Kemarin beredar video detik-detik kejadian insiden Pandeglang, penikaman dua orang tak dikenal terhadap Menko Polhukam Wiranto, yang melukai Pak Menteri dan Pak Polsek Pandeglang. Hari ini saya beranikan diri melihat kembali video itu dengan lebih seksama.
Dua hari ini di lini masa maupun cuitan media sosial, tampak lalu lalang ungkapan simpati dan doa yang ditujukan kepada Pak Wiranto.
Di lain pihak, banyak ujaran dengan tingkatan empati kepada korban (Menko Polhukam) dengan skala empati minus sampai sarkasme dan sumpah serapah level maksimal.
Di antara itu ada yang enteng-entengan "menyuarakan kebenaran", klaim diri sebagai pihak netral dan melihatnya dari perspektif rasional dan logika sejarah.
Menurut pembawa suara kebenaran ini, kejadian tanggal 10 Oktober itu belum apa-apa dibandingkan dengan peristiwa kerusuhan Mei 1998 dan isu TimTim. Dalam hal ini Pak Wiranto dianggap sepantasnya sejak dulu diajukan ke meja hijau untuk diadili.
Ada lagi suara kebenaran lainnya, menimpali, "Itu settingan bermodus playing victim." Suara negatif lainnya mengomentari bahwa itu mirip kisah Malin Kundang, pokoknya macam-macamlah.
Terlepas dari benar tidaknya pandangan itu, apa sih sebenarnya manfaat yang bisa diambil sebagai sikap yang menenteramkan masyarakat yang konon sedang "sakit"?.
Menurut saya, esensi keprihatinan dan hikmah yang bisa diambil buat kita semua bukan itu.
Dalam konteks perkembangan keadaan Indonesia terkini, persoalan bukan semata ikhwal keselamatan Pak Wiranto secara pribadi maupun dalam kapasitasnya sebagai pejabat tinggi negara.
Seminimal pengamatan saya yang awam ini, ada pesan tersembunyi ataupun gamblang yang mengancam keutuhan Indonesia dan tegaknya dasar negara Pancasila. Ini yang sedang dicobai dan digempur oleh pendukung paham radikalis apapun variasi motif dan agendanya.
Yang menganggap insiden kemarin sebagai bumerang atau buah tindakan Pak Wiranto di masa lalu (terkait isu TimTim dan Kerusuhan Mei 1998), silakan saja, toh Indonesia adalah negara hukum.