Pada sebuah siang yang mendung, saya berbincang singkat dengan tetangga sebelah rumah dari seberang pagar -- tepatnya di teras masing- masing.
Sebut saja nama tetangga ini B.
B sedang memanaskan mobilnya, saya sedang menyirami pot-pot tanaman. B sendiri ngantor di Jakarta, namun jadwal pada minggu itu dia WFH (bekerja dari rumah). Belum lama berbincang, datanglah tetangga yang belum saya kenal, membawa makanan yang adalah pesanan B. Ternyata dia tinggal satu blok dari lokasi kami, namanya C.
Dari B, saya jadi tahu kalau dia jualan makanan, saat itu yang dia bawa buat B adalah tahu isi goreng.
Kebayang nggak sih, lagi agak jenuh ada yang jualan cemilan favorit? Iya, itu salah satu makanan favorit saya.
Seketika saya ikutan pesan.
Nggak berselang lama C kembali dengan pesanan saya, tujuh potong tahu isi yang masih panas dan mengepulkan uap.
Awalnya biasa saja, maksud saya rasanya seimbanglah dengan harganya, dua ribu perak sepotongnya. Tergoda dengan penampilannya yang "boleh juga buat iseng motret", saya jeprat-jepret memotret sepiring tahu isi.
Lalu spontan terpikir oleh saya kalau foto itu saya kirimkan ke C, mungkin berguna buat C memajangnya saat "buka PO". C senang dengan foto saya.
Belakangan saya lihat foto itu terpajang di status WA-nya. Setelah itu barulah saya menikmati tahu isi, masih biasa saja, walau menurut saya nilainya lebih tinggi daripada yang dijual di Kang gorengan di pojok pasar.
Apa poin lebihnya? Makanan lebih fresh langsung dari rumah tetangga. Harga tidak lebih mahal, bebas ongkir pula.
Keesokan harinya C buka PO lagi, dan saya memesan lagi. Kali ke-dua, citarasa lebih berkesan. Masih ada yang perlu ditingkatkan dari kemantapan bumbunya.