat dengan topik ini. Seperti, contoh "ayam goreng" yang lebih sering disebut "fried chicken".

Esai ini menyoroti bagaimana perkembangan teknologi dan media sosial mempercepat penyebaran dan penerimaan indonenglish di kalangan anak muda.   Selain itu, penulis juga mengajak pembaca untuk berpikir kritis tentang dampak dari penggunaan bahasa campuran ini terhadap bahasa Indonesia. Penulis mengingatkan pentingnya menjaga bahasa Indonesia dari pengaruh bahasa asing yang berlebihan dan mengedukasi publik tentang hal ini. Esai ini juga mengaitkan fenomena indonenglish dengan upaya pemajuan kebudayaan Indonesia melalui program-program seperti Merdeka Belajar. Esai ini memberikan perspektif yang menarik tentang dinamika bahasa dan budaya di Indonesia, serta tantangan dan peluang yang dihadapi dalam menjaga identitas kebudayaan.

Jadi konsep "Indonenglish" ini sebenarnya sudah sering saya dengar sebelumnya. Ini tentang campuran bahasa Indonesia dan Inggris yang sering dipakai di percakapan sehari-hari, terutama di kalangan anak muda. Topik dari esai ini tentang pengaruh media sosial dan selebritas dalam menyebarkan gaya bahasa.

Esai ini memberikan pandangan yang mendalam tentang bagaimana bahasa dan budaya saling mempengaruhi di era globalisasi, banyak orang yang terinspirasi dari cara bicara influencer atau artis favorit mereka.  Penulis mengingatkan bahwa meskipun indonenglish bisa dianggap keren dan modern, ada resiko bahwa bahasa Indonesia terpinggirkan. Tapi, ada beberapa istilah yang baru buat saya dari esai ini, misalnya "captive mind" yang di tulis oleh penulis, yang merujuk pada kondisi dimana pikiran seseorang terpengaruh atau terperangkap oleh budaya atau bahasa asing, sehingga mengurangi kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara mandiri dalam konteks budaya sendiri. Dalam esai ini, penulis mengaitkan konsep "captive mind" dengan fenomena penggunaan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa inggris. Penggunaan bahasa asing yang berlebihan dapat dilihat sebagai tanda bahwa Masyarakat merasa bahasa dan budaya mereka sendiri kurang berharga.

Menurut saya esai ini cukup bagus dalam gaya penulisannya, Penulis menggunakan gaya penulisan yang menarik dan mudah dipahami, yang bisa membuat pembaca merasa dekat dengan topik yang dibahas. Esai ini relevan dengan kehidupan sehari-hari banyak orang. Seperti, contoh-contoh nyata dari kehidupan sehari-hari juga membantu pembaca lebih mudah memahami fenomena "Indonenglish".

Penulis berhasil mengangkat isu penting tentang penggunaan bahasa campuran dan dampaknya terhadap budaya lokal. Ini menunjukkan kepekaan terhadap perubahan sosial dan budaya yang terjadi di Masyarakat. Secara keseluruhan, esai ini memberikan wawasan yang berharga tentang dinamika bahasa dan budaya di Indonesia, esai ini mengajak pembaca untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari penggunaan bahasa campuran dan pentingnya menjaga serta memajukan kebudayaan Indonesia di era globalisasi.

             

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline