Lihat ke Halaman Asli

Indria Salim

TERVERIFIKASI

Freelance Writer

Kebebasan Berekspresi dan Dandhy

Diperbarui: 4 Oktober 2019   08:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CEO Watchdog, Dandhy Laksono | Sumber: Kompas.com

Tren bertagar 'Saya bersama Dandhy Laksono', atau 'Bebaskan Dandhy Laksono' sempat bertengger di Twitter Top 5 Trending Indonesia, kira-kira begitu. Yang saya lihat, di linimasa facebook banyak juga netizen menulis status dengan tagar serupa. Saya nggak ikutan.

Alasannya personal saja -- jelang dan selama pilkada dki (2016-2017), di medsos dia posting intens dengan konten dominan negatif tentang Ahok aka BTP.

Saya khususnya mengamati, tepatnya menemukan tulisannya di facebook yang lewat di Newsfeed. Alasan subyektif saya hingga mengutarakan uneg-uneg ini sekarang, saya batasi dalam konteks saat itu, bahwa Cagub DKI yang menjadi rival Ahok pada Pilkada DKI 2017 adalah eks jajaran Kabinet Kerja yang diganti orang lain karena sesuatu yang mengindikasikan "ketidak-beresannya" di mata Presiden.

Konotasinya, ada hal dari Sang Cagub rival Ahok yang secara "political correctness", mungkin juga secara "manajerial" alias track record pengelolaan terkait kewenangan jabatan yang tidak sesuai yang seharusnya dia pertanggungjawabkan.

Dengan alasan itu, maka saya malas mengikuti status medsos Dandhy. Sejak itu status CEO Watchdoc Documentary yang kini banyak melahirkan dukungan warga medsos dan mungkin sejumlah pihak yang punya aspirasi terjaminnya kehidupan berdemokrasi, antara lain kebebasan berekspresi terkait dengan UUITE.  (siapa yang tidak ingin, maka saya pun) itu terasa "melukai hati" saya sebagai warga DKI yang ingin punya pemimpin (gubernur) yang membuat perubahan dari "status quo" sungai hitam dan bau sepanjang Jl Daan Mogot" menjadi seindah Yarra River di Melbourne, gubernur yang memampukan warga kumuh pindah ke tempat tinggal yang layak dan manusiawi. Ini mungkin subyektivitas saya sebagai pemegang KTP DKI sejak lima gubernur yang pernah menjabat.

Dikenal luas sebagai sosok "Aktivis HAM" maupun "Social Justice Warrior", karya filmnya -- Sexy Killers" memang mengagumkan. Keberaniannya memaparkan data dan fakta sebagai hasil riset pribadi lapangan, mengelilingi pelosok-pelosok wilayah sulit di Indonesia menjadi kekuatan dan kapasitasnya dalam melahirkan "Sexy Killers" -- karya kritis, berkualitas, dan membuka wawasan, saya akui.

Namun bukan bumi manusia namanya bila soal apapun tidak menimbulkan reaksi pro dan kontra, termasuk Film "Rayuan Pulau Palsu" (2016) dan "Sexy Killers" (ditayangkan April 2019).

Q & A di akun twitter Dandhy Laksono |Sumber @Dandhy Laksono

Khusus tentang "Rayuan Pulau Palsu" -- bagi sebagian pihak terutuma para pendukung BTP, dengan karya film Dandhy dianggap punya andil mendeskreditkan pimpinan Pemprov DKI periode tersebut.

Terkait dengan cuitan warga Twitter dan Facebook yang memasang tagar 'Saya bersama Dandhy' karena aspirasi kebebasan berekspresi, Penulis 'menemukan pernyataan-pernyataan yang mungkin mencerminkan sisi menarik lainnya 'tentang CEO Watchdog, antara lain seperti berikut ini:

" ... memang kebiasaan Dandhy yang memblokir siapapun yang tidak sependapat. Saya tidak mendukungnya karena tidak mengerti sama sekali satu pun idenya, karena sudah sejak setahun lalu akun saya diblokir." (Hariadhi, Penulis dalam artikelnya tentang "Debat Keren Dandhy Vs Budiman Sudjatmiko" di Kompasiana).

Kira-kira ada ga Netizen yang ngetweet "Apakah aku satu-satunya orang yang diblock @Dhandy_Laksono?" (Coki Tobing di Twitter)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline