Di Restoran lampu-lampu menabur bintang
Membungkus segelas air mineral
Menjadi kemilau kristal
Kemewahan bukan milikku
Aku tersesat di rimba kekinian.
Aku tercenung
menggenggam kenangan
Seorang pramusaji tersenyum
Aku bergeming
Tergugu mengejar bayangmu
Meja kayu berserut kasar
Menawarkan kisah setiap guratan
Lentik jarimu menari-nari menyeruak dari kepulan harum semangkuk sup
Aku terhenyak
Hatiku menolak beku.
Puisi SDD, "Di Restoran"
Pembaca sekalian, demikian "eksperimen" saya dalam menulis sebuah puisi dengan kata/ frasa pertama dari judul puisi Prof.Dr. Sapardi Djoko Damono (SDD), "Di Restoran".
Saya kira pencinta puisi SDD mengenal rasa bahasa dan gaya berpuisi Sang Sastrawan yang seringnya bercirikan penggunaan frasa dan diksi keseharian (baca: kata-kata sederhana dan "biasa").
Kebetulan saya menikmati suasana restoran, kadang-kadang saja. Kebetulan saya menyukai suasana alam hijau, dengan beragam habitat dan penghuninya yang "ramah", dan tidak berbahaya. Kebetulan kosakata bahasa Indonesia saya kurang kaya.
Saya menyukai pemandangan dan nuansa alam, namun saya bukan seorang pemberani menghadapi air besar atau satwa liar predator.
Mungkin itu sebabnya saya agak sering menulis puisi tentang lingkungan sekitar yang hijau, merah, ungu, kuning, putih, dan jingga.
Cericit burung pagi, dengung serangga yang hinggap di atas pohon bunga kertas, atau lalat hijau kebiruan yang rajin menyinggahi Anggrek Lila di halaman -- semua membawa keriangan di hati.