Seperti apa sih, pola makan gizi seimbang itu?
Begini, makanan yang rasanya enak dan disukai anak pada khususnya, dan semua orang pada umumnya itu belum tentu mencukupi kebutuhan tubuh akan gizi seimbang. Pun begitu makanan mahal.
Saya jadi teringat keluarga pada saat kami masih kecil, bukan golongan yang makannya gampang. Istilah kekiniannya, picky eaters. Maunya makan telur tiap hari, daging dan ayam kurang suka, malah ada yang nggak doyan sama sekali. Ada lagi yang malah nggak doyan susu. Lebih perlu solusi medis bila anak alergi makanan tertentu, juga susu sapi.
Anak-anak seringnya menolak makan buah, apalagi sayur-sayuran tapi demen banget makan krupuk dan klethikan. Minum air putih harus dibujuk-bujuk, maunya susu atau teh manis saja.
Nah yang seperti inilah pola makan yang sangat tidak seimbang, dan berpotensi memicu kurang gizi.
Menu makanan sehat tidak sekadar membuat anak-anak dan kita kenyang, tetapi harusnya menjaga tubuh tetap sehat dan kecukupan gizi.
Waktu remaja saya ingat diperiksa dokter karena keluhan saya sering pusing. Dokter berkata singkat, "Kurang gizi!"
Merasa malu, saya protes dokter, "Tapi saya tiap hari makan telur dan seminggu dua kali minum susu, Pak dokter."
Saya baru paham dan menerima diagnose anemia karena kurang gizi setelah dokter yang baik hati itu menjelaskan, bahwa menu makan harus memenuhi unsur-unsur lengkap yang dibutuhkan tubuh, bukan asal kita suka saja.
Akan halnya menu gizi seimbang, dalam hal ini khususnya yang disebut Panduan Isi Piringku -- terdiri dari 50persen buah dan sayur, 50 persennya lagi dibagi dengan komposisi dua pertiga nasi (karbohidrat) dan sepertiga lauk protein, itu komposisi satu kali makan.
Sudah beberapa tahun ini Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mencanangkan program yang bertujuan untuk memutus mata rantai kasus stunting, yang antara lain sebagian besar kasusnya disebabkan oleh Anemia Defisiensi Zat Besi (ADB).
Menurut Riskesdas 2018, angka stunting kita mencapai 30,8% dan telah mencapai peringkat 4 dunia. Sedangkan 48,9% ibu hamil, 32% remaja 15-24, dan 38,5% balita mengalami anemia.