Pukul lima sore, Bakmi Jawa Pak Sastra sudah menguarkan aroma kaldu ayam dan tumisan bawang putih dan telur. Setiap kali aku perlu ganti suasana, aku meniatkan diri menuju depo Bakmi yang lokasinya kujangkau dengan berjalan kaki.
Pasutri Sastra bekerja bahu membahu, dan dalam tutur percakapan mereka yang lembut, di mataku mereka adalah simbol mimi lan mintuno. Saling peduli, serba nyambung, dan itu menguatkan ikatan mereka, sekaligus menjadi inspirasi para pelanggannya.
Mereka sudah punya anak yang berumah tangga, memberikan eyangnya dua cucu yang cantik dan lucu. Hidup yang melalui siklus nyaris sempurna, kecuali bila ada saja hal yang membuat manusia tidak pernah ada puasnya.
Pak Sastra menikahi isterinya sekitar tiga puluh tahun lebih. Sebagai abdi negara berpangkat eselon 5, dia termasuk pegawai yang bersahaja. Satu falsafah yang tidak jemunya dia bagikan pada isteri dan kedua anaknya, "Hidup jangan ngoyo. Menyikapi semua itu sakmadya saja, jangan lebih pun jangan kurang."
Setelah pensiun, Pak Sastra sepakat mencicingkan lengan baju mendukung usaha kuliner khas Jawa.
Ada kesetiaan pelanggan, komitmen pelayanan terbaik dari penjual kepada pelanggan, dan kecintaan serta kerinduan selalu dekat dengan akar budaya leluhur, itulah tampaknya yang mengokohkan Bakmi Jawa Pak Sastra sebagai ikon kuliner Solo yang digemari banyak kalangan.
"Bakmi Jawa Pak Sastra" memenangkan hati pecinta kuliner Jawa, di sana pelanggan melihat ramuan istimewa tiada dua: CINTA!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H