Bocah cilik itu kembali. Seluruh hunian kini diwarnai tangis seraknya. Seorang tetangga mendambakan anak, sembilan tahun menanti dan akhirnya pupuskan asa. Dia trenyuh dan hancur hatinya menjadi saksi kebingungan bocah tanpa kasih sayang.
Bocah itu bungsu dari empat bersaudara. Sejak mulai bisa berjalan, peran bungsu mirip korban perundungan oleh kakak-kakaknya, atau anak ayam merindukan rengkuhan hangat sayap induknya.
Belum cukup, keluarganya ambyar karena ibunya lebih memilih hati seorang pria yang setiap hari menjadi tukang pengemudinya di dunia kerja.
Suatu pagi, kudengar suara ayah si bocah bercerita dengan tetangga di seberang rumah.
Ternyata itu kunjungan terakhirnya di rumah keluarganya sendiri.
Ayah bocah itu seakan dilupakan oleh anak-anaknya. Mereka lebih sering memanggil nama ibunya, karena dia yang memberi bekal sekolah pada mereka.
Sampai ungkapan ini selesai kutulis, si bocah masih menangis. Hanya ada seorang pengasuh. Seorang pengasuh dengan lengan tangan penuh tatto, mengenakan kaus lusuh dan celana pendek musim panas.
Namun perempuan muda ini terdengar sabar berbicara dengan si bocah yang berbicara di tengah tangisnya.
Hati bocah kecil yang lembut. Dia mampu menghibur anak kecil sebayanya yang menangis karena mainannya rusak. Sementara dirinya sendiri menangisi ibunya menghambur ke jalan bersama derum mesin mobilnya, mengejar urusan dunia orang dewasa, mengejar prospek calon pembeli properti.
Sopir pribadi itu sudah mengubah posisi seorang ibu beranak empat, seorang isteri penopang ekonomi keluarga, menjadi madu bagi isteri pertamanya.
Sedikit lega. Pada titik ini bocah manis sudah berhenti menangis. Ya, berbarengan dengan tanda titik pada catatan harianku. Sunyi, tenang, terlupakan.
::: Indria Salim ::: 20 06.2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H