Lihat ke Halaman Asli

Kemaritiman Kita yang Perlu Dipertanyakan

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Mari sejenak membayangkan tentang laut. Indonesia, negara dengan dua pertiga wilayahnya terdiri atas lautan, dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia tentu amat kaya dengan potensi kelautannya. Bagaimana tidak kaya? Dengan luas keseluruhan laut teritorial sebesar 284,210.90 Km2, belum lagi ditambah dengan luas Zona Ekonomi Eksklusif dan luas laut 12 mil yang berturut-turut seluas 2,981,211.00 Km2  dan 279,322.00 Km2 pasti menyimpan berbagai macam ‘harta karun’ di dalamnya yang tiada terkira nilainya.

Maka tak heran, dengan laut seluas itu, sebanyak 889,860 rumah tangga (tahun 2011) menggantungkan hidupnya kepada kebaikan laut. Kebaikan itu berupa ikan tuna, ikan cakalang, ikan tongkol, udang, maupun ikan lainnya. Belum lagi jumlah orang-orang yang bekerja untuk industri hilir bidang ini yang mencapai 1,340,644 untuk bagian pengolahan, dan 4,874,083 untuk bagian pemasaran industri perikanan.

Angka sebanyak itu muncul karena industri perikanan sangat luas cakupannya, terutama untuk industri pengolahannya. Mulai dari Sentra Pengolahan Fillet Ikan, Sentra Pengolahan Pindang Ikan, Sentra Pengolahan Terasi, Kerupuk Udang/Ikan dan Ikan Kering, Sentra Pengolahan Teri, Sentra Pengolahan Ikan Panggang, Sentra Pengolahan Ikan Hiu dan Pindang, Sentra Pengolahan Teripang, sampai Sentra Pengolahan Rumput Laut. Dari bagian pemasaran ada Depo Pemasaran Ikan (DPI), Pasar Ikan Higienis (PIH), Pasar Ikan Tradisional (PIT), Pasar Benih Ikan (PBI), Kios Pemasaran Ikan (KPI), Sarana Pemasaran Bergerak (SPG) roda 4/6, sampai Raiser Ikan Hias (RIH).

Dari sekian banyak banyak lapangan kerja yang bisa ditawarkan oleh sektor perikanan dan tingginya variasi produk industri perikanan itu sendiri, ternyata sumbangsih sektor ini tehadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia selama 4 tahun belakangan ini (2007-2011) hanya sekitar 3 persen! Bisa dibayangkan berapa besar potensi dari perikanan Indonesia yang tidak termanfaatkan secara maksimal.

Dari data yang dirilis oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), disebutkan bahwa dari sekitar 12,545,072 Ha potensi budidaya laut yang ada di seluruh Indonesia, hanya 117,649.30 Ha saja yang benar-benar dimanfaatkan untuk lahan budidaya, atau berarti hanya sekitar 0.94 persen saja. Ini pun baru sebatas budidaya laut. Apabila diakumulasi dengan budidaya tambak, kolam air tawar, perairan umum, dan sawah, maka jumlah lahan yang belum digarap amatlah besar.

Padahal, dengan 11 titik tangkap ikan di laut, dari Selat Malaka dan Laut Andaman sampai Teluk Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur, Indonesia sudah lama menjadi incaran para nelayan ilegal berbendera asing yang dengan leluasanya mengeksploitasi hasil laut kita. Total jumlah kapal yang dirampas untuk negara dari tahun 2007-2011 berdasarkan data yang diperolah dari KKP berjumlah 94 buah kapal. Tentu ini bisa saja merupakan fenomena ‘gunung es’ di mana jumlah kapal ilegal yang beroperasi di perairan Indonesia sesungguhnya jauh lebih dari itu mengingat area laut kita yang begitu luasnya.

Dengan jumlah kapal pengawas yang diberdayakan oleh KKP sebanyak 89 unit kapal tentu tidak mencukupi untuk melakukan pengawasan terhadap perairan Indonesia secara menyeluruh. Dari teknik pendistribusian pengawasan pun perlu diperiksa ulang dan dievaluasi. Pasalnya, 17 dari 89 unit kapal pengawas tersebut bertugas di wilayah perairan Jakarta. Padahal, 65 dari 94 kasus perampasan kapal ilegal oleh negara terjadi di kawasan perairan Sumatera.

Untuk menyikapi dua masalah ini, kurangnya pemanfaatan potensi laut dan ekspolitasi ilegal, pemerintah hendaknya menyiapkan strategi-strategi untuk membuka selebar-lebarnya akses masyarakat, terutama masyarakat pesisir untuk menggali kekayaan laut dengan leluasa berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Akses tersebut bisa berupa sarana atau fasilitas yang berguna bagi nelayan dalam menjalankan pekerjaannya. Sarana seperti fasilitas komunikasi, energi alternatif, energi alternatif biogas, modal usaha (mesin/kapal), kapal pintar, kapal kesehatan, landing craft tank (LCT), dan sarana air bersih memang telah menjadi program kerja dari pemerintah untuk memberdayakan para nelayan agar lebih produktif.

Akan tetapi, penyediaan sarana semacam itu tidak selamanya berlangsung secara berkesinambungan. Contohnya adalah fasilitas komunikasi. Sejak pelaksanaannya pada tahun 2007, pengadaan alat-alat komunikasi untuk nelayan sudah tidak berjalan lagi hingga tahun 2011 kemarin. Padahal, pengadaan alat-alat komunikasi untuk nelayan pada tahun tersebut hanya terlaksana di 9 propinsi saja.

Energi alternatif lain lagi. Salah satu faktor terpenting untuk kegiatan melaut ini terasa kurang mendapat fokus dari pemerintah. Memang pada tahun 2007 terdapat 15 propinsi yang mendapat bantuan fasilitas energi alternatif ini. Jumlahnya pun mencapai 3,710 unit. Tapi, untuk tahun-tahun berikutnya, penyediaannya terus menurun baik itu kuantitasnya maupun jumlah propinsi penerima bantuannya. Sampai pada tahun 2011 hanya ada 4 unit saja fasilitas energi alternatif yang diberikan secara merata kepada 4 propinsi. Malah pada tahun sebelumnya, tidak ada sama sekali bantuan yang diberikan.

Konsistensi pemerintah memang sangat dibutuhkan dalam permasalahan ini. Sejak diumumkannya rencana kenaikan BBM per tanggal 1 April, masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan kalang kabut. Ini berarti biaya operasional melaut mereka bertambah sementara tidak ada jaminan bahwa hasil yang mereka bawa pulang bisa menutupinya. Apalagi dengan tidak menentunya iklim dewasa ini, terutama wilayah pantai membuat para nelayan di sebagian daerah kerap kali urung melaut.

Bagian yang tidak kalah pentingnya yaitu pengawasan laut. Agar terjadi lagi eksploitasi laut secara ilegal oleh nelayan asing, maka fungsi pengawasan dari KKP perlu ditingkatkan lagi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, 89 unit kapal pengawas yang tersedia di KKP dirasa kurang mencukupi untuk terus-menerus mengontrol teritorial laut kita.

Walaupun di beberapa kesempatan, KKP mengadakan kerjasama patroli nelayan dengan Polri, TNI AL, dan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), tapi kerjasama tersebut tidak selamanya bisa berlangsung secara kontinyu mengingat bahwa masing-masing pihak tentu sudah memiliki tugas pokok masing-masing.

Dengan menambah jumlah armada pengawas, maka secara tidak langsung KKP sudah mengamankan perbendaharaan kekayaan laut agar tidak jatuh ke tangan asing. Menambah armada juga berarti menambah kebutuhan sumber daya manusia. Ini berimplikasi terhadap terbukanya lapangan kerja baru sehingga jumlah lulusan dari sekolah perikanan yang berada dalam lingkup KKP yang tersebar di 12 propinsi bisa terserap secara optimal.

Kartu terakhir ada di tangan pemerintah. Apakah ingin memajukan laut kita dan meneguhkan Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia, atau hanya memanfaatkan laut sekedar karena itu adalah pemberian Tuhan yang sudah ‘terima jadi’.

Kita semua sudah sama-sama tahu bahwa pembangunan yang terlaksana selama ini sebagian besar berorientasi kepada pembangunan daratan, bukan lautan. Dalam kerangka yang dibuat pemerintah untuk meningatkan pertumbuhan ekonomi yang terangkum  dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), hanya menekankan permasalahan laut atau kemaritiman sebagai salah satu aspek penting dalam kegiatan logistik dan transportasi, bukan pada potensi laut itu sendiri sebagai penghasil bebagai macam produk perikanan.

Bagaimana sikap pemerintah ini yang sangat berorientasi pada pembangunan daratan sungguh mempengaruhi pola pikir masyarakat, khusunya generasi muda. Adalah Daniel M. Rosyid, Penasehat Dewan Pendidikan Jawa Timur yang sekaligus juga sebagai salah satu dosen di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, seperti yang dikutip oleh majalah ini pada edisi yang pertama, mengatakan bahwa hanya sekitar 2 persen dari generasi muda masa kini yang mencintai lautan. Menurutnya, untuk membangkitkan kecintaan terhadap dunia laut harus dimulai dari dunia pendidikan. Dibutuhkan SMK Kelautan yang lebih banyak di daerah-daerah agar anak muda dapat dilatih untuk memanfaatkan potensi dan merawat laut.

Sekarang tinggal bertanya kepada diri kita sendiri. Sudahkah kita melakukan sesuatu yang berharga untuk laut kita? Atau jangan-jangan kita memang hanya memperlakukan laut sebagai barang yang sudah ‘terima jadi’ sehingga kita menjadi acuh. Kalau sudah begitu, apa pantas kita masih pantas berbangga akan keberanian dan kegagahan nenek moyang kita yang konon adalah seoarang pelaut?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline